Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (KemenKPK) menegaskan orang tua perlu menyesuaikan gaya komunikasi sesuai dengan zaman demi menjaga kesehatan mental para remaja.
“Pola pendekatan kepada remaja dulu dengan sekarang kan berbeda, tetapi masih banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa remaja ini tidak dilahirkan di zamannya. Oleh karena itu pendekatan kepada remaja, bagaimana cara berkomunikasi juga harus disesuaikan dengan para remaja,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga KemenKPK Nopian Andusti saat ditemui di Jakarta, Sabtu.
Ia menyebutkan masih banyak orang tua yang beranggapan anak-anak harus menyesuaikan gaya komunikasi dengan orang tua, padahal seharusnya orang tua-lah yang harus menyesuaikan karena anak-anak atau remaja tidak dilahirkan di zaman mereka.
Nopian juga menambahkan remaja cenderung lebih nyaman berdiskusi atau menumpahkan perasaannya pada teman sebayanya, yang jika tidak dibimbing atau ada kontrol berpotensi membuat anak terjerumus pada hal-hal yang tidak benar.
“Kondisi ini harus ada solusinya, karena nyatanya anak-anak remaja ini lebih senang dan nyaman berkomunikasi atau berdiskusi dengan sesamanya, atau yang seusia mereka. Nah yang kita khawatirkan, kalau tempat mereka berdiskusi atau curhat adalah anak-anak atau remaja yang tidak tepat, maka mereka akan terjerumus,” ujar dia.
Sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan gangguan mental pada remaja, KemenKPK telah menyediakan wadah berupa Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R) dan Generasi berencana (Genre).
“Oleh karena itu di sini ada wadah remaja, ada anak-anak Genre yang akan menjadi konselor-konselor supaya mereka punya tempat berdiskusi, mencurahkan isi hati, dan saling berbagi, sehingga setiap persoalan yang mereka hadapi dapat diselesaikan. Ada 83 ribu pasang duta Genre yang saat ini sudah tersebar di seluruh desa,” paparnya.
Nopian mengemukakan KemenKPK juga berkolaborasi dengan UNICEF untuk menyosialisasikan terkait kesehatan mental yang ke depan akan diperluas pada provinsi-provinsi percontohan.
“KemenKPK akan turun bersama UNICEF untuk memberikan pendampingan dan pelatihan pada calon konselor sebaya, yang akan kita perluas di provinsi-provinsi dengan persentase remaja yang memiliki gangguan mental tinggi,” tuturnya.
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 700 ribu orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menunjukkan, angka kematian akibat bunuh diri pada tahun 2023 meningkat menjadi 1.350 kasus, dari 826 kasus pada tahun sebelumnya.
Sementara berdasarkan Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental emosional.