Pepatah menyebutkan lain ikan lain lumutnya, lain daerah lain menunya, itulah keragaman dan khasana budaya di Tanah Air yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia.

Sama halnya dengan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang memiliki berbagai keragaman budaya, adat dan istiadat hingga jenis makanan khas yang ada dan kini menjadi buruan warga tidak hanya dari lokal, nasional bahkan dari wisatawan mancanegara pun.

Di Kota Kendari misalnya dengan etnis masyarakat Tolaki dan Mekongga ada makanan `sinonggi`, kapurung dalam bahasa Toraja-Luwu (Sulawesi Selatan) atau Papeda dalam bahasa Papua dan Ambon semuanya adalah bahan utama dari bahan sagu (metroxylon sp).

Sinonggi saat ini menjadi semakin populer dan akrab di telinga warga Kota Kendari.

Dibanyak sudut kota, kita dengan mudah akan menemukan rumah makan yang menyajikan makanan yang terbuat dari sari pati pohon sagu ini.

Sebagai menu utama atau sekedar menu tambahan untuk menarik pengunjung, setiap jam makan siang, rumah makan yang menyajikan menu sinonggi dengan lauk pauk yang khas selalu dibanjiri pengunjung.

Pengunjungnya pun berasal dari berbagai latar belakang profesi, ras, gaya berpakaian hingga status sosial dan ekonomi.

Bahkan disitus jejaring sosial pun, juga semakin sering pula kita menemukan status seseorang yang hanya mengabarkan dirinya sedang bersantap sinonggi hingga gambar makanan itu yang menggiurkan bagi warga yang menyukai disaat bulan puasa seperti saat ini.

Pemerintah Kota Kendari misalnya, menjadikan produk pangan lokal sinonggi itu sebagai pangan lokal primadona di daerah saat ini.

Tidak heran bahan dasar pangan lokal sagu yang sudah disirami air panas untuk siap disantap dengan berbagai bahan pelengkap seperti sayuran bening, ikan asin, ikan masak dan ikan bakar sesuai dengan selera pengunjung.

"Kalau sudah disiram pakai air panas, sagu itu akan berubah jadi kenyal, baru kita potong-potong kecil. Setelah itu, dicampur pakai kuah air ikan atau sayur bening, untuk siap santap," kata Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kota Kendari, Siti Ganef.

Ia mengatakan, untuk melengkapi rasanya, ikan asin yang sudah digoreng kita campurkan ke dalam mangkuk yang sudah berisi sinonggi dan kuahnya, menjadikan sinonggi sebagai sajian andalan.

"Setiap warga non Sultra yang berkunjung ke Kendari, menjadikan sinonggi sebagai sasaran belanja kuliner sebelum meninggalkan Sultra. Untuk itu kami terus mengembangkan dan mempromosikan pangan lokal ini," ujar Ganef.

Apalagi bagi pengunjung yang datang tidak harus menyiapkan dana besar seperti masuk restoran kelas tertentu, tetapi dengan uang antara Rp15.000 hingga Rp20.000 sudah bisa menikmati makan siang hingga kenyang.

Menurutnya, upaya mengembangkan pangan lokal sinonggi ini sekaligus untuk menjaga keberadaan makanan tradisional warga Kendari khususnya dan Sultra secara umum tersebut.

"Sinonggi ini merupakan makanan khas beberapa suku daerah di Sultra, seperti suku Tolaki, Mekongga dan Moronene. Makanan ini pun sudah bisa kita jumpai di beberapa rumah makan dan restoran di Kendari," katanya.

Ia mengaku, pihaknya sudah bekerja sama dengan beberapa hotel di daerah itu agar menjadikan sinonggi sebagai salah satu menu restoran hotel sehingga bisa dengan mudah dikenal oleh setiap tamu yang datang ke hotel tersebut.

Bahan baku untuk pangan ini sangat melimpah, karena tanaman sagu sebagai bahan baku pangan sinonggi banyak di kembangkan oleh masyarakat daerah ini.

Kembangkan

Pemerintah Kota Kendari, beberapa tahun silam terus mengimbau warga di daerah itu untuk mengembangkan tanaman sagu sebagai upaya pemerintah dalam mengembangkan pangan non beras.

"Kita harus mulai berbuat dan melakukan terobosan untuk mengembangan sumber pangan non beras seperti tanaman sagu ini," kata Asrun, Wali Kota Kendari.

Sebab, tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras memang sangat perlu upaya sosialisasi diversifikasi pangan dengan beragam jenis pangan lainnya.

Menurutnya, makanan yang bersumber dari sagu sudah menjadi makanan pokok bagi warga Sultra, khususnya yang berada di daratan Sultra, sehingga itu harus dikembangkan.

"Hal ini kita lakukan agar masyarakat kita tidak hanya tergantung pada satu sumber pangan tertentu yaitu beras saja," kata Asrun yang akan mengakhiri masa periode pertama di bulan September 2012.

Kata dia, ketergantungan pada pangan tertentu seperti beras maka bisa memicu terjaidnya instabilitas bila pangan itu terganggu atau berkurang.

Ia mengatakan, pemerintah Kota Kendari, sudah komitmen untuk menggali potensi sumberdaya pangan lokal salah satunya adalah sumber pangan sagu yang bisa menghasilkan pangan makanan khas daerah yaitu "sinonggi".

"Karena itu, saya sudah menerbitkan peraturan Wali Kota Kendari nomor: 15 tahun 2010 tentang aksi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal Kota Kendari," kata Asrun yang baru-baru ini kembali memenangkan perolehan suara sebagai `incumbent` dan memperoleh suara terbanyak mengalankan lima pasang calon wali kota dan wakil wali kota lainnya pada Pilkada Kota 7 Juni 2012.

Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, kata dia, pihaknya telah menginstruksikan kepada semua camat dan para kepala SKPD untuk mendukung dan berpartisipasi aktif dalam percepatan diversifikasi pangan di wilayah masing-masing.

"Saya juga instruksikan kepada para camat agar menghentikan aksi para warganya yang biasa menebang pohon sagu di daerahnya," pungkasnya.

Terobosan untuk terus mempertahankan dan mengembangkan sumber pangan non beras selain sagu, bagi masyarakat Sultra tidak pernah meras resah bila harga beras naik dipasaran, sebab hampir semua kabupaten/kota di Sultra memiliki makanan pokok non beras khas dari daerah masing-masing.

"Dari berbagai etnis suka yang ada di Sultra seperti, di Buton dan Wakatobi ada kasuami dari ubi kayu, di Muna ada kambuse dari bahan jagung dan kabuto juga dari ubi kayu yang dijemur, dan etnis Moronene pun juga senang makan ubi kayu dan sebagian sagu sehingga masyarakat Sultra tidak merasa resah bila sewaktu-waktu beras berkurang," kata Riha Mady, anggota DPRD Provinsiu Sultra itu.

Tidak tergantun beras

"Sebetulnya masyarakat di Sultra tidak usah telalu resah bila sewaktu-waktu terjadi dengan naikknya harga beras, sebab kita tidak selalu bergantung dengan makanan pokok dari beras," katanya.

Akan tetapi instansu teknis seperti Badan Ketahanan Pangan di kabupaten/kota di Sultra, pro aktif menggalakkan program diversifikasi makanan non beras.

Namun demikan kata legislator asal PBR daerah pemilihan Kota Baubau, Buton dan Wakatobi ini, program diversifikasi makanan non beras ini bisa berhasil, jika Pihak Badan Ketahanan Pangan tidak berdiam dan selalu pro-aktif menggalakkan program diversifikasi makanan non beras yang kita miliki.

Hanya saja, ditengah menggeliatnya sinonggi sebagai kuliner yang makin banyak di cari oleh warga Sultra, namun pohon sagu justru makin berkurang dan sulit ditemukan.

Bahkan areal tanaman sagu di Indonesia sampai saat ini belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa literatur yang ada memberikan data yang berbeda-beda, tetapi berdasarkan penelitian luas areal sagu di Indonesia diperkirakan sisa sekitar satu juta hektar.

Luas areal tanaman sagu di Sultra semakin berkurang karena banyaknya areal sagu yang dikonversi menjadi areal perkebunan sawit, areal persawahan, lokasi pemukiman dan yang terbesar adalah areal pertambangan.

Badan Pusat Statistik memperkirakan, luas areal sagu di Sulawesi Tenggara tinggal tersisa sekitar antara 5.500 hingga 6.000 hektar.

Semakin berkurangnya areal tanaman sagu dan tidak adanya kebijakan pemerintah daerah di Sulawesi Tenggara menjadi kritik utama yang patut kita dikedepankan.

Pemerintah sudah saat mengeluarkan kebijakan untuk melindungi punahnya tanaman sagu.

Sagu menjadi sinonggi bukan lagi sekedar penanda keragaman kuliner kita tapi telah menjadi identitas masyarakat di daerah ini.

Ini berarti, punahnya tanaman sagu tidak saja akan menjadi kehilangan besar kita pada salah satu jenis makanan yang sungguh nikmat ini, tetapi menjadi pertanda hilangnya salah satu identitas daerah Sultra.

"Jika kita terpaksa masih harus mengimpor beras, mengimpor sayur mayur atau daging, setidaknya kita tidak perlu atau jangan sampai harus mengimpor sagu," kata Asrun Lio, salah satu dosen Unhalu Kendari yang kini sedang melakukan penyelesaian penelitian pada program doktor (S3) di Kabupaten Konawe Utara. (ANT).

Pewarta : Oleh Abdul Azis Senong
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024