Wajah perempuan berkulit sawo matang itu menahan tangis. Sesekali menutup wajah dengan kedua tangannya, sambil menundukkan kepala.
"Ya Allaaaaaah," katanya berteriak.
Air matanya pun tumpah. Sesaat ia bergeming dari posisinya.
Suasana itu membuat tim Media Center Haji (MCH) yang bertandang ke kamar 3512 Pemondokan 801 di Mekkah, terdiam dan larut dalam suasana haru.
Haru karena menyaksikan betapa bahagianya perempuan tua itu ketika bertemu kembali dengan suami yang dinantinya di Tanah Suci, Mekkah Al Mukarammah.
"Bapak ini orangnya sabar," kata perempuan itu sambil memegang paha lelaki tua berkopiah putih yang duduk bersimpuh di sampingnya.
Sekali lagi ia menatap lelaki berkulit kuning langsat berwajah tenang itu. Ada sinar cinta dan rindu dalam mata basah perempuan itu. Mungkin sekangen sang suami yang tak putus asa mencari keberadaan istrinya di Tanah Suci.
Tjawen, demikian nama perempuan berwajah bulat itu. Ia dan suaminya menjadi salah satu "korban" sistem baru pengelolaan haji Pemerintah Arab Saudi yang dikenal dengan e-hajj.
Mimpi keduanya berangkat ke Tanah Haram bersama seketika buyar, saat visa Muchbir -- demikian nama suami Tjawen -- tidak keluar bersamaan dengan visa sang istri.
Sebagai istri yang setia, perempuan Jawa dari Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, itu menunda keberangkatannya, sambil berharap visa sang suami segera disetujui oleh otoritas Arab Saudi.
Namun setelah empat hari tak kunjung ada kabar berita, sang suami pun mengikhlaskan Tjawen berangkat lebih dahulu dan menitipkan perempuan yang dicintainya itu pada kepala rombongan di Kelompok Terbang (Kloter) 011 pemberangkatan atau Embarkasi Solo (SOC 11).
"Saat itu mungkin Allah sedang menguji saya, seberapa besar kesabaran saya," ujar Muchbir dengan raut tenang.
Selang empat hari setelah keberangkatan istrinya, Muchbir pun mendapat visa, dan ia berangkat ke Madinah Al Munawarah dengan Kloter 23 Embarkasi Solo (SOC).
Di Kota Nabi itu, ia sempat bertemu sang istri satu kali, namun berpisah lagi karena rombongan Tjawen harus segera bergerak ke Mekkah.
Selama delapan hari, Muchbir tidak bisa melihat belahan jiwanya itu. Kerinduan pun membuncah. Apalagi ketika ia sampai di Kota Mekkah, penginapan Tjawen tak juga bisa ia temukan.
"Dalam hati saya berpikir, menunggu panggilan haji lima tahun saja sabar, masa menunggu beberapa hari saja tidak sanggup," ujar Muchbir seraya mengungkapkan keyakinannya bahwa Allah pasti memberi petunjuk bagi hamba-NYA yang sabar serta tak lelah berikhtiar dan berdoa.
Benar saja. Dengan diantar teman satu rombongan di kloternya, Muchbir datang ke Kantor Daerah Kerja (Daker) Mekkah pada Kamis (10/9) pagi yang tidak jauh jauh dari pemondokannya.
Dia berpikir, pasti kantor Misi Haji Indonesia itu tahu keberadaan istrinya, karena semua data jamaah tercatat di tempat itu.
Akhirnya dengan diantar anggota dari tim perlindungan jamaah, Muchbir yang juga imam Masjid Baiturahman di kampungnya itu pun bertemu dengan sang istri yang sangat dicintainya itu.
Mereka pun melampiaskan kerinduan dengan berpelukan seakan tak ingin lepas lagi, diiringi isak tangis bahagia Tjawen. Sementara Muchbir yang terlihat lebih mampu mengendalikan emosinya, mengusap punggung sang istri, "Sampun,, sampun mak." Ungkapan dalam Bahasa Jawa itu bermakna, "sudah,, sudah buk."
"Sekarang yang penting, saya tahu istri saya sehat, karena dia punya penyakit asam urat," kata Muchbir sambil memeluk pundak istrinya.
Tjawen pun kembali terharu mengingat perhatian suaminya yang begitu besar dan mengusap mata yang basah dengan jilbab putihnya.
Kini kedua orang tua itu hanya berharap agar bisa menunaikan proses puncak ibadah haji bersama. Keduanya tampak ikhlas meskipun penginapan mereka cukup jauh terpisah.
Tjawen dan rombongannya menginap di daerah Jarwal yang relatif dekat dengan Masjidil Haram, sedangkan pemondokan Muchbir di Syisyah yang jaraknya dua kilometer lebih dari Jarwal.
"Meski tidak bisa beribadah sunnah bersama, tapi pada puncak haji di Arafah saya berharap bisa menjalani bersama bapak," kata Tjawen berharap sambil menggandeng suaminya.
Keduanya kini merasakan hal yang sama, yakni bersyukur kepada Allah karena masih diizinkan dan dipertemukan kembali di Tanah Suci dalam keadaan sehat.
"Semua ini ada hikmahnya," ujar Tjawen sambil tersenyum bahagia, karena ia semakin yakin lelaki yang menikahinya 34 tahun lalu itu sangat mencintainya.
Demi istri tersayang pula, Muchbir mengajukan "tanazul", yakni kembali ke Tanah Air lebih awal dengan mengikuti kloter sang istri, ke Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi di Mekkah.
"Yang penting bisa pulang (ke Tanah Air) bareng," kata Muchbir sambil menatap istrinya dengan penuh cinta.
"Ya Allaaaaaah," katanya berteriak.
Air matanya pun tumpah. Sesaat ia bergeming dari posisinya.
Suasana itu membuat tim Media Center Haji (MCH) yang bertandang ke kamar 3512 Pemondokan 801 di Mekkah, terdiam dan larut dalam suasana haru.
Haru karena menyaksikan betapa bahagianya perempuan tua itu ketika bertemu kembali dengan suami yang dinantinya di Tanah Suci, Mekkah Al Mukarammah.
"Bapak ini orangnya sabar," kata perempuan itu sambil memegang paha lelaki tua berkopiah putih yang duduk bersimpuh di sampingnya.
Sekali lagi ia menatap lelaki berkulit kuning langsat berwajah tenang itu. Ada sinar cinta dan rindu dalam mata basah perempuan itu. Mungkin sekangen sang suami yang tak putus asa mencari keberadaan istrinya di Tanah Suci.
Tjawen, demikian nama perempuan berwajah bulat itu. Ia dan suaminya menjadi salah satu "korban" sistem baru pengelolaan haji Pemerintah Arab Saudi yang dikenal dengan e-hajj.
Mimpi keduanya berangkat ke Tanah Haram bersama seketika buyar, saat visa Muchbir -- demikian nama suami Tjawen -- tidak keluar bersamaan dengan visa sang istri.
Sebagai istri yang setia, perempuan Jawa dari Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, itu menunda keberangkatannya, sambil berharap visa sang suami segera disetujui oleh otoritas Arab Saudi.
Namun setelah empat hari tak kunjung ada kabar berita, sang suami pun mengikhlaskan Tjawen berangkat lebih dahulu dan menitipkan perempuan yang dicintainya itu pada kepala rombongan di Kelompok Terbang (Kloter) 011 pemberangkatan atau Embarkasi Solo (SOC 11).
"Saat itu mungkin Allah sedang menguji saya, seberapa besar kesabaran saya," ujar Muchbir dengan raut tenang.
Selang empat hari setelah keberangkatan istrinya, Muchbir pun mendapat visa, dan ia berangkat ke Madinah Al Munawarah dengan Kloter 23 Embarkasi Solo (SOC).
Di Kota Nabi itu, ia sempat bertemu sang istri satu kali, namun berpisah lagi karena rombongan Tjawen harus segera bergerak ke Mekkah.
Selama delapan hari, Muchbir tidak bisa melihat belahan jiwanya itu. Kerinduan pun membuncah. Apalagi ketika ia sampai di Kota Mekkah, penginapan Tjawen tak juga bisa ia temukan.
"Dalam hati saya berpikir, menunggu panggilan haji lima tahun saja sabar, masa menunggu beberapa hari saja tidak sanggup," ujar Muchbir seraya mengungkapkan keyakinannya bahwa Allah pasti memberi petunjuk bagi hamba-NYA yang sabar serta tak lelah berikhtiar dan berdoa.
Benar saja. Dengan diantar teman satu rombongan di kloternya, Muchbir datang ke Kantor Daerah Kerja (Daker) Mekkah pada Kamis (10/9) pagi yang tidak jauh jauh dari pemondokannya.
Dia berpikir, pasti kantor Misi Haji Indonesia itu tahu keberadaan istrinya, karena semua data jamaah tercatat di tempat itu.
Akhirnya dengan diantar anggota dari tim perlindungan jamaah, Muchbir yang juga imam Masjid Baiturahman di kampungnya itu pun bertemu dengan sang istri yang sangat dicintainya itu.
Mereka pun melampiaskan kerinduan dengan berpelukan seakan tak ingin lepas lagi, diiringi isak tangis bahagia Tjawen. Sementara Muchbir yang terlihat lebih mampu mengendalikan emosinya, mengusap punggung sang istri, "Sampun,, sampun mak." Ungkapan dalam Bahasa Jawa itu bermakna, "sudah,, sudah buk."
"Sekarang yang penting, saya tahu istri saya sehat, karena dia punya penyakit asam urat," kata Muchbir sambil memeluk pundak istrinya.
Tjawen pun kembali terharu mengingat perhatian suaminya yang begitu besar dan mengusap mata yang basah dengan jilbab putihnya.
Kini kedua orang tua itu hanya berharap agar bisa menunaikan proses puncak ibadah haji bersama. Keduanya tampak ikhlas meskipun penginapan mereka cukup jauh terpisah.
Tjawen dan rombongannya menginap di daerah Jarwal yang relatif dekat dengan Masjidil Haram, sedangkan pemondokan Muchbir di Syisyah yang jaraknya dua kilometer lebih dari Jarwal.
"Meski tidak bisa beribadah sunnah bersama, tapi pada puncak haji di Arafah saya berharap bisa menjalani bersama bapak," kata Tjawen berharap sambil menggandeng suaminya.
Keduanya kini merasakan hal yang sama, yakni bersyukur kepada Allah karena masih diizinkan dan dipertemukan kembali di Tanah Suci dalam keadaan sehat.
"Semua ini ada hikmahnya," ujar Tjawen sambil tersenyum bahagia, karena ia semakin yakin lelaki yang menikahinya 34 tahun lalu itu sangat mencintainya.
Demi istri tersayang pula, Muchbir mengajukan "tanazul", yakni kembali ke Tanah Air lebih awal dengan mengikuti kloter sang istri, ke Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi di Mekkah.
"Yang penting bisa pulang (ke Tanah Air) bareng," kata Muchbir sambil menatap istrinya dengan penuh cinta.