Jakarta (Antara News) - Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada awal tahun 2016 telah memberikan dampak kepada sejumlah negara di dunia, seperti surat yang dikirimkannya kepada Otoritas Maritim Panama.

        Menteri Susi menunjukkan rasa kecewa dengan jawaban yang diberikan Otoritas Maritim Panama (PMA) terkait surat yang dilayangkan mengenai kapal MV Hai Fa yang berbendera Panama.

        "Surat balasan dari PMA tidak menjawab apa yang menjadi permintaan dan menunjukkan Pemerintah Panama tidak 'effectively exercise its jurisdiction and control' (tidak efektif menegakkan hukum dan pengawasan) terhadap kapal MV Hai Fa," kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (11/1).

        Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB telah mengirimkan surat kepada PMA yang intinya mempertanyakan pelasanaan kewajiban "due diligence" Republik Panama sebagai negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal MV Hai Fa.

        Namun berdasarkan surat balasan PMA tertanggal 13 November 2015 dan diterima Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 26 November 2015, PMA menyatakan bahwa Pemerintah Panama akan melakukan pemeriksaan terhadap kapal MV Hai Fa.

        Apabila ditemukan pelanggaran yang dilakukan MV Hai Fa, maka pemerintah Panama, sebagaimana terdapat dalam surat balasan dari PMA, akan menderegistrasi atau menghapus kapal MV Hai Fa dari daftar kapal negara Panama.

        Karena jawaban tersebut dinilai Menteri Susi tidak memuaskan, maka dirinya mempertimbangkan untuk membawa perkara itu ke Mahkamah Internasional Hukum Laut (ITLOS) untuk meminta pertanggungjawaban Panama selaku negara bendera ("flag state") dari MV Hai Fa.

        Sebelumnya, Susi Pudjiastuti menyatakan telah melaporkan ke Interpol mengenai kapal MV Hai Fa, yang diawaki warga Tiongkok, yang telah kembali ke negara asalnya setelah divonis denda karena membawa ikan ilegal.

        "Kami sudah melaporkan Hai Fa kepada Interpol," katanya kepada wartawan di Gedung DPR Jakarta, 15 Juni 2015.

        Menurut Susi, kapal tersebut seharusnya tetap dinyatakan bersalah karena menyalahi sejumlah regulasi pelayaran internasional.

        Pengadilan Tinggi Maluku telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ambon terkait kasus kapal MV Hai Fa dengan memvonis denda terhadap nakhoda kapal tersebut senilai Rp200 juta.

        KKP sendiri saat ini juga tengah menyelidiki kaburnya sembilan kapal perikanan eks-asing yang dibawa anak buah kapal (ABK) asal Republik Rakyat Tiongkok dari Pelabuhan Pomako, Timika, Papua, 30 Desember 2015.

       "Pada tahun baru ini ada berita yang tidak menyenangkan yaitu larinya sembilan kapal eks-China (Tiongkok)," kata Susi Pudjiastuti.

        Dia mengungkapkan, kapal eks-asing yang tercatat milik perusahaan Grup Minatama asal Indonesia itu dinyatakan telah dilarikan pada 30 Desember 2015 oleh para ABK yang langsung datang dari Tiongkok.

        Susi juga mengungkapkan, pertama kali diketahui kesembilan kapal tersebut dilarikan adalah berdasarkan laporan dari pegawai perusahaan yang sehari-harinya memeriksa kondisi kapal di Pelabuhan Pomako.

        Pegawai itu melaporkan kepada pihak manajer operasi Grup Minatama yang kemudian melaporkannya secara tertulis pada 4 Januari 2016, termasuk kepada kepolisian, satuan kerja KKP, dan Lanal TNI AL Timika.

        Sembilan kapal eks-asing yang dilarikan tersebut adalah KM Kofiau 19, KM Kofiau 15, KM Kofiau 16, KM Kofiau 17, KM Kofiau 18, KM Kofiau 49, KM Ombre 50, KM Ombre 51, dan KM Ombre 52.

        Berdasarkan keterangan grup Minatama, sembilan kapal tersebut membawa 39 ABK Tiongkok, di mana delapan orang sebelumnya telah ditugaskan untuk menjaga kapal, sedangkan 31 orang lainnya baru didatangkan ke Timika pada 22 dan 24 Desember 2015.

        "Luar biasa pelecehan dan tidak menghargai kedaulatan Indonesia. Coba bayangkan ABK Tiongkok masuk dan mengoperasikan kapal seperti di negara sendiri. Ini pukulan yang luar biasa bagi Satgas 115 (Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal)," kata Susi.

        Susi mengemukakan pihaknya bakal memanggil pihak pejabat Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok di Jakarta untuk menyatakan ketidaksenangannya atas kejadian pelanggaran kedaulatan teritorial Indonesia.

    

ABK asing
   KKP juga sebelumnya menyatakan kesembilan kapal eks-asing tersebut telah dinyatakan melanggar hukum antara lain yaitu mempekerjakan ABK asing, "double flagging" (bendera ganda), menangkap ikan di luar wilayah yang ditetapkan dalam izin, melakukan tindak pidana ketenagakerjaan dan imigrasi, melakukan "transhipment" (alih muatan di tengah laut) di perbatasan Laut Arafura RI-Papua Nugini.

        Dia menyatakan, hasil pantauan "Automatic Identification System" (AIS) terakhir dari Penjaga Perbatasan Australia, posisi kapal yang kabur itu sedang menuju Tiongkok melalui jalur Laut Tiongkok Selatan (bagian Filipina) dan akan melewati perairan internasional di atas Pulau Biak dan Maluku Utara.

        "Sekarang (kapal-kapal tersebut) masih ada di sekitar Pasifik. Mudah-mudahan kami bisa konsolidasi untuk menangkapnya," katanya dan menyatakan pihaknya mengharapkan bantuan sejumlah negara dan dunia internasional.

        Ketika ditanya wartawan mengapa kesembilan kapal itu dapat kabur, Susi menyatakan bisa saja terjadi kekurangawasan atau keteledoran karena pengawasan terhadap kapal-kapal tersebut juga tidak dilakukan selama 24 jam/hari.

    
         Perketat kapal asing
   Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan bakal memperketat pengamanan 715 kapal perikanan eks-asing yang tersebar di 26 pelabuhan di berbagai daerah di Tanah Air.

        "Pengamanan 715 kapal eks-asing menggunakan cara dan mekanisme melumpuhkan kapal sehingga tidak bisa melakukan pergerakan, yang secara teknis akan diatur oleh Direktur Operasi Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal dan PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan)," kata Menteri Susi.

        Selain itu, ujar dia, pihaknya juga akan mengkatifkan transmitter untuk seluruh kapal-kapal eks asing, serta penguatan sinergi dan koordinasi PSDKP KKP, TNI AL, dan Polri dengan arahan dari Satgas.

        Susi juga menyatakan bakal menderegistrasi kapal yang tidak terlibat tindak pidana dan yang tidak termasuk di dalam daftar hitam baik perusahaan maupun kapal-kapal eks-asing.

        KKP juga meningkatkan kerja sama internasional untuk mendeteksi pergerakan kapal-kapal dengan negara-negara yang memiliki satelit pemantauan lebih mutakhir seperti Australia, Amerika Serikat, dan Norwegia.

        KKP juga berencana meningkatkan unit pelaksana teknis (UPT) terkait dengan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan agar lebih dapat mengawasi kawasan perairan dengan lebih baik lagi.

        "Kami sedang memperjuangkan untuk menambah UPT," kata Sekretaris Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Waluyo S Abutohir dan menambahkan, PSDKP mencakup seluruh wilayah atau 34 provinsi dan hanya didukung oleh sebanyak lima UPT.

        Dengan demikian, lanjutnya, satu UPT dapat mencakup hingga sekitar 10 provinsi sehingga memerlukan banyak kerja keras dalam mengawasi semua hal tersebut.

        Dia mengungkapkan, PSDKP KKP saat ini mengusulkan agar jumlah UPT yang saat ini hanya sebanyak lima di seluruh Tanah Air akan diperjuangkan untuk ditambah hingga menjadi sebanyak 26 UPT.

        Selain itu, ujar dia, masalah lainnya adalah terkait dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang masih memiliki banyak pegawai kontrak sehingga tanggung jawabnya tidak sekuat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KKP.

        Ia mengungkapkan, pihaknya juga meningkatkan kapasitas seperti pengembangan SDM dengan bekerja sama bersama Badan Pengembangan SDM KKP sebagai bagian dari upaya peningkatan kapasitas kelembagaan.

        Sesditjen PSDKP juga terkait dengan pengembangan forum regional seperti upaya terlibat kerja sama regional bidang kelautan dan perikanan bersama negara Australia.

        Selain dalam bidang keamanan, KKP juga fokus dalam meningkatkan kerja sama investasi guna memperkuat pertumbuhan perekonomian nasional yang saat ini kinerjanya sedang dalam kondisi melambat.

        "Dalam menjalankan Nawacita keenam yakni 'Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Nasional', KKP sebagai eksekutor terus berupaya memperkuat pertumbuhan perekonomian nasional," kata Susi.

        Selain itu, ujar dia, KKP juga menjalankan mandat Nawacita Keempat (Pemberantasan IUU Fishing) serta Ketujuh (Kedaulatan Pangan dan Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan).

        Implementasi ketiga Nawacita itu dituangkan dalam visi dan misi KKP yaitu kedaulatan dengan misi pemberantasan IUU Fishing, keberlanjutan dengan misi kemandirian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, serta kesejahteraan dengan misi pemberdayaan, daya saing, kemandirian dan keberlanjutan usaha.

        "Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, KKP tentunya membutuhkan keselarasan dan kerja sama dengan negara lain," katanya dan menambahkan, KKP fokus dalam melaksanakan tugas yang mendukung pelaksanaan ketiga misi tersebut dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp13.8 triliun.

        Anggaran tersebut, lanjutnya, digunakan untuk memaksimalkan ketersebaran sumber daya sektor kelautan dan perikanan menjadi lebih baik, terutama dalam hal mengoptimalkan pengelolaan rantai pasok.

        Menteri Susi juga mengatakan, saat ini infrastruktur yang tersedia dirasa masih kurang memadai. Untuk itu, KKP berkomitmen dalam memperbaiki konektivitas antarpulau via pesawat terbang, kapal, galangan kapal, industri pengolahan perikanan dan mesin es di Indonesia.

        Dengan sinergi KKP dengan sejumlah negara asing yang memiliki kemampuan baik dalam bidang pengawasan hingga investasi infrastruktur, maka diharapkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia juga bisa terus mengglobal dan diharapkan juga tercapainya sasaran "poros maritim dunia".

Pewarta : Razi Rahman
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024