Bondowoso (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkap kasus korupsi di Badan Nasional dan Pertolongan (Basarnas) yang menunjukkan bahwa semangat memberantas praktik korupsi di negeri ini tidak pernah berhenti.
Pada pengungkapan kasus itu, tim KPK menemukan dua perwira TNI, yakni Marsdya Henri Alfiandi (HA) yang saat itu menjabat Kepala Basarnas dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC) yang saat itu menjabat sebagai koordinator staf administrasi (Koorsmin) Basarnas.
Pengungkapan kasus itu sempat memunculkan kontroversi mengenai kewenangan KPK menangani penyelenggara negara dari personel TNI. Kontroversi kemudian selesai setelah KPK dan Pusat Polisi Militer (Puspom) berkoordinasi.
Lepas dari tarik menarik kewenangan dalam menangani kasus itu, setiap peristiwa seharusnya menjadi pelajaran besar bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Apalagi kasus ini adalah korupsi yang sedang menjadi perhatian bersama seluruh elemen bangsa. Pemerintah lewat berbagai instrumennya terus berupaya agar para penyelenggara negara lepas dari perilaku menyalahi hukum yang merugikan rakyat itu.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono juga mengajak para personel tentara yang bertugas di luar instansi militer untuk tidak kehilangan atau lepas dari jati dirinya sebagai seorang tentara.
Ajakan Panglima TNI memang harus menjadi perhatian para personel TNI yang proses kelahirannya penuh dengan sejarah heroisme dan harga diri yang tinggi sebagai tentara rakyat. Tentara Indonesia lahir dari rakyat, kemudian perilaku dan pengabdian idealnya harus selalu diupayakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Laksamana Yudo Margono mengingatkan para prajurit dengan menggunakan istilah jangan lepas dari induknya.
Harapannya, kasus di Basarnas yang mau tidak mau harus diakui telah mencoreng nama baik TNI itu, tidak pernah lagi terulang.
Secara gamblang, laksamana berbintang empat itu meminta prajurit yang bertugas di luar institusi TNI untuk selalu menanamkan spirit dalam jiwanya bahwa dia adalah TNI. Penanaman spirit itu untuk mengingatkan bahwa prajurit memiliki doktrin yang lebih kuat dibandingkan kaum sipil, terutama terkait disiplin, hirarki, dan kehormatan militer.
Selain karena tuntutan tugas di suatu institusi dinilai lebih cocok dipegang oleh seorang tentara, penempatan personel TNI di lembaga non-militer memiliki makna agar disiplin dan kehormatan di lingkungan militer dapat ditularkan oleh personel TNI itu di lingkungan tempatnya bertugas.
Menjadi ironi ketika seorang prajurit, apalagi dengan pangkat perwira, baik menengah maupun perwira tinggi, justru menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan harga diri dan disiplin yang sudah ditanamkan di lingkungan militer. Seorang tentara idealnya menjadi panglima dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di institusi yang dipimpinnya.
Komunikasi dan pengawasan
Kekuasaan yang di dalamnya ada amanah besar mengenai pengelolaan anggaran memang rawan terjadi penyimpangan atau yang kita kenal sebagai korupsi.
Karena itu, pengawasan menjadi sesuatu yang mutlak untuk membentengi para pemegang amanah kekuasaan itu agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Untuk perwira yang mendapatkan tugas di luar institusi militer, sebagaimana diingatkan oleh Panglima TNI, jangan lepas dari institusi asalnya. Inilah makna pengawasan dan komunikasi.
Pengawasan itu harus dilakukan oleh perwira yang lebih tinggi pangkatnya dari prajurit yang mendapatkan tugas di luar militer itu. Pemimpin TNI dapat memanfaatkan seluruh sumber daya manusia mumpuni untuk melakukan pengawasan kepada seluruh prajuritnya, tidak hanya yang bertugas di lingkungan militer.
Sudah lazim jika di dunia militer memiliki personel bidang intelijen. Personel ini, selain berkeahlian di bidang intelijen perang juga bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan informasi mengenai perilaku dan gaya hidup prajurit yang bertugas di luar institusi militer.
Tim intelijen ini bisa berkoordinasi intensif dengan inspektorat yang ada di lembaga-lembaga pemerintah yang tugas internalnya memang mengawasi kemungkinan ada penyimpangan kewenangan oleh personel di lembaga itu.
Hanya saja, boleh jadi pengawasan inspektorat itu menghadapi kendala budaya dan psikologis karena yang diawasi adalah seorang perwira tinggi.
Terkait teknis pengawasan, di era keterbukaan informasi saat ini sangat mudah melihat gejala menyimpang di luar kemampuan ekonomi seorang prajurit sesuai dengan jabatannya. Bisa juga pengawasan itu dilakukan dengan melihat program-program yang dijalankan, apakah sudah sesuai dengan anggaran yang besarannya juga sangat mudah untuk diakses oleh semua pihak, termasuk tim intelijen di TNI.
Komunikasi juga menjadi penting dalam rangka terus menerus mengingatkan jati prajurit yang ditugaskan di institusi sipil untuk selalu menjaga disiplin dan kehormatan militer.
Komunikasi ini tentu harus dimulai dari pemimpin TNI, baik di tingkat matra maupun pusat atau Mabes TNI. Komunikasi intensif ini juga menunjukkan bahwa pemimpin TNI tidak meninggalkan begitu saja prajuritnya yang bertugas di institusi lain di luar TNI.
Kasus korupsi di tubuh Basarnas dan diungkap oleh KPK ini menjadi pengingat bersama bahwa pencegahan korupsi juga tidak kalah penting dengan penindakan. Dengan pengawasan dan komunikasi, seluruh celah peluang korupsi ditutup bersama oleh semua elemen.
Dengan pengawasan atau pencegahan dan penindakan, harapan pengelolaan negara dijalankan dengan bersih hati, dan hasrat menumpuk kekayaan tidak terlihat lagi di negeri ini. Penyelenggara bersih, negara dan rakyat menjadi sejahtera.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Korupsi Basarnas dan jati diri TNI
Pada pengungkapan kasus itu, tim KPK menemukan dua perwira TNI, yakni Marsdya Henri Alfiandi (HA) yang saat itu menjabat Kepala Basarnas dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC) yang saat itu menjabat sebagai koordinator staf administrasi (Koorsmin) Basarnas.
Pengungkapan kasus itu sempat memunculkan kontroversi mengenai kewenangan KPK menangani penyelenggara negara dari personel TNI. Kontroversi kemudian selesai setelah KPK dan Pusat Polisi Militer (Puspom) berkoordinasi.
Lepas dari tarik menarik kewenangan dalam menangani kasus itu, setiap peristiwa seharusnya menjadi pelajaran besar bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Apalagi kasus ini adalah korupsi yang sedang menjadi perhatian bersama seluruh elemen bangsa. Pemerintah lewat berbagai instrumennya terus berupaya agar para penyelenggara negara lepas dari perilaku menyalahi hukum yang merugikan rakyat itu.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono juga mengajak para personel tentara yang bertugas di luar instansi militer untuk tidak kehilangan atau lepas dari jati dirinya sebagai seorang tentara.
Ajakan Panglima TNI memang harus menjadi perhatian para personel TNI yang proses kelahirannya penuh dengan sejarah heroisme dan harga diri yang tinggi sebagai tentara rakyat. Tentara Indonesia lahir dari rakyat, kemudian perilaku dan pengabdian idealnya harus selalu diupayakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Laksamana Yudo Margono mengingatkan para prajurit dengan menggunakan istilah jangan lepas dari induknya.
Harapannya, kasus di Basarnas yang mau tidak mau harus diakui telah mencoreng nama baik TNI itu, tidak pernah lagi terulang.
Secara gamblang, laksamana berbintang empat itu meminta prajurit yang bertugas di luar institusi TNI untuk selalu menanamkan spirit dalam jiwanya bahwa dia adalah TNI. Penanaman spirit itu untuk mengingatkan bahwa prajurit memiliki doktrin yang lebih kuat dibandingkan kaum sipil, terutama terkait disiplin, hirarki, dan kehormatan militer.
Selain karena tuntutan tugas di suatu institusi dinilai lebih cocok dipegang oleh seorang tentara, penempatan personel TNI di lembaga non-militer memiliki makna agar disiplin dan kehormatan di lingkungan militer dapat ditularkan oleh personel TNI itu di lingkungan tempatnya bertugas.
Menjadi ironi ketika seorang prajurit, apalagi dengan pangkat perwira, baik menengah maupun perwira tinggi, justru menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan harga diri dan disiplin yang sudah ditanamkan di lingkungan militer. Seorang tentara idealnya menjadi panglima dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di institusi yang dipimpinnya.
Komunikasi dan pengawasan
Kekuasaan yang di dalamnya ada amanah besar mengenai pengelolaan anggaran memang rawan terjadi penyimpangan atau yang kita kenal sebagai korupsi.
Karena itu, pengawasan menjadi sesuatu yang mutlak untuk membentengi para pemegang amanah kekuasaan itu agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Untuk perwira yang mendapatkan tugas di luar institusi militer, sebagaimana diingatkan oleh Panglima TNI, jangan lepas dari institusi asalnya. Inilah makna pengawasan dan komunikasi.
Pengawasan itu harus dilakukan oleh perwira yang lebih tinggi pangkatnya dari prajurit yang mendapatkan tugas di luar militer itu. Pemimpin TNI dapat memanfaatkan seluruh sumber daya manusia mumpuni untuk melakukan pengawasan kepada seluruh prajuritnya, tidak hanya yang bertugas di lingkungan militer.
Sudah lazim jika di dunia militer memiliki personel bidang intelijen. Personel ini, selain berkeahlian di bidang intelijen perang juga bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan informasi mengenai perilaku dan gaya hidup prajurit yang bertugas di luar institusi militer.
Tim intelijen ini bisa berkoordinasi intensif dengan inspektorat yang ada di lembaga-lembaga pemerintah yang tugas internalnya memang mengawasi kemungkinan ada penyimpangan kewenangan oleh personel di lembaga itu.
Hanya saja, boleh jadi pengawasan inspektorat itu menghadapi kendala budaya dan psikologis karena yang diawasi adalah seorang perwira tinggi.
Terkait teknis pengawasan, di era keterbukaan informasi saat ini sangat mudah melihat gejala menyimpang di luar kemampuan ekonomi seorang prajurit sesuai dengan jabatannya. Bisa juga pengawasan itu dilakukan dengan melihat program-program yang dijalankan, apakah sudah sesuai dengan anggaran yang besarannya juga sangat mudah untuk diakses oleh semua pihak, termasuk tim intelijen di TNI.
Komunikasi juga menjadi penting dalam rangka terus menerus mengingatkan jati prajurit yang ditugaskan di institusi sipil untuk selalu menjaga disiplin dan kehormatan militer.
Komunikasi ini tentu harus dimulai dari pemimpin TNI, baik di tingkat matra maupun pusat atau Mabes TNI. Komunikasi intensif ini juga menunjukkan bahwa pemimpin TNI tidak meninggalkan begitu saja prajuritnya yang bertugas di institusi lain di luar TNI.
Kasus korupsi di tubuh Basarnas dan diungkap oleh KPK ini menjadi pengingat bersama bahwa pencegahan korupsi juga tidak kalah penting dengan penindakan. Dengan pengawasan dan komunikasi, seluruh celah peluang korupsi ditutup bersama oleh semua elemen.
Dengan pengawasan atau pencegahan dan penindakan, harapan pengelolaan negara dijalankan dengan bersih hati, dan hasrat menumpuk kekayaan tidak terlihat lagi di negeri ini. Penyelenggara bersih, negara dan rakyat menjadi sejahtera.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Korupsi Basarnas dan jati diri TNI