Jakarta (ANTARA) - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa DPR RI perlu mengubah keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang berstatus RUU "carry over", untuk bisa menindak lanjuti ide Presiden Prabowo Subianto yang ingin memperbaiki sistem pemilu.
Dia mengatakan pembahasan RUU Pilkada tidak bisa lagi dimulai dari level yang paling awal yaitu penyusunan draf dan naskah akademik karena status "carry over" tersebut. Adapun RUU Pilkada sebelumnya sudah dibahas sejak DPR RI Periode 2019-2024 yang kemudian dibawa ke periode 2024-2029.
"Jika gagasan Presiden mau diwujudkan maka terlebih dahulu DPR mengubah keputusan terkait RUU Pilkada yang masuk dalam RUU Carry Over. Dengan begitu maka proses pembentukannya bisa mulai dari awal dan gagasan baru seperti yang disampaikan Presiden bisa diwujudkan," kata Lucius di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, RUU Pilkada itu tetap bisa segera ditindaklanjuti oleh DPR RI karena Komisi II DPR RI telah mengusulkan RUU Pilkada yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Karena ide itu datang dari Presiden, menurut dia, tugas Presiden selanjutnya yaitu menyampaikan keinginannya ke Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum untuk dimasukkan ke dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
"Kita tinggal menunggu saja, apakah gagasan Presiden soal perubahan sistem pilkada ini akan direspons dengan munculnya ide itu dalam pasal-pasal draf RUU yang akan disiapkan oleh DPR," ucap dia.
Namun, dia menilai bahwa usulan Presiden hanya berdasarkan pada pertimbangan biaya politik yang mahal saja. Padahal, kata dia, banyak variabel lain terkait demokrasi yang seharusnya jadi pertimbangan utama selain soal biaya.
Menurut dia, perubahan sistem pilkada karena biaya yang mahal itu sebenarnya kerap dikeluhkan setiap momentum pilkada maupun pemilu. Sayangnya tak ada data kredibel soal berapa sesungguhnya uang yang dihabiskan oleh masing-masing kandidat.
Selain itu, dia menilai pemilu yang berbiaya mahal semata-mata hanya keluhan politisi karena biaya politik yang mereka habiskan tak pernah diungkap transparan ke publik. Kalau merujuk data terkait dana kampanye, menurutnya dia, angka biayanya bervariasi dan tak semuanya bisa mengonfirmasi.
"Jadi mahal atau murahnya biaya pilkada itu tak berkorelasi langsung dengan pemilih. Pemilih tidak memberikan sumbangsih apa pun bagi mahalnya biaya pilkada," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Prabowo mengajak seluruh ketua umum dan pimpinan partai politik yang hadir pada Puncak HUT Ke-60 Partai Golkar di Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12) untuk memperbaiki sistem politik yang menghabiskan puluhan triliun dalam satu-dua hari setiap penyelenggaraan pemilu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Formappi: DPR pelu ubah keputusan RUU Pilkada untuk bahas ide Prabowo
Dia mengatakan pembahasan RUU Pilkada tidak bisa lagi dimulai dari level yang paling awal yaitu penyusunan draf dan naskah akademik karena status "carry over" tersebut. Adapun RUU Pilkada sebelumnya sudah dibahas sejak DPR RI Periode 2019-2024 yang kemudian dibawa ke periode 2024-2029.
"Jika gagasan Presiden mau diwujudkan maka terlebih dahulu DPR mengubah keputusan terkait RUU Pilkada yang masuk dalam RUU Carry Over. Dengan begitu maka proses pembentukannya bisa mulai dari awal dan gagasan baru seperti yang disampaikan Presiden bisa diwujudkan," kata Lucius di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, RUU Pilkada itu tetap bisa segera ditindaklanjuti oleh DPR RI karena Komisi II DPR RI telah mengusulkan RUU Pilkada yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Karena ide itu datang dari Presiden, menurut dia, tugas Presiden selanjutnya yaitu menyampaikan keinginannya ke Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum untuk dimasukkan ke dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
"Kita tinggal menunggu saja, apakah gagasan Presiden soal perubahan sistem pilkada ini akan direspons dengan munculnya ide itu dalam pasal-pasal draf RUU yang akan disiapkan oleh DPR," ucap dia.
Namun, dia menilai bahwa usulan Presiden hanya berdasarkan pada pertimbangan biaya politik yang mahal saja. Padahal, kata dia, banyak variabel lain terkait demokrasi yang seharusnya jadi pertimbangan utama selain soal biaya.
Menurut dia, perubahan sistem pilkada karena biaya yang mahal itu sebenarnya kerap dikeluhkan setiap momentum pilkada maupun pemilu. Sayangnya tak ada data kredibel soal berapa sesungguhnya uang yang dihabiskan oleh masing-masing kandidat.
Selain itu, dia menilai pemilu yang berbiaya mahal semata-mata hanya keluhan politisi karena biaya politik yang mereka habiskan tak pernah diungkap transparan ke publik. Kalau merujuk data terkait dana kampanye, menurutnya dia, angka biayanya bervariasi dan tak semuanya bisa mengonfirmasi.
"Jadi mahal atau murahnya biaya pilkada itu tak berkorelasi langsung dengan pemilih. Pemilih tidak memberikan sumbangsih apa pun bagi mahalnya biaya pilkada," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Prabowo mengajak seluruh ketua umum dan pimpinan partai politik yang hadir pada Puncak HUT Ke-60 Partai Golkar di Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12) untuk memperbaiki sistem politik yang menghabiskan puluhan triliun dalam satu-dua hari setiap penyelenggaraan pemilu.
"Saya lihat, negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih ya sudah DPRD itu lah milih gubernur, milih bupati. Efisien, nggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita kaya," kata Presiden.
Dia menyebut uang yang dikeluarkan untuk biaya pemilu bisa digunakan untuk memberikan anak-anak makan, memperbaiki sekolah, hingga memperbaiki irigasi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Formappi: DPR pelu ubah keputusan RUU Pilkada untuk bahas ide Prabowo