Jakarta (Antara News) - Bank Indonesia mewaspadai tiga risiko ekonomi global yang perlu diantisipasi dan disikapi, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, penurunan harga komoditas global dan penurunan aliran masuk modal asing ke negara berkembang.

        Gubernur BI Agus Martowardojo menilai, perekonomian global di tahun depan masih akan dihadapkan dengan ketidakpastian yang tinggi, bahkan ada potensi semakin kompleks.

        "Ketidakpastian tidak hanya bersumber dari risiko yang telah kita identifikasi (known-unknown), tetapi juga dapat berasal dari sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya (unknown-unknown)," ujar Agus saat "Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2015" di JCC Senayan, Jakarta, Selasa malam.

        Terkait dengan prospek pertumbuhan ekonomi global, lanjut Agus, walaupun diproyeksikan akan membaik menjadi 3,5 persen, namun ada risiko proyeksi tersebut dapat menjadi lebih rendah.

        Menurut Agus, risiko koreksi akan terjadi apabila pemulihan ekonomi Tiongkok dan negara berkembang lain tidak sesuai harapan. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena hingga kini geliat ekonomi Tiongkok dirasakan masih belum cukup kuat.

        "Proses 'rebalancing' ekonomi Tiongkok dari perekonomian berbasis investasi ke konsumsi akan memakan waktu yang cukup lama sejalan dengan perkembangan demografi yang tengah memasuki 'aging population'. Kondisi ini membawa risiko era pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan yang ditorehkan dalam satu dasawarsa terakhir," kata Agus.

        Sementara itu, terkait penurunan harga komoditas diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun depan sejalan dengan berakhirnya 'super-cycle' harga komoditas.

        "Perkembangan ini perlu terus kita sikapi, karena dapat semakin menurunkan ekspor Indonesia dan menghambat pemulihan ekonomi apabila kita tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor berbasis sumber daya alam," ujar Agus.

        Sedangkan risiko ketiga ialah terkait dampak global yang dapat ditimbulkan oleh proses normalisasi kebijakan moneter AS, baik dari sisi 'timing' maupun besaran perubahan suku bunga bank sentral AS (Fed Fund Rate).

        Ia menuturkan, sejalan dengan proses normalisasi tersebut, pasar keuangan global akan memasuki episode likuiditas dolar AS yang cenderung lebih ketat sehingga menopang penguatan dolar AS (US Dollar Supercycle).

        "Kita perlu mewaspadai terjadinya proses rekomposisi modal portofolio oleh para pemodal global yang dapat memutarbalikkan arah aliran modal keluar dari negara berkembang," kata Agus.

        Agus menambahkan, selain ketiga risiko tersebut, tentunya Indonesia perlu mencermati berbagai dinamika global lain, termasuk konstelasi kebijakan ekonomi global yang menjurus pada upaya untuk meningkatkan daya saing mata uang (currency war), yang muncul tanpa diduga.

        "Pengalaman kita di tahun 2015, risiko seperti saat Tiongkok melakukan kebijakan devaluasi Yuan pada Agustus 2015 yang muncul tiba-tiba tanpa diduga," ujar Agus.


                                               Hati-Hati

       Bank Indonesia akan konsisten dan berhati-hati dalam menerapkan kebijakan moneter untuk mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya, mengendalikan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat, serta mendukung stabilitas ekonomi.

       Saat Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2015 di JCC Senayan, Jakarta, Selasa malam Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, kebijakan moneter diarahkan agar kegiatan ekonomi dapat bergerak sepadan dengan kapasitas perekonomian dan tidak menimbulkan tekanan kepada peningkatan inflasi dan defisit transaksi berjalan.

       "Saat ini memang tekanan pada inflasi dan defisit transaksi berjalan sudah mulai menurun. Namun, tetap diperlukan kewaspadaan yang tinggi terhadap kondisi eksternal yang berisiko mengganggu kestabilan perekonomian nasional, terutama potensi risiko instabilitas global yang dapat dipicu oleh rencana kenaikan suku bunga di AS," ujarnya.

       Menurut dia, di tengah besarnya komposisi dana asing yang rentan berbalik arah, kebijakan moneter perlu ditempuh secara hati-hati dan terukur, sehingga tidak meningkatkan kembali tekanan kepada stabilitas ekonomi dan akhirnya memperlemah momentum pertumbuhan ekonomi.

       Ia menuturkan, kebijakan moneter juga akan ditopang dengan penguatan operasional moneter yang diarahkan untuk mendukung efektivitas kebijakan moneter yang ditempuh.

       "Dalam hal ini, kebijakan nilai tukar tetap diarahkan untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya, serta memperkuat pengelolaan struktur penawaran dan permintaan di pasar valuta asing termasuk transaksi valuta asing berjangka (forward market) untuk kebutuhan lindung nilai," ujar Agus.

       Di tengah semakin tingginya ketidakpastian global, lanjutnya, pengembangan instrumen lindung nilai (hedging) di pasar valuta asing juga menjadi sangat mendesak mengingat perannya yang semakin signifikan dalam membantu risiko nilai tukar.

       Dukungan terhadap pemanfaatan lindung nilai juga telah diberikan beberapa lembaga negara penegak hukum yang menyepakati kerugian (biaya) yang ditimbulkan dari transaksi lindung nilai bukan merupakan kerugian negara, sepanjang transaksi dilakukan secara konsisten, konsekuen, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan.

       Demikian pula dengan upaya pendalaman pasar keuangan yang sudah mulai dirintis sejak awal 2014. Bank Indonesia akan melanjutkan dan memperkuat program pendalaman pasar keuangan yang sedang berjalan, dengan fokus baik peningkatan peran pasar keuangan sebagai sumber pembiayaan ekonomi yang efisien, maupun penguatan resiliensi pasar keuangan dalam menyerap kejutan eksternal.

       "Untuk meningkatkan perannya sebagai sumber pembiayaan, Bank Indonesia akan mendorong pengembangan berbagai instrumen di pasar uang (money market) dengan tetap memperhatikan pengelolaan risikonya agar kredibilitas pasar keuangan domestik tetap terjaga," kata Agus.

Pewarta : Citro Atmoko
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024