Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa kemiskinan bukan penyebab utama terjadinya kekerdilan pada anak (stunting) di Indonesia.
 

“Kemiskinan bukan satu-satunya permasalahan dalam masalah stunting. Pengetahuan yang minim saat sebelum menikah, hamil dan pola asuh yang salah terhadap anak juga bisa menyebabkan terjadinya stunting,” kata Penyuluh KB Utama BKKBN Siti Fathonah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
 

Berdasarkan data dari survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2021, angka prevalensi stunting secara nasional masih ada di angka 24,4 persen. Artinya masih ada sekitar enam juta anak yang mengalami gagal pertumbuhan atau dalam kondisi stunting.
 

Fathonah menuturkan seringkali banyak pihak menyalahkan bahwa tingkat kemiskinan identik dengan pendapatan yang rendah sehingga asupan gizi anak tidak maksimal. Sayangnya, stunting dapat terjadi meski seorang anak berada di dalam keluarga yang kaya sekalipun.

Sebab permasalahan stunting di Indonesia, cederung terjadi akibat pola asuh yang salah diterapkan dalam keluarga dan minimnya pengetahuan terkait kesehatan perempuan dan anak bahkan sejak sebelum pernikahan.
 

Dengan demikian, supaya anak terhindar dari stunting, kata Fathonah, calon pengantin perempuan disarankan untuk memeriksakan kesehatannya mulai dari pemeriksaan lingkar lengan, berat badan, dan tinggi badan. Kemudian pemeriksaan hemoglobin (Hb) untuk mengetahui apakah calon ibu memiliki anemia.
 

Fathonah menambahkan untuk ibu hamil, gizi yang diberikan oleh keluarga harus seimbang. Pemeriksaan kehamilan untuk memantau tumbuh kembang janin juga harus rutin dilakukan.
 

"Kalau dari semua indikator itu ada yang merah, dia diminta ke puskesmas agar mendapat treatment. Makanya tiga bulan sebelum menikah harus mendaftar di aplikasi Elsimil (Elektronik Siap Nikah Siap Hamil) agar terkontrol," ujar Fathonah.
 

Sementara pada hari pertama kelahiran bayi, jika bayi terlahir dengan berat badan di bawah 2,5 kilogram dan panjang di bawah 48 sentimeter, bayi dapat dikatakan masuk kategori.
 

Dengan demikian, dirinya menekankan bayi sampai usia enam bulan, harus diberikan ASI eksklusif dan secara penuh sampai enam bulan dilanjutkan dengan Makanan Pendamping ASI (MPASI).
 

Fathonah melanjutkan BKKBN sendiri sudah membentuk Tim Pendamping Keluarga (TPK) supaya pengetahuan dan kesehatan keluarga dapat dikawal dengan baik.
 

Di mana terdapat lima sasaran dari tim tersebut dalam menurunkan angka stunting yakni calon pengantin, ibu hamil, bayi dua tahun (baduta), bayi lima tahun (balita) dan ibu pasca bersalin. Kelima sasaran tersebut nantinya akan dilakukan inkubasi dan perhatian khusus.
 

"Inilah pentingnya memberikan edukasi kepada masyarakat. BKKBN melalui kelembagaanya ada Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), satgas stunting, Tim Pendamping Keluarga (TPK) di desa, terus memberikan edukasi kepada masyarakat," kata dia.



 

Arsip - Danrem 131/Santiago Brigjen TNI Muhklis menyerahkan bantuan bagi balita stunting saat momentum Harganas di Sulut. ANTARA/HO-BKKBN (1)

Pemerintah Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), menargetkan bisa menekan angka kasus stunting atau kekerdilan anak di daerah itu menjadi 12 persen.

"Kami menargetkan angka stunting di Muna ini turun menjadi 12 persen," kata kepala Dinas kesehatan Muna, La Ode Rimbasua, yang dihubungi di Muna, Selasa.

Disebutkan, angka kasus stunting di Muna saat ini berkisar 16,9 persen dengan sebaran kasus di semua kecamatan daerah itu.

Menurut dia, untuk menekan angka stunting tersebut maka pihaknya telah membentuk tim percepatan penanganan stunting yang melibatkan 14 organisasi perangkat daerah (OPD) di Muna.

"Tim percepatan penanganan stunting ini diketuai langsung oleh Wakil Bupati Muna, Bachrun Labuta. Dengan arahan wakil bupati maka stunting ini bisa kita tekan," katanya.

Ia menjelaskan, semua OPD yang terlibat sudah mengetahui tugasnya siapa bekerja apa, sehingga pertanggungjawaban masing-masing OPD bisa terukur.

"Khusus di Dinkes Muna, yang menjadi tanggung jawab kami dalam penanganan stunting adalah pemberian gizi pada balita usia 0-2 tahun," kata La Ode Rimbasua.


Sebelumnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Provinsi Sultra berkomitmen untuk menurunkan angka stunting di daerah itu menjadi 14 persen sesuai target nasional.

"Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktivitas, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kemiskinan serta kesenjangan," kata Kepala BKKBN Sultra Asmar.


Ia menyebutkan angka prevalensi stunting di daerah berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 30,02 persen.

"Angka stunting di Sultra masih berada di atas rata-rata nasional, karena angka kasus stunting nasional hanya mencapai 24,4 persen berdasarkan SSGI 2021," katanya.

Ia memerinci jika dilihat dari data per kabupaten kota maka yang tertinggi berada di Buton Selatan sebanyak 45,2 persen, menyusul Buton Tengah 42,7 persen, Buton 33,9 persen, Konawe Kepulauan 32,8 persen, Muna 30,8 persen, Konawe Utara 29,5 persen.

Kemudian Kolaka Utara 29,1 persen, Muna barat 29,0 persen, Konawe Selatan 28,3 persen, Kota Baubau 27,6 persen, Bombana 26,8 persen, Buton Utara 26,8 persen, Kolaka 26,5 persen, Konawe 26,2 persen, 26,0 persen, Kota Kendari 24,0 persen, dan Kolaka Timur 23,0 persen.

"Harusnya daerah kepulauan ini rendah angka stuntingnya karena ketersediaan gizi cukup dari konsumsi ikan segar. Tetapi ini malah terbalik, justru Kabupaten Kolaka Timur yang tidak memiliki wilayah laut malah yang terendah angka stuntingnya," katanya.

Pihaknya telah melakukan berbagai rencana aksi nasional guna menekan angka stunting di daerah penghasil tambang nikel tersebut.

Upaya itu demi mengejar target pada tahun 2024 bisa menekan angka stanting agar turun menjadi 14 persen secara nasional, termasuk Sultra, demikian Asmar.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BKKBN: Kemiskinan bukan penyebab utama terjadinya stunting

Pewarta : Hreeloita Dharma Shanti
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024