Pnomh Penh, (ANTARA News) - Apakah perang akan pecah di Asia Timur dan Laut Cina Selatan? Itu pertanyaan mendasar dari Joseph Nye Jr., pakar internasional dari Universitas Harvard yang harus dijawab para pemimpin negara Asia Tenggara dan para mitranya seperti China dan Amerika Serikat saat berlangsungnya KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja.
KTT ASEAN ke-21 kali ini dibayang-bayangi konfrontasi baru akibat meningkatnya konflik di Laut China Selatan dan kawasan Asia Timur. Setelah pertikaian antara China dan Jepang nasionalis mengenai Pulau Diaoyu (orang Jepang menyebut pulau yang sama sebagai Pulau Senkaku), pengunjuk rasa yang marah di kota Chengdu ramai-ramai meneriakan: "Bunuh semua orang Jepang".
Baru-baru ini terjadi juga insiden serupa. Bentrokan kapal China dan Filipina di Laut China Selatan telah mendorong unjuk rasa anti-China di Manila. Kerja sama yang sudah dijalin sangat panjang antara Korea Selatan dan Jepang hancur lebur berantakan oleh kunjungan Presiden Korsel Lee Myung-Bak ke Pulau Dokdo (Jepang menyebutnya Takeshima) yang disengketakan.
Patut diingat bahwa China pernah menggunakan kekuatan militernya untuk mengusir warga Vietnam dari Kepulauan Paracel pada 1974 dan 1988.
Dunia juga mengingat keberhasilan China memblok sebuah komunike akhir pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012. Untuk pertama kalinya dalam 44 tahun sejarah ASEAN, pertemuan berakhir tanpa komunike sama sekali karena adanya perbedaan pendapat atas isu Laut China Selatan.
Joseph Nye menilai Partai Komunis China kini tidak terlalu komunis lagi. Sebaliknya dasar legitimasi China kini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nasionalisme etnis Han. Sejumlah analis militer Amerika Serikat menilai strategi maritime China makin agresif. Mereka merujuk pada meningkatnya belanja pertahanan dan pengembangan teknologi kapal selam yang didesain untuk mengusasi kelautan.
Sejumlah pejabat dan media China sering mengacu kepada Laut China Selatan sebagai "kepentingan utama" China yang sederajat dengan isu Taiwan dan Tibet.
Saling tuding
Begitulah. Pengamat semacam Joseph Nye Jr. dan media Barat cenderung menuding China yang agresif dengan klaim teritorialnya sebagai biangkerok memanasnya konflik di Laut China Selatan. Tetapi, sebaliknya pejabat dan media China menganggap justeru Amerika Serikat-lah yang biangkerok sejatinya.
China menilai AS berusaha menunjukkan otot kuat militernya di kawasan Asia. Menurut Watching America, sebuah LSM yang memantau sepak terjang politik militer AS, ketegangan di kawasan Laut China Selatan merupakan bagian dari strategi pertahanan Washington.
Beijing mengatakan tuduhan dari kalangan strategi militer AS terhadap China sebagai penyebab konflik memanas di kawasan Asia sebagai "tidak berdasar" dan "tidak bisa dipercaya".
"Ketegangan meningkat sejak AS mengatakan akan memperkuat kehadiran militernya di Asia Pasifik," tulis sebuah pernyataan yang dikutip Press TV.
Beijing juga prihatin terhadap kebijakan pertahanan baru Washington yang menoleh ke Asia Pasifik bertujuan memperlemah hegemoni China di kawasan ini.
Saling tuding itu membuat posisi negara-negara anggota ASEAN terbelah. Filipina, yang memiliki sejarah dan kedekatan hubungan dengan AS, merasa dipinggirkan dan ditinggalkan oleh koleganya di ASEAN. Saat terjadi bentrokan dengan China, ASEAN diam seribu bahasa dan tidak ada pembelaan terhadap Filipina.
"Seolah-olah tidak ada gajah yang mengamuk di ruang-ruang pertemuan para menteri ASEAN," kata Menteri Luar Negeri Filipina Erlinda Basilio.
Lain dengan Filipina yang lebih pro-AS, Kamboja tentunya lebih merapat ke China. Untuk pertama kalinya dalam sejarah 45 tahun ASEAN, sidang para menteri luar negeri ASEAN di Phnom Penh bulan Juli lalu berakhir tanpa deklarasi atau komunike bersama karena perbedaan pandangan di antara anggota ASEAN menyangkut isu Laut China Selatan.
"Pnomh Penh insiden" tersebut dianggap para pengamat sebagai keberhasilan China memblok komunike akhir melalui posisi Kamboja dan sebaliknya kegagalan ASEAN untuk bersatu menghadapi China.
Perlu kode etik
Pada tahun 2002, China dan ASEAN sepakat untuk membuat semacam kode etik dalam penyelesaian sengketa di kawasan kaya minyak dan gas tersebut. Namun, sebagai negara kuasa besar, China merasa bahwa sengketa itu lebih bisa diatasi dalam kerangka bilateral dengan negara-negara yang lebih kecil ketimbang lewat negosiasi multilateral melalui ASEAN.
Itulah alasan mengapa China menekan Kamboja untuk memblok komunike akhir ASEAN bulan Juli lalu. Namun, posisi dan komitmen Kamboja di ASEAN di kembali diuji pada KTT ke-21 ASEAN yang kini berlangsung dan mengagendakan pertemuan khusus ASEAN-China.
Harapan akan dibicarakannya semacam kode etik tertulis untuk mengurangi ketegangan dan konflik di Laut China Selatan pada KTT ke-21 ini mencuat kembali. Sejumlah pemimpin ASEAN mendesak dibicarakan kembali masalah kode etik ini saat pertemuan ASEAN-China dengan Perdana Menteri Wen Jiabao.
"Yang Indonesia perjuangkan sekarang, disamping bekerja untuk disepakatinya sebuah kode etik, adalah membuka jalur telepon 'hotline'. Jika terjadi insiden di masa depan, maka terbuka komunikasi dan dialog melalui hubungan telpon hotline," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Terlepas siapa biangkeroknya, China atau AS, diplomasi tentu selalu lebih penting ketimbang konflik bersenjata. Mungkin semua negara-negara di Asia dan ASEAN harus mengingat nasehat paling terkenal Winston Churchill: "To jaw-jaw is always better than to war-war".
Ya, bicara-bicara lebih bagus ketimbang perang-perangan.
*Akhmad Kusaeni adalah Direktur Pemberitaan LKBN ANTARA