Suku Bajo meyakini Penyu, hewan yang pantang untuk ditangkap dan dikonsumsi. Itulah pemali utama terhadap makhluk bercangkang tersebut. Mereka percaya hewan itu banyak menolong manusia ketika mendapat musibah di laut. Pemali itu tak bertahan selamanya, runtuh oleh pilihan hidup. Di Bajo Mekar, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, alasan ekonomi meluluhlantahkan pemali tersebut. Penyu terpaksa diperdagangkan oleh sebagian kecil warga Bajo untuk mengejar keuntungan. Sebagian lain menangkap dengan cara bijak tanpa melupakan kearifan lokal yang diwarisi turun temurun. Meskipun demikian, pemali utama telah mereka langgar. Pesan adat yang sudah runtuh, selalu sulit untuk ditata seperti kondisi aslinya.

Siang diselimuti mendung saat berangkat menuju Desa Bajo Mekar, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Lokasi ini memakan waktu tempuh sekitar setengah jam dari Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Kedatangan penulis kali ini untuk menetap selama sepekan, agar mengenal lebih dekat kearifan lokal masyarakat Bajo dan menuangkan dalam bentuk foto dokumentasi.

Pada bulan Rajab dalam kalender Islam, anak-anak suku Bajo melalui proses unik jelang khitan. Para peserta sunat dikenakan gamis putih ala bangsa Arab dan memakai perhiasan emas. Dengan cara digendong, mereka diarak keliling kampung sebelum dikhitan, kemudian menjalani ritual khusus di masjid. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Bajo.

Dibalik kemeriahan tradisi khitanan, seolah tak lengkap jika dalam suatu tradisi tak tersaji hidangan daging penyu sebagai lauk pelengkap untuk santapan para tamu. Di sini, penyu hijau (boko) merupakan jenis menu andalan. Tak jarang, penyelenggara hajatan sajikan dua ekor penyu siap santap.  

“Boko dagingnya gurih dan manis, tidak seperti kulitang (penyu sisik) dagingnya pahit.” kata AJ. Pria tua berwajah garang dan berambut putih itu, mendapat kepercayaan warga setempat sebagai penjagal penyu. Mereka meyakini hanya melalui tangan orang tertentu, daging penyu akan menjadi lezat di lidah.

Dalam melakukan tugasnya, AJ kerap menjagal penyu hijau (Chelonia mydas) dewasa dengan ukuran panjang tubuh sekitar setengah meter lebih. Penyu tersebut merupakan hasil tangkapan nelayan Bajo yang dikandangkan di kolong rumah mereka.

Sekilas, penyu malang di tangan kanan AJ seolah-olah paham jika hidupnya hanya berakhir di pisau dapur seorang nelayan. Kesedihan terlihat dari mata penyu yang mengeluarkan air, layaknya manusia sedih. Sementara itu, nelayan yang memegang pisau di tangan kanan tersebut, tidak tahu jika penyu di tangan kirinya harus menyelesaikan perjalanan panjang mengarungi laut, bahkan mungkin lintas samudera. Ujung pengelanaan samudera itu, harus berakhir di tangan penjagal.

Sembari mengakhiri nyawa penyu, AJ mengisahkan hikayat hewan itu dalam kepercayaan suku Bajo menggunakan dialek lokal. “Menurut kepercayaan kita, suku Bajo bahwa penyu sering tolong orang kalau dapat musibah di laut. Baru-baru ini, pak desa (Desa Bajo Mekar-red) melarungkan penyu  ke laut untuk obati penyakitnya,” ujarnya.
Setelah penyu mati, ia memisahkan daging dari cangkangnya, kemudian melanjutkan ceritanya. “Kami orang Bajo percaya bahwa penyu-penyu yang sudah mati, hatinya akan selalu hidup,” sambil menunjuk ke beberapa bagian daging yang masih berdenyut.

Pemandangan ini terasa miris dan sangat bertolak belakang dengan kepercayaan suku Bajo tentang kearifan lokal. Tradisi, aturan atau pantangan turun temurun suku Bajo dalam menjaga kelestarian laut, salah satunya berupa larangan menangkap penyu. Begitu pula pamali yang akan mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat, bahkan tidak mendapat apa-apa di laut, setelah mengkonsumsi penyu.

                                         Tangkapan Sampingan
Untuk berkomunikasi dengan masyarakat suku Bajo bukanlah perkara mudah. Pendatang di luar suku Bajo, di sebut sama bagae (orang asing), yang secara tidak langsung menyulitkan berinteraksi dengan suku Bajo.
Tetapi di sini penulis (pendatang) melewati kawasan pemukiman suku Bajo, hampir di setiap blok rumah selalu disambut senyum dan sikap ramah seperti keramahan AS (namanya enggan disebutkan), pria 32 tahun berbadan tegap berkulit cokelat gelap itu, salah seorang nelayan yang juga mencari hasil sampingan dengan menangkap penyu di laut.     

AS seorang nelayan biasa, tetapi memiliki pola hidup tidak biasa. Hampir setiap hari ia menjalani hidup seperti kelelawar. Malam jadi siang, siang jadi malam. Pukul tujuh malam, ia pergi  meninggalkan istri dan dua anak kecil di rumah untuk memanah ikan di perairan lepas hingga fajar menyingsing. Setibanya di rumah, ia beristirahat hingga sore hari untuk memulihkan tenaga yang telah terkuras habis, ketika semalaman melakukan penyelaman untuk memanah ikan.

Pekerjaan ini dilakoni selama dua tahun lamanya setelah insaf menafkahi keluarga dari pekerjaan sebelumnya sebagai pembom ikan. Ia khawatir danpak bom ikan dapat melayangkan nyawanya, saat jauh dari keluarga tercinta.
“Dulu kalau saya pergi bom ikan di laut, selalu ingat anak istri. Salah pasang kabel saja, bom meledak, kita bisa mati! Nanti setelah bom meledak dan lihat ikan sudah mati, baru saya rasa lega. ” kenangnya sambil tersenyum sumringah.   

AS tidak sendiri, ia insaf secara berjamaah bersama dua  rekannya. Demi meninggalkan kesan buruk dicap pembom ikan, mereka menamakan diri sebagai “super fishing”. Penamaan baru itu agar terkesan profesional, elegan, dan berwibawa. Mereka bangga dengan label baru, karena merasa sudah memiliki pekerjaan tetap.
“Kenapa super fishing?, karena menyelam malam, itu super! Tidak semua orang bisa lakukan. Fishing adalah menangkap ikan.” ucapnya dengan bangga sambil ketawa terpingkal-pingkal bersama dua rekannya.

Mereka mengungkapkan, perairan Saponda Laut merupakan kawasan yang tepat untuk memanah ikan dan menangkap penyu. Mereka menggunakan perahu katinting (sebutan untuk perahu bermesin motor) yang dilengkapi mesin kompresor sebagai alat bantu pernapasan, saat melakukan penyelaman malam hari.

Meskipun hanya tangkapan sampingan, terkadang menangkap penyu menjadi prioritas utama ketika pesanan dari pengumpul meningkat. Untuk standar kelas penampung lokal, penyu harus berukuran satu meter dengan harga sekitar 300 ribu rupiah. Penyu berukuran di atas satu meter, dinilai seharga 400 ribu rupiah per ekor.
Jika ditemukan ukuran penyu di bawah satu meter, maka disimpan dalam sangkar jaring di kolong rumah, untuk jadi menu santapan nantinya.

  “Kalo ada pesanan dari pedagang pengumpul, maka kami menangkap penyu dalam jumlah banyak sesuai pesanan, tapi kalau tidak ada pesanan, kita hanya menangkap satu dua penyu untuk bahan santapan,” kata AS.

AS menjelaskan, malam hari adalah waktu paling tepat dan mudah melakukan penangkapan, karena saat itu penyu dalam kondisi tertidur. “Kalau malam hari penyu tertidur, jadi gampang sekali ditangkap,” jelasnya.

Terkadang, terdapat pembeli yang memesan langsung kepada nelayan. Tak jarang, oknum petugas kepolisian datang membeli untuk dikonsumsi. “Biasa juga ada polisi dari Kendari yang pesan untuk dimakan,” ungkap AS.

Sementara nelayan lainnya, MR yang bermukim di Desa Bajo Indah, letaknya bersebelahan dengan Desa Bajo Mekar menjelaskan, secara tidak sengaja penyu terperangkap di pukat ketika menangkap ikan. Penyu tersebut langsung dijual ke penampung penyu.

Tidak hanya penyu hijau yang dijual ke penampung, cangkang jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dijual ke pengrajin aksesoris. “Kalau cangkang penyu sisik mahal harganya, satu kilogram dijual sekitar satu juta rupiah.” kata MR.

Kurangnya pemahaman nelayan terkait larangan penangkapan penyu menjadi salah satu penyebab, mengapa nelayan dari kelas ekonomi lemah tetap menjadikan hewan yang dilindungi itu sebagai salah satu sumber mata pencaharian mereka. Para nelayan tradisional memiliki pandangan bahwa apa yang mereka dapatkan di laut merupakan rezeki yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada mereka.
“Semua yang kita dapat dari laut, itu rezeki dari Tuhan untuk keluarga di rumah.” dalih mereka.

                        Perdagangan Penyu
Berdasarkan informasi penampung skala kecil, yang namanya enggan disebutkan, ia jual penyu ke juragan (penampung besar) di Pulau Padei, Kecamatan Menui Kepulauan, perairan Sulawesi Tengah. Penyu hijau yang memenuhi standar ukuran satu meter atau lebih, dijual seharga 500 ribu hingga 700 ribu rupiah per ekor.
“Banyak sekali penyu di Pulau Padei yang ditampung oleh juragan di sana. Harga penyu itu hampir sama dengan harga sapi.” ungkapnya.

Perdagangan penyu dilakukan dengan cara sistematis. Transaksi dilakukan pada malam hari. Kurir diutus juragan dari Pulau Padei untuk menjemput penyu yang akan dijual, menggunakan katinting. Untuk  sekali pengangkutan, hanya memuat tiga sampai lima ekor, untuk menghindari kecurigaan patroli petugas Polairud (Polisi Air dan Udara).

“Kalau sudah ada tiga sampai lima ekor, saya langsung kabari orang di Padei. Kami tidak menampung banyak penyu di kolong rumah karena taku ditangkap petugas Polairud,” kata seorang penampung lokal, yang namanya enggan disebutkan.

Penyu tidak hanya dijual ke Sulawesi Tengah. Penyu sudah menjadi menu andalan masyarakat setempat untuk hajatan kampung, sebagai pengganti daging sapi.

“Kalau ada orang pesta di kampong sini mending beli penyu, karena daging sapi mahal harganya,” sebutnya.
Tidak hanya itu, pada perayaan hari-hari besar seperti tahun baru Masehi dan Imlek, banyak pembeli yang datang ke penampungan miliknya. Untuk momen-momen seperti itu, penjualan penyu meningkat mencapai lima puluh ekor untuk dijadikan santapan utama masyarakat dalam perayaan Tahun Baru.

“Kalau tahun baru Masehi atau perayaan Imlek, biasanya penyu habis terjual sampai lima puluh ekor. Satu minggu sebelum perayaan tahun baru atau imlek, banyak pembeli yang datang ke sini,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “biasa juga ada datang orang Cina beli penyu, kemudian melakukan ritual melarung penyu itu di ujung dermaga”.

Walau hasil penjualan penyu menggiurkan, uang dari hasil penjualan itu tidak bertahan lama. Menurutnya, “Banyak hasilnya memang, tapi  uangnya panas, cepat habis, tidak bisa tersimpan lama.” ujarnya dengan raut wajah pasrah pada keadaan.

Berbicara soal nasib penyu, seolah tak pernah habis. RZ (namanya enggan disebutkan), menjelaskan jika ia dan keluarganya tidak mengkonsumsi daging penyu. Mereka masih memegang teguh amanah nenek moyang, dengan hanya menggunakan penyu sebagai media pengobatan dengan cara melarung di laut lepas.

“Selain kasian liat penyu dipotong, penyu tidak kami makan, karena dipakai untuk pengobatan keluarga sejak dulu.” kata RZ, pria lanjut usia yang pernah bercita-cita sebagai camat, namun berujung menjadi nelayan itu.
Karena pemali mengkonsumsi daging penyu, RZ  hanya dapat mengambil keuntungan dari menjual telur penyu, seharga lima ribu rupiah per telur. Untuk sekali pemesanan, RZ  dapat mengantarkan seratus butir telur ke pemesan lokal.

  “Kalo musim bertelur penyu biasanya saya bawa ke rumah pemesan di Kendari.” ungkapnya.
Para pembeli meyakini, telur penyu dijadikan obat kuat penambah stamina seksual dan dapat memperpanjang usia.
  “Lihat itu penyu, tidak pernah sakit, kuat berenang, begitu mi juga kalo kita makan telurnya.” Ucapnya seraya mencontohkan perkataan pembeli, sambil tertawa terbahak-bahak.

Dengan pengetahuan yang diwarisi secara turun-temurun, RZ mengetahui kapan penyu naik ke daratan untuk bertelur. “Jika musim bulan purnama yang kalau di pinggir bulan itu ada cincinnya, maka banyak penyu yang naik bertelur di darat di Pulau Saponda Laut.” jelasnya.

Ia juga menceritakan proses produksi telur dari induk penyu kerap dijadikan tontonan para nelayan Bajo di Pulau Saponda Laut. “Biasa kita ikat kakinya pakai tali, baru kita simpan di bawah kolong rumah, baru di lihat sampai bertelur. Sesudah bertelur, baru diambil telurnya untuk dijual,” ungkapnya.

                                     Aksesoris Cangkang
Di tempat berbeda di Kelurahan Kadolomoko, Kecamatan Kokalukuna, Kota Baubau, seorang perajin yang enggan disebutkan namanya mengaku membeli cangkang penyu sisik dari para nelayan Bajo. Untuk cangkang penyu sisik yang sudah dipisahkan dengan daging dibeli seharga 800 ribu rupiah hingga satu juta rupiah perkilogram.
Cangkang tersebut dibuat menjadi aksesoris gelang dan cincin. Gelang ukuran lebar 1 sentimeter (cm) dijual seharga 70 ribu rupiah hingga 100 ribu rupiah tergantung panjang lingkar gelang. Gelang dengan lebar 5 cm (gelang wanita) dijual seharga 250 ribu rupiah, dan satu cincin dijual seharga 25 ribu rupiah.

Kerajinan aksesoris berbahan dasar cangkang penyu sisik itu diperdagangkan secara bebas para pedagang kaki lima di Pantai Kamali Kota Baubau.
Ketika ditanya apakah ia paham jika penyu merupakan hewan dilindungi, ia menjelaskan “Sayakan membeli penyu yang mati dari nelayan, jadi yang bunuh penyu itu nelayan bukan saya.” ungkapnya dengan nada dalih membenarkan diri.

Permintaan aksesoris kerajinan cangkang sangat tinggi, karena dipercaya dapat digunakan untuk menolak bala. Selain itu memakai aksesoris dari cangkang penyu sisik tahan terhadap cuaca dingin.
“Ini sisik penyu (cangkang) kalo dipakai bagus untuk tolak bala, apalagi kalo ada orang yang kirimkan kita ilmu sihir.” ucapnya dengan keyakinan yang mantap.

                                             Kearifan Lokal
Dalam laporan lembaga kampanye perlindungan satwa “Profauna Indonesia” mencatat pada tahun 2005, sekitar 1.115 ekor penyu hijau (Chelonia mydas) ditangkap di Sulawesi Tenggara untuk diperdagangkan di Bali. Dari enam lokasi yang dikenal sebagai daerah penangkap penyu, salah satu wilayah Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe.
Salah satu anggota Profauna Indonesia, Imanche Al Rachman mengatakan, angka tersebut didasarkan dari hasil investigasi di Bali.

“Tim Profauna Indonesia bersama petugas BKSDA pernah menggrebek perdagangan penyu di Tanjung Benoa pada tahun 2005. Dari pengembangan kasus tersebut, kapal-kapal pemasok penyu berasal dari Indonesia Timur, salah satunya kawasan Kecamatan Soropia,” papar Imanche.

Hingga kini, penangkapan dan perdagangan penyu di Kecamatan Soropia masih terjadi, meskipun dalam jumlah sedikit. “Perdagangan penyu secara besar-besaran ke Bali terhenti, setelah dua orang pedagang penyu diamankan petugas BKSDA Sultra pada bulan Maret 2007 dan keduanya divonis hukuman penjara,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan, mitos menyesatkan tentang efek kesehatan setelah mengkonsumsi daging penyu menjadi penyebab utama penangkapan dan perdagangan oleh nelayan Bajo.

“Saat ini mengkonsumsi daging penyu sudah menjadi tren, tidak hanya pada acara hajatan masyarakat Bajo, tetapi juga dikonsumsi anak muda di Kota Kendari saat menggelar pesta miras menghabiksan waktu malam minggu.” kata Imanche.

Saat berbicara pencegahan eksploitasi penyu, penegakan hukum secara serius menjadi alat efisien untuk melindungi populasi penyu. Tidak hanya tindakan terhadap para nelayan penangkap penyu, tetapi juga tindakan terhadap masyarakat yang mengkonsumsi daging penyu.

“Semua harus berkolaborasi dalam hal ini, Non Goverment Organitation (NGO), pemerintah daerah, aparat kepolisian, petugas BKSDA, dan media massa perlu melakukan kampanye secara rutin serta menindak tegas para penangkap dan pengkonsumsi penyu.” tegas Imanche.

Dalam pandangannya, sangat penting mengembalikan budaya terdahulu masyarakat Bajo terkait tradisi menjaga kelangsungan hidup penyu.

“Tokoh masyarakat bisa mengembalikan tradisi terdahulu suku Bajo, menggunakan penyu sebagai sarana pengobatan atau menemukan titik tangkapan ikan melalui penyu. Dengan tradisi itu dapat merubah pola pikir dan kesadaran untuk tetap menjaga kelestarian penyu, serta secara langsung memutus mata rantai perdagangan penyu,” tukasnya.

                             Keseimbangan Ekosistem
Guru Besar Bidang Manajemen Sumber Daya Perikanan Universitas Haluoleo Kendari, Prof Ir La Sara Msi, PhD, menjelaskan “Secara alamiah, penyu menghabiskan sebagian besar hidupnya di laut. Walaupun telah berenang jauh melintas samudera, penyu akan selalu kembali ke pantai yang sama, tempat ia ditetaskan, untuk melakukan pengembangbiakkan”.

Dari tujuh spesies penyu di dunia yakni penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu kemp’s ridley (Lepidochelys kempi), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta), dua di antaranya jenis penyu hijau dan jenis penyu sisik, sering ditemukan nelayan di perairan Sulawesi Tenggara.

Kedua spesies penyu tersebut, menjadikan Pulau Saponda Laut, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sebagai titik persinggahan jalur migrasi untuk berkembangbiak.

“Perairan Pulau Saponda Laut merupakan kawasan migrasi penyu karena lautnya masih bersih dan tidak tercemar, serta berbatasan langsung dengan laut Banda.” papar La Sara.

Dari ratusan penyu kecil (tukik) yang berkembangbiak secara alamiah di laut, hanya sedikit yang bisa bertahan menjadi penyu dewasa karena dimangsa oleh predator laut.  Perkembangbiakan tukik memakan waktu sekitar 10 hingga 20 tahun untuk tumbuh menjadi Penyu dewasa yang siap bereproduksi.

“Populasi penyu di perairan Pulau Saponda Laut sudah mulai berkurang, begitu pun perdagangannya tidak seintensif tahun 1980-an. Ketika itu jumlahnya sangat besar dan dijual secara ilegal sampai ke Bali,” ujarnya.
Saat ini, penyu hanya dijadikan tangkapan sampingan nelayan tradisional untuk menambah penghasilan dan dijadikan menu santapan hajatan kampung.

“Pihak terkait harusnya lebih memperhatikan dan terus menerus melakukan sosialisasi tentang pentingnya populasi penyu di laut karena dilindungi undang-undang, serta pemanfaatan kelestarian penyu yang akan berdampak pada kemajuan perekonomian masyarakat pesisir.” tegas La Sara.

Penyu laut memiliki banyak manfaat, baik untuk kehidupan laut maupun kehidupan manusia. Manfaat populasi penyu, di antaranya sebagai aspek peningkatan pertumbuhan ekonomi nelayan melalui sektor perikanan (efek penggandaan), ilmu pengetahuan, pengembangan ekowisata, dan paling terpenting adalah menjaga keseimbangan mata rantai ekosistem di laut.

Dalam pemahaman La Sara, “Jika satu mata rantai hilang, maka ekosistem laut rusak. Sadar atau tidak sadar, hilangnya populasi penyu di perairan tersebut akan berdampak kepada manusia, baik secara langsung atau tidak langsung. Putusnya mata rantai kehidupan berakibat pada penurunan produktifitas laut”.

Penyu sangat berperan penting dalam menjaga keseimbangan laut. Penyu yang berenang berkeliling dunia dengan jarak tempuh ribuan mil menyebarkan nutrisi ke laut melalui kotorannya. Kotoran penyu menjadi pupuk atau pakan bagi tumbuhan dan hewan laut lainnya. Dengan kelestarian penyu di laut, maka dapat mempengaruhi jumlah populasi ikan, sebagai tangkapan nelayan tradisional.

Kelestarian penyu di laut tidak hanya berdampak positif pada hasil tangkapan. Masyarakat dapat pula mengembangkan kawasan Saponda Laut sebagai destinasi wisata. Hal itu bisa untuk memperbaiki taraf ekonomi dengan menjadikan diri pemandu wisata, sebagai pekerjaan tetap.

“Masyarakat Pulau Saponda Laut bisa mengembangkan wilayah itu sebagai kawasan wisata bawah laut untuk melihat pemandangan karang dan berenang bersama penyu. Dengan pemberdayakan masyarakat lokal dibantu Dinas Kelautan dan BKSDA, maka pengembangan ekowisata secara langsung dapat memberi nilai tambah untuk memperbaiki perekonomian masyarakat pesisir,” imbuhnya.
Selain destinasi wisata, kata La Sara, masyarakat juga bisa menangkarkan penyu yang tidak begitu sulit.

                          Kelestarian Penyu
Badan konservasi dunia yakni IUCN (International Union for Conservation of Nature) memasukan spesies penyu laut dalam Red List Of Threatened Species atau daftar merah sebagai spesies yang rentan, terancam, atau sangat terancam. Status terancam ditetapkan dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Penyu laut masuk dalam appendix I yang artinya perdagangan internasional penyu untuk tujuan komersil, dilarang.

Koordinator Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara, Nur Indah mengatakan, semua jenis penyu laut telah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 dan dijelaskan dalam Undang Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 pasal 21 menjelaskan, setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati. Pelaku dijerat dipidana kurungan penjara 5 tahun dan denda sebesar 100.000.000 rupiah.

Pengontrolan secara rutin terhadap kegiatan penangkapan penyu di perairan Saponda Laut dan sekitarnya sulit dilakukan. Selain kawasan itu cukup jauh, juga keterbatasan personil dan sarana transportasi kurang memadai, sehingga menjadi kendala utama bagi petugas BKSDA Sultra.

“Jumlah personil kami terbatas, sehingga tidak bisa mengontrol secara rutin, selain itu sarana transportasi laut juga kurang memadai. Pengawasan hanya kami lakukan di desa pesisir yang mudah diakses mobil. Untuk wilayah hutan saja, satu personil idealnya menjaga lima ratus hektar lahan. Belum lagi kawasan perairan yang wilayah cakupannya mencapai 110.000 kilometer atau 11.000.000 hektar,” ungkapnya.

BKSDA Sultra menjelaskan, Peraturan Desa (Perdes) sangat penting untuk dibuat, bukan untuk menghilangkan aktivitas penangkapan penyu secara ilegal, tetapi mengurangi angka penangkapan penyu.
 â€œPihak BKSDA Sultra membutuhkan bantuan kepala desa dan tokoh masyarakat untuk menerapkan Perdes. Paling tidak memberikan laporan kepada kami untuk nelayan yang masih melanggar aturan itu,” ucapnya.

Dalam konteks lain, masyarakat pesisir diharapkan untuk terlibat langsung dalam upaya pelestarian penyu dengan cara ditangkarkan. Hal ini penting dilakukan mengingat spesies penyu hampir punah. Selain upaya pelestarian, penangkaran penyu dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai kawasan wisata edukasi, sesuai tahapan yang telah ditetapkan secara prosedural.

“Sebenarnya masyarakat pesisir harus berhenti menangkap penyu, tapi sebaliknya melakukan konservasi dengan cara menangkarkan untuk wisata edukasi. Pihak BKSDA Sultra siap membantu masyarakat dalam hal penangkaran, tapi sampai saat ini belum pernah ada warga yang datang kepada kami menanyakan prosedur itu,” ujarnya.

Hal itu senada dengan pandangan La Sara. Ia menilai tidak ada yang salah dengan undang-undang, hanya mengalami kendala dalam implementasinya. Kesadaran dari berbagai pihak sangat penting, baik dari pihak polisi, BKSDA, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan masyarakat pesisir untuk menjaga kelestarian penyu sebagai mata rantai ekosistem laut yang hampir punah.

“Sekarang hanya ada dua pilihan untuk masyarakat pesisir. Melestarikan penyu sebagai pekerjaan tetap dan berkelanjutan atau terus menjalankan pekerjaan sampingan menangkap penyu yang akan mengancam kepunahan spesies. Kalau penyu punah, akan terputus mata rantai ekosistem laut.” tegasnya.

Kalau itu terjadi, kata dia, masyarakat pesisir akan semakin miskin, karena habitat laut sebagai sumber ekonomi mereka rusak. Ikan dan hasil laut lain di wilayah itu berkurang.

“Kita bisa mengambil contoh dalam dunia wisata seperti negara-negara lain di kepulauan laut Karibia dan Australia yang mendapatkan keuntungan besar dari penangkaran penyu. Banyak wisatawan datang untuk menyaksikan langsung perkembangbiakan penyu di sana,” ujarnya


*) Wartawan Kontributor ANTARA di Sultra

Pewarta : Oleh Ekho Ardiyanto*
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024