Jakarta (ANTARA) - Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menyebut bahwa sejak pertama kali diundangkan hingga bulan Oktober 2024, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sudah diuji sebanyak 152 kali.
“Sampai dengan Oktober ini sudah 152 kali diuji, dari umurnya yang baru sekitar tujuh tahun,” kata Fajar dalam acara Seminar dan Peluncuran Buku Reformasi Pemilu Jalur Mahkamah Konstitusi yang digelar Perludem di Jakarta, Kamis.
Fajar menjelaskan, UU Pemilu bahkan sudah diuji begitu paripurna DPR RI menyepakati undang-undang tersebut. Dalam perkembangannya, UU Pemilu paling banyak diuji pada tahun 2023, yakni sebanyak 42 kali.
“Di tahun pertamanya itu ada 14 perkara yang masuk ke MK, seterusnya itu fluktuatif. Bahkan di tahun 2019, ketika pemilu itu berlangsung, itu juga ada yang mengajukan uji materi,” imbuh dia.
Dari 152 kali pengujian UU Pemilu di MK, hanya ada 18 perkara yang diputus dengan amar putusan dikabulkan. Dua di antaranya dikabulkan seluruhnya, sementara 16 perkara lainnya dikabulkan sebagian.
“Dua yang dikabulkan secara keseluruhan, soal frasa ‘pekerjaan lain’ yang disyaratkan sebagai anggota DPD. Jadi, tidak boleh fungsionaris partai politik dicalonkan sebagai anggota DPD. Kemudian, satu lagi yang menarik, ada yang sudah dikubur oleh MK, tapi kemudian dibangkitkan lagi (oleh pembentuk undang-undang): itu soal kalau pilpres cuma dua pasang calon, tidak usah dua putaran,” tuturnya.
Menurut Fajar, banyaknya pengujian UU Pemilu, salah satunya, karena undang-undang tersebut mengatur ketentuan krusial menuju tampuk-tampuk kekuasaan. Selain itu, komunitas publik maupun masyarakat sipil bercita-cita agar UU Pemilu dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berkualitas.
“Ketika ada norma-norma yang merugikan hak-hak warga negara, ini (masyarakat) bergerak. Di sinilah kemudian yang bengkok-bengkok itu diluruskan (oleh MK),” ucap Fajar.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa tindak lanjut dari putusan MK ada yang bersifat langsung diimplementasikan (self-implemented) dan tidak langsung diimplementasikan (non-self-implemented).
Putusan MK yang bersifat self-implemented, terang Fajar, berlaku secara serta merta tanpa perlu perubahan undang-undang ataupun regulasi tertentu, sementara putusan non-self-implemented membutuhkan regulasi terlebih dahulu sebelum diterapkan.
“Kalau oleh KPU misalnya dia ditindaklanjuti dengan PKPU (peraturan KPU). Atau MK memerintahkan pembentuk undang-undang harus melakukan perubahan, tentu ada jangka waktunya, misalnya dikasih waktu dua tahun,” ucapnya.
“Sampai dengan Oktober ini sudah 152 kali diuji, dari umurnya yang baru sekitar tujuh tahun,” kata Fajar dalam acara Seminar dan Peluncuran Buku Reformasi Pemilu Jalur Mahkamah Konstitusi yang digelar Perludem di Jakarta, Kamis.
Fajar menjelaskan, UU Pemilu bahkan sudah diuji begitu paripurna DPR RI menyepakati undang-undang tersebut. Dalam perkembangannya, UU Pemilu paling banyak diuji pada tahun 2023, yakni sebanyak 42 kali.
“Di tahun pertamanya itu ada 14 perkara yang masuk ke MK, seterusnya itu fluktuatif. Bahkan di tahun 2019, ketika pemilu itu berlangsung, itu juga ada yang mengajukan uji materi,” imbuh dia.
Dari 152 kali pengujian UU Pemilu di MK, hanya ada 18 perkara yang diputus dengan amar putusan dikabulkan. Dua di antaranya dikabulkan seluruhnya, sementara 16 perkara lainnya dikabulkan sebagian.
“Dua yang dikabulkan secara keseluruhan, soal frasa ‘pekerjaan lain’ yang disyaratkan sebagai anggota DPD. Jadi, tidak boleh fungsionaris partai politik dicalonkan sebagai anggota DPD. Kemudian, satu lagi yang menarik, ada yang sudah dikubur oleh MK, tapi kemudian dibangkitkan lagi (oleh pembentuk undang-undang): itu soal kalau pilpres cuma dua pasang calon, tidak usah dua putaran,” tuturnya.
Menurut Fajar, banyaknya pengujian UU Pemilu, salah satunya, karena undang-undang tersebut mengatur ketentuan krusial menuju tampuk-tampuk kekuasaan. Selain itu, komunitas publik maupun masyarakat sipil bercita-cita agar UU Pemilu dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berkualitas.
“Ketika ada norma-norma yang merugikan hak-hak warga negara, ini (masyarakat) bergerak. Di sinilah kemudian yang bengkok-bengkok itu diluruskan (oleh MK),” ucap Fajar.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa tindak lanjut dari putusan MK ada yang bersifat langsung diimplementasikan (self-implemented) dan tidak langsung diimplementasikan (non-self-implemented).
Putusan MK yang bersifat self-implemented, terang Fajar, berlaku secara serta merta tanpa perlu perubahan undang-undang ataupun regulasi tertentu, sementara putusan non-self-implemented membutuhkan regulasi terlebih dahulu sebelum diterapkan.
“Kalau oleh KPU misalnya dia ditindaklanjuti dengan PKPU (peraturan KPU). Atau MK memerintahkan pembentuk undang-undang harus melakukan perubahan, tentu ada jangka waktunya, misalnya dikasih waktu dua tahun,” ucapnya.