Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Bank Pertama Josua Pardede memproyeksikan tingkat inflasi tetap berada di bawah dua persen hingga akhir tahun 2024.
Ia memproyeksikan tingkat inflasi tahun 2024 berkisar antara 1,7-2,0 persen, dibandingkan dengan 2,81 persen di tahun 2023, yang mencerminkan lingkungan inflasi yang lebih terkendali.
Angka inflasi yang lebih rendah ini dapat memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk mempertimbangkan penurunan BI-Rate, terutama jika diselaraskan dengan potensi penurunan suku bunga The Fed.
“Kami memperkirakan inflasi akan tetap berada di bawah dua persen pada akhir tahun 2024, dengan proyeksi kenaikan menjadi sekitar tiga persen pada tahun 2025,” kata Josua dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Prakiraan ini didasarkan pada adanya beberapa faktor. Faktor tekanan harga energi global, yang didorong oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kawasan Euro menjadi salah satunya, dengan adanya kemungkinan bakal diimbangi oleh potensi penurunan permintaan global.
Selain itu, risiko kenaikan dapat muncul menjelang akhir tahun, terutama dari peningkatan permintaan musiman yang terkait dengan liburan Natal dan Tahun Baru.
Pada 2025, Josua memperkirakan inflasi akan meningkat seiring dengan beberapa langkah kebijakan pemerintah.
Nota Keuangan 2025 menyoroti rencana untuk memberlakukan cukai pada minuman kemasan berpemanis dan meningkatkan tarif PPN.
Selain itu, setelah perlambatan yang signifikan pada tahun 2024, tingkat inflasi akan dipengaruhi oleh efek basis yang rendah.
Di luar dampak yang disebabkan oleh kebijakan, inflasi diperkirakan akan meningkat karena permintaan konsumen yang membaik, yang berpotensi menyebabkan inflasi tarikan permintaan yang moderat.
"Meskipun diperkirakan akan meningkat, inflasi diproyeksikan akan tetap terkendali, mencapai sekitar 3,12 persen pada akhir tahun 2025, sesuai dengan kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5 - 3,5 persen," ujarnya.
Untuk Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia untuk bulan November 2024 diproyeksikan menunjukkan tingkat inflasi bulanan sebesar 0,30 persen secara bulanan (mom), naik dari 0,08 persen (mom) di bulan Oktober.
Josua menjelaskan kenaikan ini terutama didorong oleh peningkatan permintaan musiman menjelang akhir tahun, bertepatan dengan liburan Natal dan Tahun Baru, sejalan dengan pola musiman pada umumnya.
Seiring dengan berkurangnya dampak dari musim panen, harga-harga pangan secara umum meningkat. Indeks harga bergejolak, yang sebagian besar mencakup komoditas pangan, diperkirakan akan mencatat tingkat inflasi bulanan sebesar 0,95 persen (mom), naik secara signifikan dari -0,11 persen (mom) di bulan Oktober, yang sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga bawang merah, daging ayam, dan minyak goreng.
Kemudian, indeks harga yang diatur pemerintah juga diperkirakan mengalami inflasi bulanan sebesar 0,12 persen (mom), berbalik dari -0,25 persen (mom) di bulan Oktober 2024, didorong oleh harga bahan bakar non-subsidi yang lebih tinggi.
Sementara itu, Josua memprediksi inflasi inti bakal relatif stabil pada level 0,20 persen (mom), sedikit lebih rendah dari 0,22 persen (mom) di bulan Oktober 2024, didukung oleh peningkatan permintaan musiman, pelemahan rupiah, dan kenaikan harga emas.
Tingkat inflasi tahunan diperkirakan menurun lebih lanjut menjadi 1,55 persen (yoy) di bulan November 2024, turun dari 1,71 persen (yoy) di Oktober 2024, mendekati batas bawah kisaran target. Sebaliknya, inflasi inti tahunan diperkirakan naik tipis menjadi 2,26 persen (yoy) dari 2,21 persen (yoy) di bulan sebelumnya.
“Indeks harga yang diatur pemerintah diperkirakan akan mencerminkan inflasi sebesar 0,92 persen (yoy), sementara indeks harga bergejolak diproyeksikan mencatat deflasi 0,61 persen (yoy), dibandingkan dengan inflasi 0,77 perse (yoy) dan deflasi 0,89 persen yoy pada bulan Oktober 2024,” jelasnya.
Adapun Senin ini pukul 11.00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan rilis inflasi November 2024.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ekonom proyeksikan inflasi tetap di bawah dua persen pada akhir tahun
Ia memproyeksikan tingkat inflasi tahun 2024 berkisar antara 1,7-2,0 persen, dibandingkan dengan 2,81 persen di tahun 2023, yang mencerminkan lingkungan inflasi yang lebih terkendali.
Angka inflasi yang lebih rendah ini dapat memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk mempertimbangkan penurunan BI-Rate, terutama jika diselaraskan dengan potensi penurunan suku bunga The Fed.
“Kami memperkirakan inflasi akan tetap berada di bawah dua persen pada akhir tahun 2024, dengan proyeksi kenaikan menjadi sekitar tiga persen pada tahun 2025,” kata Josua dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Prakiraan ini didasarkan pada adanya beberapa faktor. Faktor tekanan harga energi global, yang didorong oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kawasan Euro menjadi salah satunya, dengan adanya kemungkinan bakal diimbangi oleh potensi penurunan permintaan global.
Selain itu, risiko kenaikan dapat muncul menjelang akhir tahun, terutama dari peningkatan permintaan musiman yang terkait dengan liburan Natal dan Tahun Baru.
Pada 2025, Josua memperkirakan inflasi akan meningkat seiring dengan beberapa langkah kebijakan pemerintah.
Nota Keuangan 2025 menyoroti rencana untuk memberlakukan cukai pada minuman kemasan berpemanis dan meningkatkan tarif PPN.
Selain itu, setelah perlambatan yang signifikan pada tahun 2024, tingkat inflasi akan dipengaruhi oleh efek basis yang rendah.
Di luar dampak yang disebabkan oleh kebijakan, inflasi diperkirakan akan meningkat karena permintaan konsumen yang membaik, yang berpotensi menyebabkan inflasi tarikan permintaan yang moderat.
"Meskipun diperkirakan akan meningkat, inflasi diproyeksikan akan tetap terkendali, mencapai sekitar 3,12 persen pada akhir tahun 2025, sesuai dengan kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5 - 3,5 persen," ujarnya.
Untuk Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia untuk bulan November 2024 diproyeksikan menunjukkan tingkat inflasi bulanan sebesar 0,30 persen secara bulanan (mom), naik dari 0,08 persen (mom) di bulan Oktober.
Josua menjelaskan kenaikan ini terutama didorong oleh peningkatan permintaan musiman menjelang akhir tahun, bertepatan dengan liburan Natal dan Tahun Baru, sejalan dengan pola musiman pada umumnya.
Seiring dengan berkurangnya dampak dari musim panen, harga-harga pangan secara umum meningkat. Indeks harga bergejolak, yang sebagian besar mencakup komoditas pangan, diperkirakan akan mencatat tingkat inflasi bulanan sebesar 0,95 persen (mom), naik secara signifikan dari -0,11 persen (mom) di bulan Oktober, yang sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga bawang merah, daging ayam, dan minyak goreng.
Kemudian, indeks harga yang diatur pemerintah juga diperkirakan mengalami inflasi bulanan sebesar 0,12 persen (mom), berbalik dari -0,25 persen (mom) di bulan Oktober 2024, didorong oleh harga bahan bakar non-subsidi yang lebih tinggi.
Sementara itu, Josua memprediksi inflasi inti bakal relatif stabil pada level 0,20 persen (mom), sedikit lebih rendah dari 0,22 persen (mom) di bulan Oktober 2024, didukung oleh peningkatan permintaan musiman, pelemahan rupiah, dan kenaikan harga emas.
Tingkat inflasi tahunan diperkirakan menurun lebih lanjut menjadi 1,55 persen (yoy) di bulan November 2024, turun dari 1,71 persen (yoy) di Oktober 2024, mendekati batas bawah kisaran target. Sebaliknya, inflasi inti tahunan diperkirakan naik tipis menjadi 2,26 persen (yoy) dari 2,21 persen (yoy) di bulan sebelumnya.
“Indeks harga yang diatur pemerintah diperkirakan akan mencerminkan inflasi sebesar 0,92 persen (yoy), sementara indeks harga bergejolak diproyeksikan mencatat deflasi 0,61 persen (yoy), dibandingkan dengan inflasi 0,77 perse (yoy) dan deflasi 0,89 persen yoy pada bulan Oktober 2024,” jelasnya.
Adapun Senin ini pukul 11.00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan rilis inflasi November 2024.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ekonom proyeksikan inflasi tetap di bawah dua persen pada akhir tahun