Jakarta (Antara News) - Bahasa Indonesia tampaknya akan tetap gilang-gemilang di tengah belantara praktik keseharian berbahasa yang amburadul, yang dilumuri kosa-kata keinggris-inggrisan.

         Penggawa di lembaga bahasa di negeri ini harus menyelenggarakan berbagai aktivitas seperti kampanye berbahasa Indonesia dengan baik dan benar spanjang tahun. Berbagai usul dalam seminar dan diskusi terbatas dilontarkan pada Lembaga Pembina Bahasa.

         Acara pemilihan pejabat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar diselenggarakan secara berkala. Diharapkan, akan banyak pejabat publik yang memperhatikan kualitas berbahasa Indonesia yang mereka gunakan ketika berpidato di depan khalayak ramai. Pengaruh pidato pejabat pada masyarakat diakui kuat.

         Lembaga bahasa, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tak bosan-bosannya mengajak pers untuk menerapkan pemakaian bahasa yang baik dan benar ketika menyampaikan informasi lewat pemberitaan.

         Memang masih banyak media massa yang abai terhadap seruan Badan Bahasa. Pelanggaran berbahasa Indonesia paling sepele pun dilakukan oleh koran-koran besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diproduksi lembaga pemerintah itu tak sepenuhnya jadi panutan awak media.

         Namun, sesungguhnya penggunaan bahasa Indonesia yang amburadul di banyak kalangan tak harus diratapi. Sebab selalu ada para perawat bahasa Indonesia yang menjadikannya tetap gilang-gemilang.

         Para perawat bahasa Indonesia yang bekerja dengan cinta yang keras hati itu adalah para penyair, prosais, eseis, dan penulis kolom berbagai bidang ilmu yang menggunakan bahasa Indonesia dengan keterampilan tingkat tinggi.

         Percayalah, kaum cerdik cendekia yang menuliskan opini mereka di berbagai media massa adalah pengguna bahasa Indonesia yang memberikan keteladanan berbahasa yang mengagumkan.

         Dalam dunia politik, penulis seperti Eep Saifullah Fatah, Yudi Latif, Donny Gahral Adian, Anies Baswedan adalah para perawat bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tulisan-tulisan mereka nyaman dibaca dan pantas dikenang. Bukan sekadar gagasan menarik yang mereka sampaikan yang membuat karya mereka pantas dikenang, tapi juga cara mereka menyampaikannya dalam bentuk retorika berbahasa Indonesia yang menawan.

         Di kalangan ekonom, ada nama Renald Kasali, Faisal Basri, Dawam Rahardjo dan (dulu) Kwik Kian Gie. Tulisan mereka mengangkut gagasan ekonomi yang kadang kompleks tapi tetap bisa diekspresikan dengan jernih melalui bahasa Indonesia yang baik dan benar.

         Di kalangan penulis masalah-masalah kebudayaan, para perawat bahasa Indonesia tentu tak sedikit jumlahnya. Di antara sekian banyak perawat yang berjasa, salah satu di antara mereka, adalah eseis dan penyair Goenawan Mohamad. Merekalah orang-orang yang berjibaku berjuang melawan kebiasaan umum dalam berbahasa yang mekanistis. Mereka adalah orang-orang yang sampai pada taraf pemahaman dan pengamalan bahwa bahasa bukan sekadar kendaraan untuk mengusung gagasan.

         Gaya dan cara berekspresi dalam berbahasa Indonesia adalah gagasan itu sendiri. Variasi sintaksis dan diksi yang kaya menjadikan bahasa Indonesia di tangan mereka bak warna-warni bunga di taman.

         Tak kalah berjasanya adalah penulis-penulis dari kalangan rohaniwan yang mengekspresikan ide-ide tentang ketuhanan yang meneduhkan.

         Jadi bahasa Indonesia tak perlu dikhawatirkan akan terjerembab menjadi bahasa yang tak sanggup digunakan untuk mengungkapkan ide-ide cemerlang dengan formulasi linguistik yang juga cemerlang.

         Bagi mereka yang sempat membaca risalah-risalah pendek tentang kenegaraan dan kebangsaan yang ditulis oleh Tan Malaka, Soekarno, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta dan lain-lain, bahasa Indonesia sejak dulu adalah alat ekspresi yang lentur, ekspresif dan akurat.

         Memang dalam ukuran kuantitas, para pengguna bahasa Indonesia yang baik, benar dan cerdas tidak akan melampaui para pengguna bahasa Indonesia yang jelek, salah dan dungu.

         Situasi itulah yang dalam kalangan pakar linguistik disebut sebagai situasi diglosia. Ada kesenjangan antara para penutur bahasa yang cerdas dengan memperhatikan kaidah dan keindahan berbahasa dan penutur yang berbahasa menurut mekanisme kebiasaan sehari-hari mereka.

         Situasi seperti ini terjadi di mana saja dan kapan saja. Mungkin persoalannya adalah bagaimana kalangan penutur yang berbahasa secara menakistis itu dari hari ke hari dikurangi jumlahnya. Lewat lembaga pendidikan tentu cara yang strategis untuk tujuan itu.

         Namun, justru di situlah letak soalnya. Para perawat bahasa yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, benar  dan cerdas, yang juga penulis-penulis beken adalah orang-orang yang ketika di bangku pendidikan dasar-menengah-atas  sempat mengenyam karya-karya prosa dan puisi secara utuh dan bukan penggalan-penggalan sinopsis yang mesti dihafal.

         Kini karya-karya itu dijadikan bahan hafalan dan disinopsiskan untuk konsumsi anaka-anak sekolah. Penghayatan akan keindahan berekspresi menjadi soal tersendiri bagi anak didik di bangku sekolah.

         Meski demikian, akan selalu muncul sosok-sosok yang akan menjadi pecinta dan perawat bahasa di tengah membanjirkan para pengguna bahasa Indonesia yang amburadul dan keinggris-inggrisan.

         Jadi tak perlulah pesimistis dalam memandang masa depan bahasa Indonesia, yang jejak kegemilangannya  sudah terekam dalam sejarah teks dan kesadaran bersama.

*M. Sunyoto adalah Ombusmen Redaksi LKBN ANTARA.

Pewarta : Oleh M Sunyoto*
Editor :
Copyright © ANTARA 2024