Siapapun sepakat bahwa Tri Rismaharini, Jokowi, Prabowo, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Gita Wirjawan, Anies Baswedan, Dino Patti Djalal, Khofifah, Chaerul Tanjung, Soekarwo, Jusuf Kalla, Yenny Wahid, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, adalah minoritas "pemimpin baik" di republik ini.

Tentu, pemimpin-pemimpin baik yang sering menjadi bahan "ngopi" (ngomong politik) berbagai kalangan masyarakat itu akan kehilangan kesempatan untuk tampil bila golput dijadikan pilihan oleh mereka-mereka yang terdidik, sehingga komitmen untuk memperbaiki perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat negeri ini pun hilang.

Fatalnya, hilangnya kesempatan para pemimpin baik akan dimanfaatkan oleh pemimpin dengan rekam jejak meragukan untuk mengisi kevakuman dengan segala cara, termasuk mayoritas dari 6.800-an caleg se-Indonesia yang suka "membeli" suara rakyat secara transaksional sebagaimana sudah terlihat dalam arena kampanye.

Apalagi, suara pemilih pemula mencapai 53 juta anak muda dari sekitar 151 juta pemilih, tentu sangat disayangkan bila suara pemilih pemula yang terdidik dalam jumlah sebesar 30 persen lebih itu "terbuang" dan "diambil" para pemimpin yang meragukan.

Sikap golput bisa dimaklumi bila ditempuh pada era Orde Baru, karena saat itu ikhtiar memberikan suara memang akan menjadi sangat percuma, sebab parpol dan pemimpin yang ada memang sudah "diatur" dari sononya.

Namun, golput pada era reformasi itu sangat berbeda dengan era Orde Baru. Cara-cara kurang terpuji memang masih ada, tapi tidak sesadis pada era Orde Baru, karenanya sikap golput akan justru sama dengan "membunuh" para pemimpin baik dan membiarkan pemimpin meragukan untuk melenggang.

Tentu, hal itu tidak menjadi keinginan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih 50 juta di bawah garis kemiskinan dan 150 juta sedikit di atas batas kemiskinan. Bagaimanapun, mereka memiliki asa untuk lahirnya pemimpin yang mampu menegakkan kepala ke jagat raya.

Adalah penganjur golput pada era Orde Baru, Wimar Witoelar, yang menyebut golput sebagai hal yang merugikan bila dilakukan pada era demokrasi saat ini, karena tindakan golput terbukti merugikan dengan hadirnya pemimpin yang menyengsarakan rakyat.

"Kalau kita golput, maka orang-orang jelek akan tetap berkuasa, sedangkan orang-orang baik akan tetap ngomel, tapi mereka tidak ada gunanya. Jadi, kalau kita golput, maka kesempatan untuk memperbaiki keadaan akan hilang juga. Kalau bingung, silakan akses laman bersih2014.net," ucapnya dalam 'Perspektif Baru Road Show to Campus' di Rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya (20/3).

Hal senada dikemukakan pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga dan Universitas Pelita Harapan (UPH) Surabaya Dr Emanuel Sujatmoko SH MS.

"Alasan golput itu bisa karena sudah merasa puas, kecewa (tidak puas), dan juga faktor teknis, nah kalau alasannya karena kecewa justru langkah memilih golput itu kurang tepat," katanya dalam diskusi bertajuk 'Tinjauan Filosofis terhadap Golput' di Auditorium UPH Surabaya (18/3).

Menurut alumni Unair (S1/S2) dan Universitas Brawijaya Malang (S3) itu, kebenaran dan kejahatan itu selalu ada di dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang, karena itu kebenaran itu perlu diperjuangkan.

"Kalau kejahatan itu disikapi dengan kekecewaan justru tidak akan mengubah keadaan. Dalam sejarah, kalangan terdidik justru terbukti menjadi pejuang kemajuan, seperti di Prancis, Amerika, atau di Indonesia. Kita mengenal Bung Karno, M Yamin, Bung Hatta, dan banyak lagi," katanya.

Oleh karena itu, ia berharap mahasiswa mampu menjadi "pelita harapan" bagi bangsanya dengan tidak terjebak dalam kekecewaan atau menjadi golput, melainkan berusaha menyalakan "lilin" dengan segala risiko yang pasti ada.

"Daripada mengutuk kekelaman, tentu lebih baik kita benahi dari yang kecil-kecil. Kalau kekecewaan dipelihara justru akan menggerogoti demokrasi sehingga penguasa akan dominan dan masyarakat yang akan dirugikan, bahkan kalau otoriter berkembang akan bisa 'chaos'. Jadi, golput itu 'membunuh' pemimpin baik untuk kita, sekaligus 'membunuh' pemulihan kesejahteraan kita," katanya.

Pandangan menarik lainnya datang dari Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar. "Golput tidak haram (terlarang), tapi merugikan, karena aspirasi bisa dicuri pihak lain. Itu sia-sia dan agama tidak menyukai perbuatan yang sia-sia," katanya.

    
                  Mengonstruksi Indonesia

Nah, kalangan terdidik dalam pemilu hendaknya berperan dalam mengonstruksi masa depan Indonesia dengan memilih pemimpin yang visioner, Pancasilais, dan pro-lingkungan hidup.

Adalah enam Guru Besar di Surabaya yakni Prof Daniel M Rosyid (ITS), Prof Sam Abede Pareno (Unitomo), Prof Mardji (UM), Prof Nurhasan (Unesa), Prof Priyo Handoko (UIN Sunan Ampel/Unsuri), dan Prof Gempur Santoso (PGRI Adi Buana) yang mendukung munculnya calon presiden yang visioner tapi Pancasilais.

"Selama ini, kita selalu mengikuti arah angin, kita pernah ke sosialis dan sekarang ke kapitalis, padahal kita seharusnya tetap pada khittah, karena itu kita boleh saja menjadi visioner dan modern, tapi kita butuh pemimpin visioner yang Pancasilais," kata Guru Besar Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya Prof Sam Abede Pareno di Surabaya (23/3).

Dalam Forum Guru Besar di Rumah Dahlan Iskan (RDI) Jawa Timur, Guru Besar Ilmu Komunikasi Unitomo itu menjelaskan revolusi di Indonesia sejak Orde Lama hingga Orde Baru itu digerakkan tokoh-tokoh lintas ideologi, karena itu ideologi yang bertarung saat ini adalah politik (demokrasi), ekonomi (pertumbuhan), dan hukum (HAM).

"Saya kira semuanya harus dikembalikan kepada Pancasila agar kita mempunyai model demokrasi, model pertumbuhan ekonomi, dan model hukum yang sesuai dengan jatidiri," katanya dalam diskusi yang dipandu Prof Gempur Santoso selaku Ketua RDI Jawa Timur yang juga Sekretaris Dewan Pendidikan Jatim itu.

Senada dengan itu, Guru Besar ITS Prof Daniel M Rosyid menyatakan Indonesia saat ini mengalami kerusakan lingkungan dan kesenjangan ekonomi yang cukup berbahaya akibat bangsa yang menjauhi ideologi Pancasila dan masuk dalam ideologi kapitalis yang mengelu-elukan pertumbuhan ekonomi.

"Buktinya kita memprioritaskan industrialisasi dalam perekonomian dan sistem sekolah dalam pendidikan, sehingga kita hanya mengejar pertumbuhan ekonomi secara cepat, karena itu kita harus kembali kepada Pancasila yang mementingkan pemerataan dalam ekonomi dan keadilan dalam pendidikan," katanya.

Guru Besar Kelautan ITS menjelaskan pemerataan itu harus melihat kondisi laut dibandingkan dengan darat, harus melihat desa dibandingkan dengan kota atau kita besar, harus melihat pendidikan bagi anak-anak miskin yang tidak mampu sama sekali, dan semacam itu. "Modernitas itu bukan identik dengan kaya atau punya mobil, tapi sikap adil pada siapapun," katanya.

Solusi untuk kembali kepada Pancasila juga ditawarkan Guru Besar Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Nurhasan.

"Ibaratnya, saya pakai baju batik tapi pakai celana jeans. Artinya, kita bisa saja berpikir global dan visioner, tapi kita tetap harus berpijak pada tubuh lokal atau bervisi Pancasila. Misalnya, kalau kembali ke Pancasila, maka tidak akan ada korupsi, karena kita tidak berpikir invidualis lagi, tapi memikirkan masyarakat dan negara".

Hal itu juga dibenarkan Prof Priyo Handoko yang merupakan Guru Besar Syariah (Ilmu Hukum Islam) UIN Sunan Ampel Surabaya. "Selama ini kita hanya mengakui Pancasila dalam pemikiran, tapi dalam aplikasi justru bertentangan. Misalnya, UU Energi kita sudah Pancasilais, tapi peraturan turunannya dan aplikasi di lapangan justru tidak Pancasilais," katanya.

Pandangan serupa juga diungkapkan Prof Mardji M.Kes yang merupakan Guru Besar Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Universitas Negeri Malang (UM).

"Kita butuh pemimpin yang visioner tapi Pancasilais, karena kita menghadapi tiga tantangan yakni desentralisasi yang justru melahirkan pemimpin yang tidak memakmurkan daerah, demokrasi yang dibajak politisi yang tidak negarawan, dan pendidikan yang tidak melahirkan pemimpin teladan," katanya.

Selain tidak visioner dan Pancasilais, kepedulian yang jelek juga melanda lingkungan hidup di Indonesia, bahkan WALHI mencatat para calon pemimpin bangsa justru hanya tujuh persen dari 6.800 calon anggota legislatif (caleg) se-Indonesia yang memiliki agenda peduli terhadap lingkungan.

"Padahal, lingkungan hidup merupakan masalah utama republik ini. Dalam survei yang kami lakukan, masyarakat mencatat tiga sumber konflik bangsa ini, yakni sumber daya alam, SARA, dan politik. Ironisnya, kita lebih banyak berpikir politik, bukan lingkungan," kata Direktur Eksekutif WALHI Abetnego Tarigan dalam 'Perspektif Baru Road Show to Campus' di Rektorat Unair Surabaya (20/3).

Agaknya, memilih pemimpin adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi agar tidak menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki kondisi dan keniscayaan itu harus diarahkan pada "pemimpin baik" yang mengonstruksi masa depan Indonesia, yakni pemimpin yang visioner, Pancasilais, dan peduli pada lingkungan hidup!.

Pewarta : Oleh Edy M. Y.
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024