Jakarta (Antara News) - Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan persetujuan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayahnya periode 2008-2014.

        "Sidang belum tahu waktunya, karena baru didaftarkan pada Jumat (16/9) kemarin," kata penasihat hukum Nur Alam, Maqdir Ismail di gedung KPK Jakarta, Selasa.

         Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) KPK pada 15 Agustus 2016 yang menetapkan Nur Alam sebagai tersangka karena diduga  melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

        "Alasan pengajuan praperadilan adalah soal penetapan tersangka karena ketika Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan, KPK juga melakukan hal yang sama, itu tidak boleh. Di kejaksaan masih dalam proses penyidikan, belum selesai, kan ada kewajiban supervisi (KPK) berdasarkan pasal 6 UU KPK, tapi hal itu yang tidak ditempuh oleh KPK. Kita berharap seperti itu proses ada aturan main tolong aturan main itu ditaati KPK tapi itu yang  mereka tidak lakukan," ungkap Maqdir.

        Menurut Maqdir, Kejaksaan Agung sedang melakukan penyelidikan, berdasarkan Surat perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-04/F.2/Fd.1/01/2013 tanggal 15 Januari 2013 dan belum ada kesimpulan dari penyelidikan tersebut.

        Alasan lain adalah objek penyidikan pernah diuji di PTUN dan juga sudah dimenangkan.

        Nur Alam sudah dua kali kalah di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) terkait tumpang tindih izin lahan tambang PT Anugerah Harisma Barakah. Pertama, putusan Pengadilan Tinggi TUN Kendari pada 30 Mei 2011 dan PT TUN Makassar pada 29 September 2011 sekaligus menguatkan putusan PT TUN Kendari. PT TUN Makassar menilai Nur Alam terbukti secara prosedural formal dan subtansi materil bertentangan dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No 1603.K/40/M.EM/2003, serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. PT Prima Nusa Sentosa (PNS) berhak secara hukum untuk melakukan penambangan di atas lahan seluas 1.999 hektar di kecamatan Kabaena Tengah dan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, selama 20 tahun.¿ Namun, walau dinyatakan kalah di persidangan, aktivitas penambangan tetap dilakukan PT AHB.

        "Targetnya sudah pasti agar permohonan kita dikabulkan, dan beliau saat ini di Sultra tetap melakukan kewajibannya," jelas Maqdir.

        Nur Alam dalam perkara ini disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

        Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

        Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.

        Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024