Kendari (ANTARA) - Fenomena Pulau Panas Perkotaan (UHI) kini menjadi tantangan serius bagi pembangunan perkotaan berkelanjutan di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara. Istilah UHI mengacu pada kondisi di mana suhu udara di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada suhu di sekitarnya. Penyebab utamanya adalah aktivitas manusia dan perubahan tutupan lahan: berkurangnya ruang terbuka hijau, dominasi aspal dan beton, serta meningkatnya konsumsi energi (Fajary et al., 2024).
UHI di Kota Besar
Beberapa studi akademis telah mengonfirmasi hal ini. Misalnya, penelitian oleh Fajary et al., (2024) dan Asfiya & Indah (2024) di Jakarta dan Surabaya menemukan bahwa berkurangnya ruang terbuka hijau dan dominasi permukaan kedap air mempercepat pembentukan pulau panas perkotaan. Penelitian oleh Yadav dan Singh (2024) di wilayah perkotaan Asia Selatan juga menunjukkan pola serupa: konsumsi energi untuk pendinginan dapat meningkat sebesar 15–20 persen ketika suhu kota meningkat akibat UHI. Temuan Jabbar et al., (2023) di Bandung memperkuat kesimpulan ini, dengan menyatakan bahwa UHI bukan hanya masalah iklim, tetapi juga masalah sosial-ekonomi karena meningkatkan pengeluaran rumah tangga dan memperburuk kualitas udara.
UHI Menyebar ke Timur
Yang jarang dibahas adalah bahwa fenomena ini juga mulai muncul di kota-kota menengah dan berkembang di Indonesia bagian timur. Di Sulawesi Tenggara, khususnya di kota Kendari, Baubau, dan Kolaka, tren ini semakin nyata. Data citra satelit Landsat 8 menunjukkan peningkatan suhu permukaan rata-rata sebesar 2,8–3,0°C antara tahun 2015 dan 2023. Angka ini lebih dari sekadar statistik—ini berarti kota-kota semakin panas, konsumsi listrik rumah tangga meningkat, dan risiko kesehatan masyarakat juga meningkat.
Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, yang rata-rata mencapai 4,2 persen per tahun sejak 2015 (Badan Pusat Statistik Sultra, 2024), juga memperburuk situasi ini. Konversi ruang terbuka hijau menjadi permukaan kedap air, khususnya di Kendari, telah mencapai 28 persen dalam delapan tahun terakhir (Otto et al., 2024).
Kota Bertumbuh, Ruang Terbuka Hijau Menyusut
Permasalahannya, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan Sulawesi Tenggara baru mencapai 12,3 persen dari total luas wilayah (BPS Sultra, 2024). Angka ini jauh di bawah standar minimal 30 persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Akibatnya, daya serap dan keseimbangan ekosistem kota terganggu. Air hujan sulit meresap, banjir meningkat, sementara permukaan kota memantulkan panas berlebih.
Dampaknya terasa di berbagai aspek. Menurut Yadav & Singh (2024), konsumsi energi untuk pendinginan dapat meningkat sebesar 15–20 persen. Tagihan listrik rumah tangga meningkat. Mobilitas warga di siang hari pun terganggu. Lebih lanjut, meningkatnya suhu perkotaan juga memperburuk kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan lansia, dengan peningkatan risiko penyakit pernapasan dan sengatan panas (Hamdani et al., 2025).
Belajar dari Penelitian di Kendari dan Baubau
Studi lokal mulai mengonfirmasi hal ini. Alwi et al., (2022) menunjukkan bahwa di Kendari, degradasi lahan dan penurunan kualitas lingkungan merupakan pendorong utama kenaikan suhu perkotaan. Ruang terbuka hijau yang tersedia masih belum mampu menyerap panas dan emisi secara efektif. Di Baubau, peningkatan konsumsi energi dan emisi karbon seiring dengan pembangunan perkotaan justru bertentangan dengan tujuan kota hijau. Tanpa kebijakan lingkungan berbasis mitigasi UHI, situasi akan semakin memburuk.
Sementara itu, kota-kota berukuran sedang seperti Kendari dan Baubau menghadapi dilema ganda: di satu sisi, mereka harus mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, tetapi di sisi lain, mereka terjebak dalam peningkatan risiko lingkungan. Topografi perbukitan dan iklim tropis lembap di Sulawesi Tenggara juga membuat distribusi panas lebih kompleks dibandingkan kota-kota di Jawa.
Perencanaan Tata Ruang Belum Memenuhi Tantangan
Tinjauan terhadap kebijakan perencanaan tata ruang di provinsi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara perencanaan dan implementasi. Meskipun dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menekankan pentingnya ruang terbuka hijau, dalam praktiknya, pengendalian pemanfaatan lahan masih lemah. Pembangunan baru seringkali mengabaikan daya dukung lingkungan. Kepadatan bangunan yang tinggi diterapkan tanpa mempertimbangkan sirkulasi udara. Kawasan komersial tumbuh pesat tetapi jarang ditumbuhi vegetasi. Akibatnya, perencanaan tata ruang mempercepat degradasi lingkungan dan memperburuk UHI.
Menuju Kebijakan Tata Ruang Adaptif
Apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan kota kita dari ancaman pulau panas perkotaan?
Pertama, memasukkan mitigasi UHI ke dalam kebijakan tata ruang. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan ruang terbuka hijau minimal 30 persen, sebagaimana diamanatkan undang-undang. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk: taman kota, hutan kota, sabuk hijau, bantaran sungai, dan bahkan atap hijau di gedung perkantoran.
Kedua, mengendalikan kepadatan bangunan. Rasio Luas Lantai (RPL) harus diatur agar area padat tetap menyediakan ruang terbuka, ventilasi alami, dan material ramah lingkungan (Asfiya & Indah, 2024).
Ketiga, memanfaatkan data spasial. Teknologi penginderaan jauh dan pemodelan spasial tersedia untuk memetakan titik-titik panas perkotaan secara waktu nyata (real-time), memungkinkan intervensi kebijakan yang lebih terarah.
Keempat, kolaborasi multipihak. Pemerintah daerah tidak dapat bekerja sendiri. Akademisi, komunitas, sektor swasta, dan masyarakat umum harus dilibatkan. Pendidikan masyarakat tentang pentingnya ruang terbuka hijau perlu diperkuat, agar warga merasa bertanggung jawab dalam menjaga lingkungannya (Alwi et al., 2022).
Mengapa Penting untuk Bertindak Sekarang?
Fenomena UHI bukan sekadar isu lingkungan teknis, tetapi juga masalah kualitas hidup dan masa depan perkotaan. Jika dibiarkan, dampaknya akan sangat luas: meningkatnya biaya energi, mengancam kesehatan masyarakat, dan menurunnya daya saing kota (Hamdani, 2025). Kota yang panas, padat, dan tidak nyaman akan kehilangan daya tariknya, baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai pusat investasi.
Sulawesi Tenggara memiliki peluang signifikan untuk belajar dari pengalaman kota-kota besar yang telah menghadapi UHI. Dengan mengintegrasikan kebijakan tata ruang yang ramah lingkungan, mengoptimalkan ruang terbuka hijau, dan mengendalikan kepadatan bangunan, provinsi ini dapat menjadi contoh bagaimana kota-kota menengah di Indonesia dapat berkembang secara berkelanjutan tanpa mengorbankan kualitas lingkungan.
UHI adalah seruan bagi kita semua. Sebuah seruan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga harus menyeimbangkan aspek ekologis. Kota yang sehat adalah kota yang hijau, teduh, dan nyaman untuk ditinggali. Dan kunci untuk mencapainya terletak pada keberanian untuk merencanakan ruang kota secara bijaksana.
Referensi
Alwi, L. O., Gandri, L., Hidayat, H., Tuwu, E. R., Irawati, I., Bana, S., Fitriani, V., & Indriyani, L. (2022). Analisis spasial fenomena urban heat island menggunakan algoritma land surface temperature Kota Kendari. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 23(2), 109–118. https://doi.org/10.31172/jmg.v23i2.852
Asfiya, N., & Indah, F. P. (2024). Systematic Literatur Review: The Impact of Urban Heat Is-Land (Uhi) On Air Quality. Journal of Climate Change Society, 2(2). https://doi.org/10.24036/jccs/Vol2-iss2/38
Fajary, F. R., Lee, H. S., Kubota, T., Bhanage, V., Pradana, R. P., Nimiya, H., & Putra, I. D. G. A. (2024). Comprehensive spatiotemporal evaluation of urban growth, surface urban heat island, and urban thermal conditions on Java island of Indonesia and implications for urban planning. Heliyon, 10(13), e33708. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e33708
Hamdani, G. K., Rikumahu, V. D., Putra, F. E., & Uny, C. (2025). Fenomena urban heat island di Kota Bandung. Edusaintek: Jurnal Pendidikan, Sains dan Teknologi, 12(2), 629–644. https://doi.org/10.47668/edusaintek.v12i2.1496
Jabbar, H. K., Hamoodi, M. N., & Al-Hameedawi, A. N. (2023, November). Urban heat islands: A review of contributing factors, effects and data. In 3rd International Conference on Smart Cities and Sustainable Planning. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1129(1), 012038. IOP Publishing. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1129/1/012038
Otto, M., Mukaddas, J., Hasddin, & Jasman. (2024). Dinamika dan faktor penyebab perubahan tutupan lahan dengan citra satelit Landsat TM/ETM di Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari. Shell Civil Engineering Journal (SCEJ), 9(1), 35–45. https://doi.org/10.35326/scej.v9i1.6171
Yadav, A., & Singh, J. (2024). A study on urban heat island (UHI): Challenges and opportunities for mitigation. Current World Environment, 19(1), 436–453. https://www.cwejournal.org
*) Dosen, Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan kota, Universitas Lakidende, Unaaha dan Ikatan Ahli Perencana Indonesia Sultra