Jakarta (Antara News) - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kerugian negara sebesar Rp3.000 triliun karena tindak pencurian ikan dan beragam tindak pidana bukanlah angka buatan, tetapi riil dan sudah melalui perhitungan.

        "Kerugian Rp2.000 triliun-Rp3.000 triliun itu bukan angka buatan," kata Susi Pudjiastuti dalam acara Chief Editor Meeting di Jakarta, Selasa.

        Susi membandingkan nilai kerugian sekitar Rp2.000 triliun-Rp3.000 triliun tersebut tidak jauh berbeda dengan angka yang pernah disampaikan Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani bahwa kerugian kelautan perikanan mencapai 20 miliar dolar AS.

        Susi memberikan satu gambaran bahwa ada penurunan impor BBM jenis solar hampir 36 persen  juga ada andil dari kontribusi pemberantasan pencurian ikan.  "Mereka pasti tidak membawa BBM dari negara mereka," katanya.

        Menurut dia, dengan menangkal kerugian sebesar tersebut maka hal itu juga akan dibangun untuk infrastruktur sektor kelautan dan perikanan.

        Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan 60 persen anggaran sektor kelautan dan perikanan benar-benar untuk pemangku kepentingan sektor tersebut dan bukan untuk sekadar membangun infrastruktur.  "Tahun depan saya ingin 60 persen anggaran jatuh ke stakeholder yaitu nelayan dan pembudidaya," kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (22/6).

        Menteri Susi mencontohkan, seharusnya seluruh anggaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk pemberian atau perbaikan alat tangkap para nelayan.

        Namun saat ini, ujar dia, alokasi untuk alat tangkap masih 18 persen sedangkan untuk pembangunan infrastruktur jauh lebih besar yaitu mencapai 41 persen. "Ke depan saya tidak mau lagi anggaran KKP untuk pembangunan pelabuhan dan jalan karena itu bukan pekerjaan kami," katanya.

        Menurut dia, tugas untuk membangun infrastruktur seharusnya diberikan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

        Ia juga menyatakan, pada tahun 2016 ingin membuat program kapal tangkap yang terbuat dari fiber dan alumunium, bukan lagi kapal kayu.

        Hal itu, lanjutnya, karena kapal kayu pada saat ini dinilai tidak terlalu "bankable" oleh pihak perbankan.

Pewarta : Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024