"Semua jadi gelap waktu itu," kata Abdul Rozak mengenang penerbangan paling menegangkan, 16 Januari 2002.

        "Pada ketinggian 23 ribu kaki saat itu saya hanya pasrah sambil terus berusaha," katanya lagi.

        Di Sungai Bengawan Solo yang mengalir deras waktu itu, Boeing 737-300 terhempas dengan seluruh penumpang selamat, namun satu pramugari terlempar dan meninggal karena terseret arus sungai.

        Nama Abdul Rozak, pilot senior Garuda Indonesia, selalu mencuat di media massa saat terjadi kecelakaan dan musibah di dunia penerbangan nasional. Kisahnya mengenai penyelamatan penumpang dan pesawat selalu menarik perhatian publik.

        Media menulis dan menayangkan kembali kisah heroik yang mengharukan sekaligus membanggakan itu sebagai titik balik dan sisi lain pengalaman penyelamatan olet pilot ketika ada masalah dalam penerbangannya.

        Ketika AirAsia dengan nomor penerbangan QZ 8501 hilang kontak dan jatuh di Selat Karimata, orang mengingatnya dan memintanya berbagai pengalaman. Itulah sebabnya, dia kini juga disibukkan dengan wawancara atau diskusi-diskusi mengenai keselamatan penerbangan.

        Kisahnya telah ditulis dalam buku   "Miracle of Flight". Pengalamannya juga diunggah ke Youtube dengan titel sama dengan judul buku itu. Dari hari ke hari pembukaanya tampak terus bertambah, terutama ketika ada musibah di dunia penerbangan seperti yang menimpa AirAsia ini.

      
                      Gelap
        "Cuaca saat itu sangat buruk," katanya mengenang penerbangan dari Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menuju Yogyakarta itu.

        "Hampir seluruh Indonesia sedang hujan saat itu," katanya pula.

        "Cuaca yang sangat buruk saat itu, guncangan yang sangat keras, keras sekali menimpa pesawat," kata  Abdul Rozak yang lulus sekolah pilot di Curug tahun 1979 dan mengawali karir di Garuda Indonesia sejak 1980.

        Pada saat ketinggian 23 ribu kaki itu dua mesin pesawat yang dikendalikannya bersama Kopilot Heryanto tiba-tiba mati. Kedua mesin mati saat masuk ke cuaca yang sangat buruk

        "Saya baca lagi SOP (standard operational procedure) dan melakukan 'checklist'," katanya.

        Setelah itu, dia "start" lagi tetapi mesin tak mau menyala, bahkan sampai tiga kali dilakukan tetap tidak mau hidup.

        "Kemudian kami masih punya standby generator. Saya nyalakan tetapi ternyata mati juga," katanya.

        Bukan hanya dua mesin dan "standby generator" yang mati,  semua komunikasi mati dan sistem elektrik juga mati.

        "Semua jadi gelap," katanya dengan suara agak serak.

        Saat itu pesawat melayang-layang dan ketinggian semakin rendah. Semakin merendah, semakin terlihat daratan.  

        Dia melihat hamparan yang diperkirakan persawahan sebelum wilayah Yogyakarta. Pada ketinggian sekitar 4.000 meter, dia dan kopilot juga melihat seperti ada sungai.

        Kopilot meyakinkan pilot bahwa hamparan itu adalah persawahan. Semakin rendah semakin terlihat bahwa hamparan sawah itu memang ada airnya, apalagi saat itu bulan Januari yang ditandai puncak musim hujan.

        "Saya hanya bisa melihat hamparan sawah dan sungai," kata pilot yang sejak kecil sudah harus mandiri dengan menjadi loper koran sejak Kelas 4 SD hingga Kelas 3 SMP karena ayahnya terkena PHK dan usaha batik ibunya juga gulung tikar.

        Pada saat itu memang sawah banyak airnya dan lebih luas tetapi kemungkinan terjadi banyak korban.

        Badan pesawat yang menghempas sawah akan mengakibatkan penumpang jadi korban.

        Belum lagi adanya kemungkinan pesawat akan menimpa orang yang sedang di sawah. Musim hujan adalah saat para petani menggarap sawah, baik dengan cangkul maupun membajak dengan kerbau atau sapi.

        Karena itu, pilihan mendaratkan pesawat di sawah bukan keputusan terbaik mengingat akan banyaknya jumlah korban.

    
                              Jembatan
        Entah bagaimana dan dengan cara apa dia mengendalikan pesawat tanpa dukungan mesin dan seluruh sistem mati.

        "Kemudian saya arahkan pesawat ke sungai. Waktu itu kurang lebih pada ketinggian 4.000 kaki," katanya.

        Tetapi semakin badan pesawat meluncur ke bawah, terlihat di sungai ada jembatan. Dia arahkan pesawat menghindari jembatan, ternyata setelah menghindari jembatan itu ada jembatan lagi.

        "Ternyata ada dua jembatan," katanya yang mengatakan pesawat kemudian diarahkan dibelokkan belokan ke kanan untuk menghindari hempasan dengan dua jembatan.

        Dengan keyakinan, kepasrahan dan usaha keras, pendaratan darurat Boeing 737-300 di Bengawan Solo pada 16 Januari 2002 dapat dilakukan dengan seluruh penumpang berjumlah 54 orang selamat. Namun satu pramugari meninggal dan kondisi pesawat tentu rusak berat.

        Ketika seorang pembawa acara di televisi menanyakan berapa menit waktu itu?

        Dia menjawab, sekitar 10 menit. Perkiraan waktu itu dimulai dari saat pesawat mati mesin hingga badan pesawat terhempas di sungai.

        Kurang lebih 10 menit yang sangat menentukan hidup atau mati orang-orang di dalamnya.

        Upayanya berhasil dengan korban dalam jumlah minimal, walaupun kehilangan satu nyawa tetap menjadi catatan kelam dan lebih dari sekadar cukup untuk menggambarkan sebuah duka yang sangat mendalam.

        Namun, apa pun dan sebera pun kehilangan itu, keberhasilan Abdul  Rozak membuka lembaran baru bagi semua penumpang dan awak pesawat memiliki kesempatan hidup untuk kedua kali.

        Kini, pembenahan dan penegakan aturan secara tegas oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan itu tampaknya untuk menegaskan agar keamanan dan keselamatan penerbangan semakin terjamin. Sasarannya diharapkan agar dalam kondisi terburuk, penumpang dan awaknya selamat sehingga bisa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kehidupannya.

Pewarta : Oleh Sri Muryono
Editor :
Copyright © ANTARA 2024