Komunitas melayan, merupakan penduduk di wilayah pesisir, yang kesehariannnya memenuhi kebutuhan protein warga dengan bersumber dari usaha penangkapan ikan atau serta kegiatan lainnya di laut.

Jika komunitas tersebut melakukan mogok melaut, menuntut perhatian dari Pemerintah seperti yang dilakukan para hakim di Jakarta, atau para buruh, kebutuhan protein jutaan penduduk, bakal terancam tidak bisa terpenuhi.

Dampaknya, ialah, jutaan penduduk tersebut akan merasakan lemah fisik, lesuh dan tidak bertenaga, karena kekurangan protein (yang amat dibutuhkan tubuh manusia).

Berdasar realitas, pada kondisi tertentu, kekurangan protein tersebut bisa menyebabkan gangguan kesehatan bagi mereka yang mengalaminya.

Singkat kata, peran para nelayan dalam memenuhi ketersediaan protein bagi jutaan penduduk di berbagai pelosok di negeri ini cukup besar.

"Tapi ironisnya, keluarga mereka masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan, karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah," kata pemerhati masyarakat wilayah pesisir Sulawesi Tenggara (Sultra), Muchtar Amin di Kendari, Kamis.

Kondisi memprihatinkan para nelayan tersebut tampak dari penampilan rumah-rumah penduduk di pemukiman para nelayan di sejumlah kabupaten di Provinsi Sultra, yang tidak banyak berubah, tetap berwajah kumuh.

Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, rumah para nelayan masih didominasi tiang seribu, dinding papan dan atap daun rumbia.

Mereka yang sudah sedikit berubah dan mampu membangun rumah layak huni, hanyalah kalangan juragan ikan, yang menampung hasil tangkapan ikan para nelayan tradisional.

Masalahnya, itu tadi, yakni, komunitas nelayan kurang mendapat perhatian dari Pemerintah.

Coba bandingkan dengan petani sawah yang setiap tahun mendapat subsidi pupuk, bantuan benih dan berbagai fasilitas lainnya seperti `hand tractor` atau alat penyemprot hama serangga.

Tidak mengherankan jika wajah perkampungan nelayan dan petani, ibarat bumi dan langit.

Perkampungan petani dipenuhi dengan rumah-rumah berdinding tembok berlantai keramik.

Sementara pemukiman nelayan dijajali dengan rumah-rumah berlantai tanah, berdinding papan, bahkan ada yang berndiding anyaman bambu.

Tengoklah nelayan yang mendiami wilayah-wilayah pesisir di Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna atau Kabupaten Bombana, Sultra.

Untuk melaut, para nelayan di sana sangat tergantung dari ketersediaan bahan bakar minyak (BBM), baik minyak tanah, solar atau premium.

Namun sampai sejauh ini, di beberapa wilayah pesisir kabupaten-kabupaten itu, Pemerintah belum menyediakan fasilitas berupa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) khusus untuk nelayan.

Akibatnya, untuk mendapatkan BBM bersubsudi, para nelayan harus datang antri di SPBU dengan membawa jerigen.

Konsekwensinya, tidak jarang mereka harus berurusan dengan aparat, karena dituding menimbun BBM.

Karena ada aturan, mengisi BBM di SPBU menggunakan jerigen, tidak dibolehkan.


                                 Harga tinggi

Nelayan yang (terpaksa) datang mengantri BBM di SPBU dengan menggunakan jerigen, lalu dituduh menimbun BBM oleh aparat, memang sungguh ironis.

Namun itulah realita yang dialami nelayan di berbabagai wilayah pesisir di Sultra.

Jika berhasil mendapatkan BBM yang aman pun, harus ditebus dengan harga tinggi, jauh di atas harga BBM bersubsidi, yakni antara Rp7.000 hingga Rp10.000 per liter.

Padahal, harga BBM bersubsi belum jadi dinaikkan Pemerintah, yakni tetap Rp4.500 per liter.

"Kami membeli BBM di atas harga subsidi itu, karena di daerah kami belum ada SPBU khusus nelayan," kata nelayan asal Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi di Wangi-wangi baru-baru ini.

Ia menuturkan pula, BBM jenis solar dijual dengan harga di atas harga BBM bersubsidi, karena penjual mendatangkannya dari Kota Kendari atau Kota Baubau.

Kondisi itu membuat para nelayan Wangi-wangi sering kesulitan memperoleh BBM jenis solar bagi kebutuhan melaut, karena kersediaan BBM tersebut sangat tergantung dari Kota Kendari atau Kota Baubau.

Sementara itu, anggota DPRD Sultra, Nursalam Lada, membenarkan kesulitan para nelayan di Kabupaten Wakatobi tersebut.

Dikatakannya, dari jumlah penduduk Wakatobi sebanyak 114.000 jiwa lebih, 75 persen di antaranya hidup sebagai nelayan.

"Pihak Pertamina yang mengatur regulasi BBM seharusnya segera memikirkan pendirian SPBU khusus nelayan di Wakatobi, sehingga kebutuhan BBM nelayan dapat terpenuhi secara normal dan para nelayan bisa memperoleh BBM bersubsidi," katanya.

Akibat kesulitan memperoleh BBM jenis solar tersebut, menurut Nursalam yang juga politisi PDI Perjuangan itu, para nelayan Sultra tidak maksimal mengembangkan usahanya.

Dampaknya, tingkat pendapatan para nelayan juga tidak maksimal, sehingga tingkat kesejahteraan mereka masih tetap jauh dari memadai.

"Wilayah perairan laut Wakatobi sangat kaya dengan berbagai jenis ikan maupun biota laut lainnya. Jika para nelayan memanfaatkan potensi laut tersebut secara maksimal, nelayan di daerah itu seharusnya bisa hidup sejahtera," tuturnya.


Butuh bantuan

Tegasnya, para nelayan Wakatobi yang tersebar di 100 wilayah desa pesisir , sangat membutuhkan dukungan infrastruktur maupun modal kerja untuk dapat meningkatkan kinerja usahanya sekaligus pendapatan keluarga mereka.

Bantuan yang dibutuhkan, terutama sarana produksi seperti kapal tangkap ikan atau alat budidaya rumput laut, juga SPBU khusus nelayan.

Tahun 2012 ini, nelayan tangkap ikan Kabupaten Wakatobi mendapat bantuan pemberdayaan ekoonmi produktif dari `International Maritime Employers` Committee` (IMEC), lembaga donor internasional, sebesar Rp3 miliar.

"Bantuan itu, akan disalurkan di 10 desa di wilayah pesisir pulau-pulau di Wakatobi," kata La Ode Hajibu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi.

Ia menjelaskan, setiap desa akan mendapatkan batuan dari IMEC itu, sebesar Rp300 juta.

Dana itu akan dikelola melalui kelompok-kelompok nelayan di masing-masing desa.

"IMEC akan memberikan bantuan pemberdayaan ekonomi nelayan miskin Wakatobi itu selama lima tahun berturut-turut dengan nilai setiap tahun rata-rata Rp3 miliar. Tahun ini, dana yang diberikan kepada masyarakat nelayan miskin di 10 desa itu, merupakan tahun pertama," katanya.

Pertanyaan sekarang, haruskah nasib jutaan keluarga nelayan di negeri ini bergantung kepada bantuan negara donor (asing) terus?

Seyogyanya Pemerintah melakukan hal yang sama seperti diupayakan pihak IMEC, membantu memberdayakan para nelayan, sehingga tingkat kesejahteraan mereka bisa meningkat.

Paling tidak, Pemerintah bisa membangun infratruktur yang dibutuhkan para nelayan, terutama SPBU khusus nelayan dan dermaga tempat pendaratan ikan.

Kedua fasilitas tersebut akan memberi jaminan kepada para nelayan, untuk mendapatkan BBM bersubsidi secara wajar dan harga penjualan ikan yang standar. Begitu menurut Hajibu.***


Pewarta : Azis Senong-Wartawan LKBN ANTARA Biro Sultra
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024