Jakarta (Antara News) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) Periode 2014-2019 Yan Anton Yoteni mengajukan uji materiil atas ketentuan Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
"Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 mengandung diskriminasi dan tidak diperlakukan secara adil dan sama didepan hukum," ujar Daniel Tonapa Masiku yang mewakili Pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Adapun ketentuan yang diujikan mengatur tentang pengajuan calon dari partai politik ataupun gabungan.
Pemohon menilai ketentuan tersebut tidak memperlakukan hal yang sama antara anggota DPRPB yang berasal dari partai politik hasil pemilihan umum dengan anggota DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan dalam hal pengusulan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Pemohon berpendapat bahwa dalam ketentuan yang diujikan tidak tercantum frasa "Fraksi Otonomi Khusus atau sebutan lain terhadap anggota DPRP/DPRPB yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan".
Hal ini dianggap Pemohon merupakan hal yang bersifat diskriminatif sebab makna "jumlah kursi" dalam ketentuan tersebut adalah perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi partai politik atau gabungan partai politik saja.
"Frasa partai politik atau gabungan partai politik haruslah ditambahkan atau setidak-tidaknya diartikan sebagai partai politik atau gabungan partai dan fraksi otonomi khusus atau sebutan lain di DPRP/PB," ujar Daniel.
Kemudian Pemohon juga menilai bahwa ketentuan tersebut mengakibatkan anggota DPRPB yang terpilih melalui mekanisme pengangkatan tidak memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada Papua Barat 2017.
Yan Anton Yoteni selaku Pemohon adalah Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan berniat mengajukan diri dalam Pilkada Papua Barat 2017, namun kesulitan untuk mencalonkan diri meskipun telah memenuhi persyaratan perolehan suara minimum 20 persen dari jumlah kursi DPRP dan DPRPB.
"Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 mengandung diskriminasi dan tidak diperlakukan secara adil dan sama didepan hukum," ujar Daniel Tonapa Masiku yang mewakili Pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Adapun ketentuan yang diujikan mengatur tentang pengajuan calon dari partai politik ataupun gabungan.
Pemohon menilai ketentuan tersebut tidak memperlakukan hal yang sama antara anggota DPRPB yang berasal dari partai politik hasil pemilihan umum dengan anggota DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan dalam hal pengusulan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Pemohon berpendapat bahwa dalam ketentuan yang diujikan tidak tercantum frasa "Fraksi Otonomi Khusus atau sebutan lain terhadap anggota DPRP/DPRPB yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan".
Hal ini dianggap Pemohon merupakan hal yang bersifat diskriminatif sebab makna "jumlah kursi" dalam ketentuan tersebut adalah perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi partai politik atau gabungan partai politik saja.
"Frasa partai politik atau gabungan partai politik haruslah ditambahkan atau setidak-tidaknya diartikan sebagai partai politik atau gabungan partai dan fraksi otonomi khusus atau sebutan lain di DPRP/PB," ujar Daniel.
Kemudian Pemohon juga menilai bahwa ketentuan tersebut mengakibatkan anggota DPRPB yang terpilih melalui mekanisme pengangkatan tidak memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada Papua Barat 2017.
Yan Anton Yoteni selaku Pemohon adalah Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan berniat mengajukan diri dalam Pilkada Papua Barat 2017, namun kesulitan untuk mencalonkan diri meskipun telah memenuhi persyaratan perolehan suara minimum 20 persen dari jumlah kursi DPRP dan DPRPB.