Berakhir sudah perdebatan mengenai penetapan tanggal untuk Hari Santri Nasional. Presiden Joko Widodo telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (14/10/2015), tetapi dengan satu catatan penting yakni meskipun menjadi peringatan nasional, tanggal 22 ditetapkan bukan sebagai hari libur nasional.

        Perdebatan sengit tentang Hari Santri Nasional berawal dari kampanye Joko Widodo di Pesantren Babussalam, Banjarejo, Malang pada Pilpres 2014. Dia "menandatangani" kontrak sosial dengan konstituen untuk menjadikan 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional.

        "Penandatanganan" itu pun segera menjadi bola liar. Reaksi kontan datang dari Fahri Hamzah, politikus PKS yang menentang gagasan itu. Bahkan, dia melakukan perisakan (bullying) terhadap Jokowi waktu itu. Dia menyebut "sinting" terhadap Jokowi dan penggagas Hari Santri Nasional itu.

        Meskipun pada tahapan berikutnya terdapat klarifikasi, tetap saja bahwa gagasan Hari Santri Nasional tersebut menjadi polemik. Apalagi, 1 Muharam dianggap sebagai salah satu hari yang dimuliakan dan menjadi milik umat Islam se-Dunia.

        Pertanyaannya lalu, mengapa Hari Santri Nasional itu ditetapkan jatuh pada tanggal 22 Oktober? Ada sejumlah argumen penting yang layak dibaca sebagai pertimbangan dan konteks latar belakangnya. Pertama, tanggal 22 Oktober adalah momen heroik yang menandai perjuangan nasional.

        Tanggal itu, meminjam bahasa kaum muda saat ini, sangat "lokal" Indonesia banget! Sebab, tanggal 22 Oktober tidak memiliki kaitan sama sekali dengan apa yang terjadi di belahan dunia yang lain, baik dunia Islam maupun dunia pada umumnya.  

        Tanggal 22 Oktober merupakan momen khusus bagi bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, pada tanggal itu, bangsa Indonesia kembali bahu-membahu mengusir penjajah yang kembali ingin menguasai Indonesia.

        Hanya berselang dua bulan sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia yang menandai keberhasilan perjuangan bangsa ini, penjajah bersyahwat untuk mencengkeram kembali negeri ini.

        Terbukti, tanggal 22 Oktober 1945, tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris untuk melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Agresi itu tentu untuk melakukan penguasaan atas wilayah Jawa Timur dengan Surabaya sebagai sumbunya.  

        Itu artinya, perjuangan Indonesia belum mencapai kata selesai. Kemerdekaan yang baru diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 itu terancam kembali oleh kedatangan tentara sekutu. Maka, keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dengan melumpuhkan kekuatan penjajah kala itu merupakan salah satu momen terbaik sejarah Indonesia.

        Nah, konsep "Hari Nasional" yang tidak berkelindan dengan perayaan hari suci agama mempersyaratkan nilai dan kejadian lokal sebagai basis akademiknya. Di luar perayaan hari suci agama, momen terbaik sekalipun tidak layak untuk menjadi basis penetapan "Hari Nasional" jika tidak memiliki konten dan nilai kejadian lokal pada suatu bangsa.

        Dalam konteks inilah, maka penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional menemukan basis akademiknya yang kuat.

        Kedua, memasukkan konsep substantif "santri" ke dalam hari besar nasional untuk perayaan momen heroik tanggal 22 Oktober tidak lepas dari peranan santri dalam perjuangan nasional kala itu.

        Menyusul komunikasi intens antara Presiden Soekarno dan KH Hasyim Asy'ari (pengasuh Pesantren Tebu Ireng) kala itu untuk mencari solusi perjuangan atas agresi pasukan sekutu itu, KH Hasyim Asy'ari lalu mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad.

        Substansi fatwa itu menyerukan bahwa melawan penjajah adalah wajib, termasuk memerangi mereka yang membantu kekuasaan asing yang menjajah negeri ini.

        Ada beberapa ulama lain yang membantu penguatan resonansi Resolusi Jihad ini, diantaranya KH Wahab Chasbullah (Jombang), KH Bisri Syamsuri (Jombang), KH M Dahlan (Surabaya), KH Tohir Bakri (Surabaya), KH Ridwan Abdullah, KH Sahal Mansur, KH Abdul Djalil (Kudus), KH M Ilyas (Pekalongan) KH Abdul Halim Siddiq (Jember), dan KH Saifudin Zuhri (Jakarta). Bersama para ulama itu, Mbah Hasyim tidak henti-hentinya memperkuat fatwa Resolusi Jihad itu.

        Maka, meminjam perspektif Sidney Hook (1943:154), seorang filosof pendidikan kenamaan dari New York, Mbah Hasyim (bersama para kyai dan ulama lainnya) bisa dibilang sebagai "the eventful man in history", yakni figur yang telah turut mewarnai sejarah Indonesia.

        Bahkan, lebih jauh, sejarah Indonesia juga mencatat figur Mbah Hasyim menjadi bagian dari apa yang oleh Sidney Hook disebut sebagai pencipta sejarah (the event-making man) bagi perkembangan negeri ini.

        Mbah Hasyim bersama para kyai dan ulama yang lain di atas adalah contoh santri "par excellence". Kontribusinya melintasi batas-batas ruang sosial keagamaan hingga ke ruang kebangsaan dan kenegaraan.

        Melalui teladan santri "par excellence" di atas, kita diajari bahwa semangat pembebasan negeri tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun yang menjadi pemimpin negeri ini.

        Para santri "par excellence" di atas mengajarkan melalui perjuangan mereka agar negeri ini tidak boleh digadaikan kepada kekuasaan asing. Sebaliknya, negeri ini justru harus dimerdekakan dari pikiran dan aksi lacur yang mengorbankan bangsanya sendiri.

        Itulah di antara konteks yang mengilhami gagasan perlunya Hari Santri Nasional. Tanggal 22 Oktober dipandang layak untuk menjadi momentum Hari Santri Nasional, menyusul kontribusi perjuangan santri untuk bangsa dan negara yang melintasi sekat agama, etnis dan kelompok sosial. Itu semua telah menjadi catatan besar sejarah negeri ini.

        Hari Santri Nasional memang berangkat dari apresiasi atas perjuangan santri. Tapi, Hari Santri Nasional itu menjadi milik kita bersama warga bangsa ini. Untuk itu, pesan Hari Santri Nasional sederhana: memperluas nilai kemanfaatan dan kebajikan umum yang diteladankan oleh santri kepada seluruh komponen bangsa dan negara ini.

        Nilai kemanfaatan ini layak diperluas untuk memperkuat bangunan kebangsaan. Juga, nilai kebajikan umum layak diteguhkan kembali untuk menjaga nilai kewargaan dan kewarganegaraan (civic values).

        Hari Santri Nasional penting untuk meneguhkan kembali kontribusi kaum Muslim Indonesia dalam turut menyelesaikan tantangan dan problem bangsa ini yang semakin variatif dari sisi skala dan bentuknya.

        Merujuk kepada nilai teladan para santri "par excellence" di atas, Hari Santri Nasional layak ditahbiskan sebagai momentum untuk memperkuat jati diri dan kontribusi sejati kaum Muslim Indonesia dalam memerdekan bangsa dan negara ini dari berbagai problem keterbelakangan ekonomi, sosial, pendidikan, dan tentu moral-spiritual.

        Dalam konteks Hari Santri Nasional inilah, semangat kebangsaan dan nonsektarianisme harus didorong  lebih kuat untuk melampaui gejala primordialisme yang bisa kapan saja mengancam bangunan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

*) Sekretaris PWNU Jawa Timur dan Profesor Sosiologi Pendidikan pada UIN Sunan Ampel Surabaya.

Pewarta : Oleh Akh. Muzakki *)
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024