Medan (ANTARA) - "Mungkinkah ini hari kiamat?". Kalimat itu terucap dari warga yang merasakan dahsyatnya bumi berguncang akibat gempa yang lalu disertai air laut menerjang pesisir pantai Aceh pada 26 Desember 2004.

Kata "kiamat" mungkin tidak tepat, tapi bagi warga Aceh 20 tahun lalu, bencana itu memang paling dahsyat sepanjang abad 21. Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter, atau gempa dalam skala kekuatan yang tinggi, telah mengguncang daerah ini.

Gempa itu disusul gelombang tinggi sampai setinggi 20 meter yang menghempas pesisir pantai utara dan timur Aceh. Orang Aceh menyebutnya "ie beuna" atau air bah yang jauh di laut untuk menghempas daratan.

Gempa disertai gelombang pasang  itu meluluhlantakkan berbagai fasilitas umum. Lebih dari 100 ribu rumah sejauh lima kilometer dari bibir pantai di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat, hancur diterjang air bah. "Air laut naik" menerjang permukiman mereka Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 8.45 WIB.

Beberapa hari kemudian, kata tsunami baru populer di Aceh setelah relawan berdatangan ke sana, dan peristiwa itu diekspos oleh media nasional dan internasional. Sebanyak 200 ribu jiwa warga Aceh meninggal dunia dan hilang akibat bencana super-dahsyat itu.

Masyarakat dilanda trauma dan ketakutan karena gempa masih menguncang setiap sekitar 20 menit, yang diperparah oleh terputus  saluran komunikasi dan aliran listrik.

Mayat-mayat bergelimpangan karena evakuasi berjalan tersendat. Mereka yang cedera harus bersabar menahan rasa sakit karena tak tertangani dengan baik akibat tidak seimbangnya jumlah paramedis dengan jumlah korban.

Jalan-jalan di pesisir tertutup tumpukan puing-puing bangunan dan pohon-pohon besar yang hancur sehingga menutup akses relawan dalam mengevakuasi jasad dan mereka yang terluka.

Di beberapa ruas jalan, kapal-kapal nelayan terdampar di daratan karena dihempaskan air laut, termasuk PLTD Apung yang masuk sampai pemukiman penduduk. Begitu juga tongkang pengangkut batu bara terseret sampai jalan raya Banda Aceh-Meulaboh.

Tersentak oleh begitu dahsyatnya tragedi kemanusiaan itu, pemerintah dan rakyat Indonesia, juga dunia, segera mengulurkan tangannya dengan mengerahkan semua yang mereka punya untuk mengevakuasi jenazah dan korban selamat.

Hanya sepekan dari bencana itu, daerah yang sebelumnya "seram" akibat konflik bersenjata, berubah hiruk pikuk oleh para pekerja kemanusiaan dari berbagai provinsi di Indonesia dan lintas negara serta militer asing yang berdatangan membantu korban tsunami di Serambi Mekah itu.

Simpati dan solidaritas nasional dan internasional terus berdatangan. Bantuan berdatangan. Jenazah dan korban selamat diungsikan. Bandara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang yang biasanya sepi, saat itu sampai tak mampu menampung pesawat yang tak henti berdatangan dari berbagai negara.

Sebelum bala bantuan internasional tiba di Banda Aceh, sejumlah gajah jinak BKSDA dikerahkan untuk menyingkirkan dan membersihkan puing-puing yang menimbun rumah-rumah penduduk.

Sekitar sepekan setelah tsunami, Banda Aceh yang semula menjadi "kota mati" akibat tsunami, mendadak ramai dipenuhi tentara dan pekerja kemanusiaan nasional serta asing.

Sejumlah zona aman tsunami dipenuhi tenda-tenda darurat untuk menampung korban tsunami, termasuk mereka yang terluka. Sedangkan lainnya ditampung di rumah penduduk dan masjid di kawasan aman tsunami.

Relawan bekerja maksimal mengevakuasi jasad-jasad korban. Mereka kemudian membawanya ke sejumlah tempat untuk dikuburkan secara layak, termasuk di Pamakaman Siron dan Lampaunerut di Kabupaten Aceh Besar.

Sementara itu, jenazah yang ditemukan di pesisir pantai Banda Aceh dimakamkan di Ulee Lhue, Kecamatan Meuraxa. Mereka dimakamkan di tiga lokasi. Jumlahnya sampai puluhan ribu jenazah.

 

Awal peristiwa

Minggu pagi itu tanggal 26 Desember, 20 tahun silam, masyarakat beraktivitas normal seperti biasa. Mereka berolahraga, berjalan kaki, berlari-lari kecil, sementara para pedagang mulai membuka usaha di sepanjang Jalan Hasan Dek Beurawe di Kota Banda Aceh.

Anak-anak bersuka cita, joging bersama orang tua mereka, termasuk mereka yang tengah berada di Pantai Ulee Lhue. Ada yang cuma duduk santai sembari menghirup minuman kopi dan teh. Sebagian lagi berenang di pinggir laut.

Sudah jadi tradisi di Aceh, pagi hari setelah menunaikan shalat subuh, lelaki berkumpul di warung-warung kopi terdekat. Di sana ada istilah,"meski sudah disiapkan kopi oleh isteri, kopi pagi belum lengkap sebelum ke warung".

Para lelaki di Aceh gemar berkumpul di warung kopi karena di sana ada beribu cerita, mulai soal politik, sosial, sampai soal ekonomi. Semuanya dengan mudah diperoleh di warung kopi, meski yang diminum hanya secangkir kopi.

Tetapi pagi itu berbeda. Gempa dahsyat merusak kenormalan itu. Para pria di warung kopi yang asyik bercerita tentang situasi terkini Aceh, berhamburan keluar. Suasana makin kalut, kala gelombang tsunami kemudian menerjang Aceh.

Saat itu Aceh lagi dipanaskan oleh konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang eskalasinya semakin luas.

Namun, hari itu suasananya sungguh berbeda. Polisi bersenjata lengkap berlarian bukan hendak memburu kelompok sipil bersenjata, tapi berusaha menyelamatkan diri karena tsunami dari arah pantai, yang terjadi tak lama setelah gempa.

Truk reo yang biasanya berpenumpang tentara atau polisi, kini disesaki warga sipil. Bukan takut karena konflik, melainkan oleh dahsyatnya bencana alam. Perhatian Aceh yang semua diselimuti trauma konflik bersenjata, seketika beralih kepada gempa dan tsunami.

Beberapa aparat keamanan hanya berjalan dan terduduk diam membisu. Sambil tetap menenteng senjata api, hati mereka terguncang oleh bencana sedahsyat itu. Semua menjadi korban, tua dan muda, tak mengenal status, dari orang biasa sampai tentara, polisi, sampai pejabat.

Kapolresta Banda Aceh AKBP Sayed Husaini, wartawan Nadjamuddin Umar dari Kompas, Muhammad Rokan dan Erwiyan Safri dari Serambi Indonesia, dan M Saleh dari Harian SIP Medan, pun termasuk di antara ratusan ribu yang meninggal dunia akibat gempa dan tsunami 20 tahun lalu itu.

Kendati pilu, pahit dan trauma berat akibat tsunami, warga bumi "Teuku Umar" tetap tegar dan sabar. Mereka berprinsip "tidak ada yang bisa menolak jika Allah SWT berkehendak".

Kereligiusan warga Aceh itu membuat mereka meyakini musibah adalah takdir ilahi. Itu menjadi modal dan kekuatan moral yang membuat mereka bangkit, meski harus kehilangan orang-orang terkasihnya.

Dua dekade gempa dan tsunami Aceh, diharapkan mampu menjadi pelajaran tentang pentingnya mitigasi bencana bagi generasi kini dan ke depan. Apalagi Indonesia berada di jalur "cincin api" atau jalur rawan bencana.

Pemerintah, masyarakat dan semua komponen bangsa lainnya agar punya kepedulian dan membangunkan kesadaran kolektif terkait antisipasi jika bencana tsunami terulang, sehingga mampu meminimalkan korban jiwa dan kerusakan terhadap infrastruktur publik lainnya.
 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Refleksi 20 tahun tsunami Aceh

Pewarta : Azhari
Editor : Abdul Azis Senong
Copyright © ANTARA 2024