Kendari (ANTARA) - Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Fesal Musaad, mengatakan ritual adat "Mosehe" yang dilakukan oleh beberapa etnis di Sulawesi Tenggara (Sultra) seperti etnis Tolaki dan Mekongga merupakan warisan leluhur yang harus terus dilestarikan dan tidak bertentangan dengan agama.
"Adat istiadat "Mosehe" itu adalah nilai kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur yang harus kita pertahankan dan lestarikan," kata Fesal di Kendari, Jumat.
Pernyataan itu disampaikan Fesal Musaad menanggapi aksi keberatan masyarakat Tolaki di Kolaka akibat pernyataan seorang pendakwah yang menyatakan "Mosehe" adalah Syirik akbar.
Menurut mantan Kakanwil Kemenag Maluku ini, nilai budaya adat istiadat memiliki kekuatan besar dalam meredam sebuah konflik besar yang diakibatkan oleh ketersinggungan SARA.
"Kenapa saya katakan demikian, karena ada pengalaman saya menjadi saksi sejarah bahwa adat istiadat dan kearifan lokal lah yang menjadi peredam konflik agama di Ambon Maluku," katanya.
Dikatakan, sangat besar peran adat istiadat dalam menyatukan warga Ambon yang berkonflik saat itu, sehingga masyarakat Maluku saat ini sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan kearifan lokal yang ada.
"Oleh karena itu, tidak ada alasan siapa pun dia, bisa mengatakan bahwa kearifan lokal itu syirik, itu salah. Karena kearifan lokal itu adalah pengejawantahan atau implementasi dari ajaran agama," katanya.
Oleh karena itu lanjut dia, adat istiadat kearifan lokal masyarakat Sultra harus dijaga, dipelihara dan dikembangkan untuk generasi selanjutnya.
"Kalau sampai ada yang ingin merongrong kearifan lokal, berarti dia bukan generasi yang baik, karena generasi yang baik itu tidak hanya mampu memelihara sebuah adat dan kearifan, tetapi juga dikembangkan untuk diri sendiri," katanya.
Lebih lanjut dikatakan, kekuatan adat istiadat dan kearifan lokal saat bertugas di Ambon Maluku, juga diserukan kepada Madrasah se Sultra atau pun pondok-pondok pesantren agar mengangkat kembali adat istiadat dan kearifan lokal daerah, perkenalkan kepada siswa atau santri.
"Ketika saya sampai di Sultra sebagai kepala kanwil Kemenag, saya kumpulkan para kepala Kantor gama kabupaten kota. Saya serukan untuk adat istiadat kearifan lokal harus ditimbulkan atau diangkat kembali. Bahkan bila perlu di dinding-dinding madrasah dan pondok pesantren ditulis lengkap dan artinya. Supaya anak-anak baca dan terinspirasi bahwa ada nilai kearifan lokal yang bisa menjadi dasar dalam membangun negeri," katanya.
Sebelumnya, pada Kamis (12/3) telah terjadi aksi ribuan massa di Kolaka yang mengecam ucapan seorang pendakwah yang mengatakan bahwa selama ini telah terjadi syirik akbar di Kolaka melalui ritual "mosehe".
Informasi dari berbagai sumber, bahwa makna upacara adat `mosehe` yang sangat agung itu adalah identik dengan `tolak bala` dengan tujuan untuk membersihkan segala sesuatu yang tidak baik, berupa penyakit, konflik atau kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
Baik yang terjadi pada masa silam, masa kini maupun masa datang. Ritual ini juga digelar kala terjadi fenomena alam berupa bencana atau ada hal penting yang dianggap mempengaruhi kehidupan masyarakat Tolaki.
Tradisi mosehe sendiri, sudah berlangsung turun-temurun oleh leluhur suku Tolaki, dan sekarang terus dilestarikan keberadaannya.
Puncak seremonial upacara adat mosehe tersebut ditandai dengan pemotongan kerbau sebagai korban atau tumbal.
Masuknya Islam dalam Tradisi Mosehe Wonua
Dari abad ke-13 hingga abad ke-17 awal, tradisi ini dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Seiring dengan berjalannya waktu, terutama saat Islam masuk ke Nusantara dan menyebarkan ajaran mereka di kawasan kerajaan Mekongga. Dari sini, unsur islami juga dimasukkan ke dalam ritual Mosehe Wonua.
Ritual penyucian negeri ini akhirnya disisipi doa-doa yang lebih islami. Selebihnya, urutan ritual tidak ada yang berubah seperti melakukan siraman kepada tubuh dari pemimpin atau raja yang dihormati. Saat Kerajaan dari Mekongga sudah tidak ada, masyarakat tetap melakukannya dan mengganti Bupati sebagai orang yang ditinggikan di dalam ritual.
"Adat istiadat "Mosehe" itu adalah nilai kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur yang harus kita pertahankan dan lestarikan," kata Fesal di Kendari, Jumat.
Pernyataan itu disampaikan Fesal Musaad menanggapi aksi keberatan masyarakat Tolaki di Kolaka akibat pernyataan seorang pendakwah yang menyatakan "Mosehe" adalah Syirik akbar.
Menurut mantan Kakanwil Kemenag Maluku ini, nilai budaya adat istiadat memiliki kekuatan besar dalam meredam sebuah konflik besar yang diakibatkan oleh ketersinggungan SARA.
"Kenapa saya katakan demikian, karena ada pengalaman saya menjadi saksi sejarah bahwa adat istiadat dan kearifan lokal lah yang menjadi peredam konflik agama di Ambon Maluku," katanya.
Dikatakan, sangat besar peran adat istiadat dalam menyatukan warga Ambon yang berkonflik saat itu, sehingga masyarakat Maluku saat ini sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan kearifan lokal yang ada.
"Oleh karena itu, tidak ada alasan siapa pun dia, bisa mengatakan bahwa kearifan lokal itu syirik, itu salah. Karena kearifan lokal itu adalah pengejawantahan atau implementasi dari ajaran agama," katanya.
Oleh karena itu lanjut dia, adat istiadat kearifan lokal masyarakat Sultra harus dijaga, dipelihara dan dikembangkan untuk generasi selanjutnya.
"Kalau sampai ada yang ingin merongrong kearifan lokal, berarti dia bukan generasi yang baik, karena generasi yang baik itu tidak hanya mampu memelihara sebuah adat dan kearifan, tetapi juga dikembangkan untuk diri sendiri," katanya.
Lebih lanjut dikatakan, kekuatan adat istiadat dan kearifan lokal saat bertugas di Ambon Maluku, juga diserukan kepada Madrasah se Sultra atau pun pondok-pondok pesantren agar mengangkat kembali adat istiadat dan kearifan lokal daerah, perkenalkan kepada siswa atau santri.
"Ketika saya sampai di Sultra sebagai kepala kanwil Kemenag, saya kumpulkan para kepala Kantor gama kabupaten kota. Saya serukan untuk adat istiadat kearifan lokal harus ditimbulkan atau diangkat kembali. Bahkan bila perlu di dinding-dinding madrasah dan pondok pesantren ditulis lengkap dan artinya. Supaya anak-anak baca dan terinspirasi bahwa ada nilai kearifan lokal yang bisa menjadi dasar dalam membangun negeri," katanya.
Sebelumnya, pada Kamis (12/3) telah terjadi aksi ribuan massa di Kolaka yang mengecam ucapan seorang pendakwah yang mengatakan bahwa selama ini telah terjadi syirik akbar di Kolaka melalui ritual "mosehe".
Informasi dari berbagai sumber, bahwa makna upacara adat `mosehe` yang sangat agung itu adalah identik dengan `tolak bala` dengan tujuan untuk membersihkan segala sesuatu yang tidak baik, berupa penyakit, konflik atau kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
Baik yang terjadi pada masa silam, masa kini maupun masa datang. Ritual ini juga digelar kala terjadi fenomena alam berupa bencana atau ada hal penting yang dianggap mempengaruhi kehidupan masyarakat Tolaki.
Tradisi mosehe sendiri, sudah berlangsung turun-temurun oleh leluhur suku Tolaki, dan sekarang terus dilestarikan keberadaannya.
Puncak seremonial upacara adat mosehe tersebut ditandai dengan pemotongan kerbau sebagai korban atau tumbal.
Masuknya Islam dalam Tradisi Mosehe Wonua
Dari abad ke-13 hingga abad ke-17 awal, tradisi ini dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Seiring dengan berjalannya waktu, terutama saat Islam masuk ke Nusantara dan menyebarkan ajaran mereka di kawasan kerajaan Mekongga. Dari sini, unsur islami juga dimasukkan ke dalam ritual Mosehe Wonua.
Ritual penyucian negeri ini akhirnya disisipi doa-doa yang lebih islami. Selebihnya, urutan ritual tidak ada yang berubah seperti melakukan siraman kepada tubuh dari pemimpin atau raja yang dihormati. Saat Kerajaan dari Mekongga sudah tidak ada, masyarakat tetap melakukannya dan mengganti Bupati sebagai orang yang ditinggikan di dalam ritual.