Sejatinya angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang cukup tinggi --mencapai 8,32 -10 persen lebih per tahun--, bisa menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang makin membaik.

Sebab pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sesungguhnya digerakan oleh pemanfaatan berbagai potensi sumber daya alam di daerah yang memicu tingkat produktifitas masyarakat.

Namun di Sultra, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi pemicu tingginya pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut dalam lima tahun terakhir, justru hanya melahirkan sebuah ironi kehidupan masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut yang mencapai 10 persen lebih, jauh atas angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 5 persen lebih, justru hanya menciptakan kesenjangan sosial yang cukup lebar di tengah masyarakat.

"Di tengah sejumlah investor tambang mengeksploitasi sumber daya alam pertangan di daerah ini, kesenjangan sosial antara miskin dan si kaya di tengah masyarakat Sultra makin melebar," kata Direktur Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK) Sultra, Yusuf Tallama saat berbicara pada diskusi publik pengelolaan sumber daya alam Sultra di Kendari, Sabtu (20/9).

Orang kaya ujarnya, hidup semakin kaya dan bergelimang harta sedangkan masyarakat miskin yang jumlahnya sekitar 40 persen dari total penduduk Sultra sebanyak 2,3 juta jiwa, hidup semakin melarat.

Hal itu karena pendapatan dari pemanfaatan sumber daya alam pertambangan tidak menyentuh mayoritas penduduk miskin di daerah ini, melainkan hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki akses di dalam pengelolaan pertambangan.

Karenanya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi mencapai hingga 10 persen lebih, tidak perlu dibanggakan karena hanya menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di daerah semakin menganga lebar.

Lantas apa yang salah dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pertambangan terutama tambang nikel di daerah ini?

"Penjualan ore (tanah bercampur nikel-red) ke luar negeri oleh sejumlah perusahaan tambang, menjadi pemicu terciptanya kesenjangan sosial di tengah masyarakat tersebut," kata Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Sultra, Nasir Andi Baso yang ikut menjadi pembicara dana diskusi publik tersebut.

Penjualan nikel dalam bentuk ore ke luar negeri menurut dia, tidak memberikan nilai tambah bagi daerah penghasil.

Selain itu, juga tidak menyerap banyak tenaga kerja lokal secara masif, sehingga masyarakat yang hidup di sekitar kawasan tambang hanya menjadi penonton, bahkan menjadi korban dari aktivitas pertambangan.

Tidak jarang, warga di sekitar kawasan tambangan harus kehilangan harta benda bahkan nyawa, saat terjadi musibah banjir dan tanah longsor sebagai dampak dari pemanfaataan sumber daya alam pertambangan.



Tidak Transparan

Yusuf Tallama menilai tidak berkontribusinya hasil pemanfaatan potensi sumber daya alam pertambangan di daerah ini terhadap perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dikarenakan pihak investor sebagai pengelola tambang tidak transparan dalam melaporkan pendapatan yang diperoleh dari penjualan ore.

Dari sisi produksi, pihak investor kerapkali membuat laporan pengiriman ore ke luar negeri lebih rendah dari volume ekspor yang sesungguhnya.

Demikian pula dengan harga penjualan ore, selalu dilaporkan lebih rendah dari harga pembelian ore oleh perusahaan di luar negeri yang sesungguhnya.

"Motif para investor yang tidak transparan dalam melaporkkan pengelolaan usaha pertambangan ini, selain untuk meraup keuntungan besar, juga menghindari pembayaran retribusi dan pajak yang tinggi kepada negara dan daerah," kata Yusuf.

Makanya, tidak mengherankan jika hasil pemanfaatan potensi sumber daya alam pertambangan di daerah ini hanya menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si mikin semakin menganga lebar.

Itu karena pihak pengelola perusahaan tambang mengeruk keuntungan besar, sementara penerimaan daerah dari pembayaran retribusi dan pajak untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat sangat kecil.

"Bagaimana mungkin pemerintah daerah bisa memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat dari retribusi dan pajak hasil pemanfaatan tambang dengan nilai yang kecil," katanya.

Pendapat serupa juga disampaikan Jufri Rahim, salah seorang peserta dalam diskusi publik pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di Sultra tersebut.

Menurut dia, dalam kegiatan ekspor, perusahaan pertambangan nikel kerap kali memanipulasi volume ekspor dan harga penjualan ore di luar negeri.

"Volume ekspor yang seharusnya 50.000 ton, kerapkali dilaporkan hanya 40.000 ton, sedangkan harga penjualan ore 50 dollar per ton, dilaporkan hanya 25-30 dollar per ton," katanya.

Jelas ulah sejumlah perusahaan pengelola tambang tersebut bukan hanya merugikan negara dan daerah, melainkan juga merugikan masyarakat Sultra secara kesluruhan.



Butuh Smalter

Untuk memanfatkan potensi sumber daya alam pertambangan secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan industri smalter atau pemurnian nikel.

Selain bisa memberikan nilai tambah dari hasil penjualan nikel yang cukup tinggi, keberadaan pabkrik permunian nikel juga bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak.

"Kehadiran industri smalter, bisa menimbulkan multipel efek ekonomi bagi masyarakat yang luar biasa. Selain bisa terserap menjadi tenaga kerja di perusahaan , masyarakat juga bisa menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat yang berkerja di sektor pertambangan," kata Kepala Bappeda Sultra, Nasir Andi Baso.

Dengan begitu ujarnya, pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam pertambangan nikel yang menghasilkan banyak uang, bukan hanya dinikmati segelintir orang melainkan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Sultra.

"Kalau nikel di daerah ini dikelola melalui industri smatel sendiri, pendapatan yang diperoleh tidak hanya bisa menyejahterakan masyarakat Sultra melainkan juga bisa berkontrbusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional," katanya.

Pemerintah Provinsi Sultra sendiri kata Nasir, telah merencanakan pemanfataan sumber daya alam pertambangan nikel di daerah ini melalui home industri.

Dalam mengadakan teknologi home industri tersebut Pemprov Sultra telah menjajagi kemungkinan bekerjasama dengan Institut Teknologi Surabaya (ITS).

"Teknologi yang disiapkan ITS untuk pemurnian nikel nikel sangat murah, pendirian satu industri pemurnian nikel hanya butuh biaya kurang lebih Rp1,5 miliar," katanya.

Sementara itu pakar ekologi Universitas Haluoleo Kendari Dr Ir La Ode Alwi MSc berpendapat bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam hanya bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, jika pengelolaannya menerapkan teknologi yang ramah lingkungan.

Jika tidak, pengerukan sumber daya alam pertambangan di daerah ini, hanya akan mencitapkan bencana demi bencana bagi mayarakat, terutama mereka yang bermukkim di sekitar kawasan tambang.

"Setiap pemanfaatan sumber daya alam dari dalam bumi, harus diperhitungkan dampak yang akan ditimbulkannya," katanya.

Artinya, kalau nilai ekonomi lebih kecil dari kerusakan lingkungan atau ekosistem yang ditimbulkan, pengerukan sumber daya alam pertambangan sebaiknya dihindari.

Sebab tujuan utama dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam apa pun, semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.


Pewarta : oleh Agus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024