Jakarta (ANTARA) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan perlunya kebijakan nasional yang lebih menyeluruh dalam merapikan administrasi pertanahan di Indonesia.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih lahan yang selama ini muncul tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme kasus per kasus, melainkan membutuhkan fondasi hukum baru.
“Ini perlu ada kesepakatan nasional. Perlu ada Undang-Undang (UU) Administrasi Pertanahan baru. Yang di dalam UU Administrasi Pertanahan baru itu nanti ada semacam jeda transisi waktu. Sama seperti UU Pertanahan dulu, ada transisi waktu 20 tahun buat eigendom sama hak-hak barat dikasih untuk mendaftar ulang,” ujar Nusron dalam keterangan resmi dikutip Selasa (25/11).
Menteri Nusron menjelaskan, sebagian besar laporan tumpang tindih yang diterima Kementerian ATR/BPN berasal dari sertipikat yang terbit antara tahun 1961–1997.
Karena itu, ia menilai penting adanya aturan khusus yang memberikan batas waktu bagi pemegang sertipikat tersebut.
“Kita buat UU Administrasi Pertanahan, kemudian kita umumkan dalam UU itu pemegang sertipikat yang terbit tahun 1961 sampai 1997 dikasih batas waktu, 5 tahun atau 10 tahun. Setelah itu tutup buku. Kalau tidak, sampai kapan pun akan muncul terus masalah ini,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyatakan sepakat perlunya langkah pembenahan sistemik.
Baca juga: BPN Muna Barat dorong pemanfaatan aplikasi Sentuh Tanahku
Ia menilai, persoalan pertanahan bukan semata tanggung jawab BPN, melainkan akibat tumpang tindih regulasi lintas kementerian dan lembaga.
“Makna filosofis UU Pokok Agraria itu adalah untuk keadilan sosial masyarakat. Tapi UU Kehutanan, UU BUMN Nomor 16 Tahun 2025, kemudian ada UU Perbendaharaan Negara, itu menjadi privatisasi aset dengan waktu yang tak terhingga. Artinya secara filosofis saja itu sudah paradoks,” ucap Khozin.
Menurutnya, persoalan yang berulang tersebut menjadi tanda perlunya pembenahan menyeluruh, bukan penyelesaian parsial.
“Persoalan ini semuanya algoritmanya sudah ketemu. Locus-nya saja yang berbeda-beda. Ada constitutional damage di sana, ada benturan secara konstitusi negara kita. DPR sebagai pembuat UU punya tanggung jawab konstitusional untuk menyelesaikan itu,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI sekaligus Pimpinan Rapat, Zulfikar Arse Sadikin, menyampaikan apresiasi dan dukungan terhadap langkah pembenahan yang tengah dilakukan Kementerian ATR/BPN.
“Kami Komisi II DPR RI senantiasa punya komitmen untuk terus mendukung penuh apa yang mau dikerjakan oleh para mitra kerja kita, tanpa kecuali mendukung anggaran yang dibutuhkan,” ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR Bob Andika minta pemerintah tuntaskan sengketa lahan Serdang Bedagai
Baca juga: BPN Muna Barat percepat penyelesaian berkas layanan pertanahan