Kota Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara kini tak lagi memberi rasa nyaman bagi para penghuninya.

Selain temperatur udara di wilayah kota tersebut mulai meningkat, juga beberapa kawasan pemukiman penduduk sudah mulai rentan dilanda musibah banjir dan tanah longsor.

Beberapa kawasan permukiman penduduk seperti di kompleks perumahan dosen Universitas Haluoleo Kendari di Andonuhu, wilayah pemukiman di Lepolepo dan wilayah Wuawua yang sebelumnya tidak pernah banjir, saat ini sudah kerap kali dilanda banjir.

"Kondisi ketidaknyamanan hidup di kota ini dipicu oleh aktivitas pembukaan lahan baru, baik sebagai permukiman, pertanian dan pertambangan, maupun aktivitas pengolahan hasil hutan jenis kayu yang makin tidak terkendali," kata pakar Kehutanan dan Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Prof Dr Ir Laode Sabaruddin, MSi di Kendari, Selasa.

Pembukaan lahan baru dan perambahan kawasan hutan di wilayah Sultra seperti di sekitar daerah aliran sungai Konaweeha dan pembukan lahan pertambangan di sejumlah kabupaten, katanya, telah menyebabkan luas kawasan hutan di provinsi itu terus menyusut.

Sepanjang tahun 2012, kawasan hutan yang mengalami kerusakan mencapai 102 ribu hektare lebih dari total luas kawasan hutan di provinsi itu, 2,6 juta hektare lebih.

Sementara itu, menurut direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, Kisran Makati, kebijakan investasi di provinsi ini mengenyampingkan aspek kelestarian lingkungan.

Indikasi itu katanya tampak dari penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah daerah banyak yang tumpang tindih.

Bahkan menguasai lahan warga secara tidak sah menjadi bukti pemerintah tidak cermat menerbitkan izin pertambangan.

Data Walhi Sultra mencatat izin pertambangan yang diterbitkan pemerintah daerah mencapai 498 dan 71 diantaranya berstatus produksi.

"Perusahaan pemegang IUP berstatus produksi ini, banyak merusak kawasan hutan," katanya.



Musibah banjir


Dekan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO, Prof Sabaruddin memastikan, jika kerusakan kawasan hutan terus meluas, maka musibah banjir, kekeringan dan tanah longsor tidak bisa lagi dielakkan.

Demikian pula dengan perubahan iklim ekstrim maupun perlahan yang mengancam keselamatan hidup umat manusia dan seluruh penghuni bumi, akan semakin sulit dihindari.

Oleh karena itu, semua pihak pemangku kepentingan, harus ekstra hati-hati dalam memanfaatkan sumber daya kehutanan.

Sebab, dampak dari kerusakan sumber daya hutan, bukan hanya bisa menimbulkan perubahan iklim melainkan juga bisa merusak seluruh sektor kehidupan.

Menurut Prof Sabaruddin, tanaman pertanian tidak akan mendapat kebutuhan air yang memadai jika kawasan hutan dirusak.

Demikian pula dengan umat manusia, tidak akan bisa hidup sehat jika kebutuhan air bersih tidak tersedia, lebih-lebih jika temperatur udara sudah meningkat jauh melebihi ambang batas suhu udara normal.

Dalam pandangan Sabaruddin, menghadapi perubahan iklim, hanya ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni adaptasi dan mitigasi.

Adaptasi upaya menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, sedangkan mitigasi, serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. penghuni bumi," katanya.



Gas rumah kaca


Pandangan serupa juga disampaikan Dr Ir Impron, M.Agr. Sc, pakar Klimatologi Terapan dari IPB Bogor.

Menurut dia, pengelolaan lingkungan kawasan hutan yang tidak ekstra hati-hati, bisa mempercepat timbulnya efek gas rumah kaca di astmosfir bumi.

"Kerusakan kawasan hutan, bisa memicu menurunnya produksi oksigen di atmosfir bumi," katanya.

Pada saat yang sama katanya, emisi gas karbon yang bersumber dari penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan tata guna lahan, akan meningkat sehingga suhu udara juga meningkat.

Suhu udara meningkat karena gas karbon dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang menguap ke atmosfir, menutup lapisan ozon.

Akibatnya, panas bumi yang menguap ke atmosfir, tidak mampu menembus lapisan ozon, sehingga panas dari suhu bumi memantul kembali ke bumi.

"Ibaratnya, kita berada di dalam mobil tanpa AC. Suhu di dalam yang mestinya keluar dari ruangan, tidak mampu menembus dinding mobil, sehingga suhu memantul kembali ke dalam mobil," katanya.

Dampaknya ujar Impron, suhu panas di dalam mobil makin lama makin meningkat dan terus meningkat.

"jika tidak ada upaya membuka pintu atau jendela kaca mobil, orang di dalam mobil akan kegerahan," kata Impron menegaskan.


Pewarta : oleh Agus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024