Jakarta  (Antara News) - Masyarakat masih banyak yang belum mengetahui mengenai kebijakan baru yang dikeluarkan Pemerintah mengenai penjualan bahan bakar minyak (BBM) awal Agustus 2014.

         Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menegaskan bahwa Pemerintah tidak akan mencabut subsidi bahan bakar minyak, tetapi hanya melakukan pengendalian penggunaannya.

        Latar belakang dikeluarkannya kebijakan itu, antara lain pertumbuhan pesat produksi kendaraan bermotor di Indonesia membuat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat tajam. Sekalipun sudah ada imbauan dari Pemerintah agar masyarakat golongan menengah atas menggunakan BBM nonsubsidi untuk kendaraan yang dimiliki, imbauan itu tidak terlalu digubris.

        Akibatnya, konsumsi penggunaan BBM bersubsidi membengkak dan melampaui kuota. Data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan hingga semester pertama tahun 2014, realisasi penyaluran BBM Bersubsidi mencapai 22,91 juta kiloliter (kl) lebih tinggi daripada kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta kl. Sementara itu, pada periode yang sama pada tahun 2013 sebesar 22,74 juta kl.

        Kenaikan volume BBM bersubsidi ini, antara lain disebabkan oleh pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam tiga tahun terakhir, rata-rata angka penjualan mobil mencapai 1,1 juta unit per tahun motor 7,6 unit per tahun. Pada tahun 2014, target penjualan mobil adalah 1,25 juta unit dan target penjualan motor 8.000.000 unit.

        Pada saat yang bersamaan, walaupun telah dilakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada bulan Juni 2013, tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi mengakibatkan migrasi pengguna BBM nonsubsidi ke BBM subsidi dan pada saat yang bersamaan masih terdapat penyalahgunaan BBM bersubsidi, khususnya jenis solar.

        Oleh karena itu, Menteri ESDM Jero Wacik memandang perlu upaya yang sungguh-sungguh agar kuota BBM bersubsidi tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama DPR.

          "Solar dan premium masih banyak stoknya. Namun, yang bersubsidi terbatas. Ini hanya pengendalian, kami tidak akan mencabut subsidi BBM," kata Jero Wacik dalam jumpa pers di kantor Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (5/8), terkait dengan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi.

        Jero Wacik menjelaskan bahwa Pemerintah perlu melakukan pengendalian penggunaan BBM karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 menyatakan bahwa volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kl menjadi 46 juta kl.

        Sementara itu, penyaluran BBM bersubsidi mengalami peningkatan pada semester pertama 2014, atau 22,91 juta kl dari jumlah kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta kl.

        "Kalau BBM tidak dikendalikan, pasokan solar bersubsidi hanya akan cukup sampai November 2014, sementara pasokan premium kalau tidak dikendalikan hanya cukup sampai 19 Desember," ujar Jero Wacik.

        BPH Migas kemudian mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta kl bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014. Sebagai salah satu badan usaha penyalur, Pertamina menjalankan kebijakan tersebut yang dimulai pada tanggal 1 Agustus 2014, khusus Jakarta. Mulai Jumat (1/8) seluruh SPBU di Jakarta Pusat tidak lagi menjual solar bersubsidi.

        "Sebagai contoh SPBU di Menteng, yang tinggal di wilayah itu kan masyarakat ekonomi atas. Jadi, tidak adil kalau mereka menggunakan BBM bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan masyarakat ekonomi lemah," kata Jero Wacik.

        Kemudian mulai 4 Agustus 2014, waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali akan dibatasi mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 18.00 untuk kluster tertentu.

        "Ini khusus untuk kluster kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan yang rawan penyalahgunaan solar bersubsidi," jelas Jero Wacik.

        Jero Wacik juga menegaskan bahwa kondisi ini hanya berlaku hingga akhir 2014. "Awal 2015 semua sudah normal kembali karena sudah ada kuota baru untuk BBM bersubsidi," katanya.

        Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai sejumlah langkah pembatasan penjualan BBM subsidi jenis solar dan premium sudah cukup realistis.

        "Beberapa langkah pembatasan yang telah dan akan dilakukan cukup realistis, dalam arti layak dan bisa diterapkan," katanya di Jakarta.

        Meski, lanjutnya, kebijakan tersebut harus dilakukan evaluasi apakah bisa menekan konsumsi BBM subsidi sesuai dengan kuota APBN Perubahan 2014 sebesar 46 juta kiloliter atau bahkan lebih besar lagi.

        Langkah evaluasi, menurut Direktur ReforMiner Institute itu, juga diperlukan untuk menentukan langkah selanjutnya seperti apakah sebaiknya kebijakan pembatasan itu diperluas atau tidak.

        "Sebagai upaya pengendalian, kebijakan ini patut didukung. Hanya Pemerintah harus lebih baik dalam sosialisasi dan pengawasannya di lapangan," ucapnya.

    
                    Perlu Sosialisasi
   Pengamat energi ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro meminta Pemerintah menyosialisasikan pembatasan pemakaian BBM subsidi jenis solar dan premium secara lebih meluas lagi.

        "Sosialisasi harus lebih meluas lagi agar publik tidak bingung," katanya di Jakarta.

        Menurut dia, masyarakat mesti terinformasikan pembatasan BBM subsidi secara jelas dan tepat.

        Ia mencontohkan, melalui sosialisasi, diharapkan masyarakat bisa mengatur waktu pembelian BBM-nya. Jangan sampai, lanjutnya, konsumen ternyata kehabisan BBM saat jadwal boleh mengisinya.

        "Bisa terjadi kesalahpahaman dengan petugas SPBU jika informasi ini tidak segera sampai kepada publik," ujarnya.

        Komaidi menambahkan, kebijakan pembatasan pemakaian BBM subsidi yang ditetapkan Pemerintah melalui BPH Migas tersebut sudah cukup logis. "Hanya saja yang menjadi masalah adalah implementasinya," katanya.

        Oleh karena itu, Komaidi memperkirakan, meski konsumsi bisa ditekan, tetap bakal melebihi kuota BBM sebesar 46 juta kiloliter.

        "Prediksi saya masih akan di atas 46 juta kiloliter," ujarnya.

         Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Indonesia National Shipowners Association (INSA) mendukung kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi pengusaha kapal.

        "Kami sebagai pengusaha tidak selayaknya menerima subsidi dari Pemerintah," ujar Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto di Jakarta, Kamis (7/8), ketika menanggapi kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi.

        Menurut Carmelita, sudah dua tahun terakhir pengusaha-pengusaha kapal di bawah asosiasi yang dipimpinnya tidak menggunakan BBM bersubsidi.

        "Kami harus sadar kalau ada kelebihan subsidi akan membangkrutkan negara sehingga harus memikirkan kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara ini," katanya.

        Ia berharap BBM bersubsidi bisa lebih digunakan untuk pembangunan infrastruktur karena selama ini penggunaan BBM bersubsidi kerap salah sasaran.

        "Untuk angkutan laut yang boleh memakai BBM bersubsidi hanya kapal nelayan, kapal perintis, Pelni, dan kapal pelayaran rakyat," ujarnya.

        Namun, dia menyayangkan sosialisasi kebijakan yang berjalan kurang baik sehingga banyak pengusaha dan masyarakat yang terkejut dan kurang memahami.

        Kurangnya sosialisasi tersebut akan berdampak pada menurunnya pendapatan pengusaha kapal logistik dan kargo sekitar 10 persen. Namun, sifatnya hanya sementara.

        "Untuk selanjutnya hal itu bisa disesuaikan dengan mengenakan biaya tambahan pada pemilik barang," kata wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Logistik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ini.

Pewarta : Oleh Ahmad Wijaya
Editor :
Copyright © ANTARA 2024