Jakarta (ANTARA) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah menelusuri dugaan pembelian pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) oleh salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri di Kementerian Kesehatan.
Kasus korupsi di Kementerian Kesehatan menggunakan sumber dana siap pakai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020. Kasus tersebut kemudian didalami penyidik KPK dalam pemeriksaan seorang pengusaha bernama Agus Subarkah pada Jumat (15/11).
"Saksi hadir dan didalami terkait dengan dugaan pembelian aset pabrik AMDK yang terletak di wilayah Bogor oleh tersangka SW," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Tessa mengatakan pabrik tersebut diduga dibeli oleh tersangka SW (Satrio Wibowo) pada tahun 2020 dengan nilai pembelian yang disepakati Rp60 miliar, namun angka tersebut belum dibayar sepenuhnya oleh SW.
"Untuk harga pembelian pabriknya yang disepakati Rp60 miliar namun yang dibayarkan baru Rp15 miliar, di mana sumber dananya diduga berasal dari kasus korupsi APD tersebut," ujarnya.
Terkait apakah pabrik tersebut akan disita oleh penyidik, Tessa mengatakan ada beberapa opsi yang bisa diambil oleh penyidik dalam penanganan terhadap aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
"Itu tergantung penyidik, karena kembali lagi, apakah pabriknya yang akan disita atau uangnya saja, itu melihat situasi di lapangan seperti apa," ujarnya.
Dalam perkara dugaan korupsi APD tersebut, penyidik KPK telah menetapkan tersanga dan melakukan penahanan terhadap tiga orang yakni mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana (BS), yang pada tahun 2020 menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemudian Satrio Wibowo (SW) selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik (AT).
Konstruksi perkara yang menjerat tiga tersangka tersebut bermula pada Maret 2020 ketika PT Permana Putra Mandiri (PPM) dan PT Energi Kita Indonesia (EKI) menjadi distributor APD.
Kementerian Kesehatan membeli 10.000 unit APD dari PT PPM dengan harga Rp379.500 per set. Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi beberapa penyimpangan, seperti pengambilan barang oleh TNI (atas perintah kepala BNPB saat itu) tanpa dokumentasi yang lengkap dan tanpa surat pemesanan.
Lebih lanjut, pada 22 Maret 2020, Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI menandatangani kontrak kesepakatan sebagai penjual resmi APD sebanyak 500 ribu set. Harga dari APD tersebut mengikuti nilai dolar saat pemesanan.
Kesepakatan itu berlanjut dengan kerja sama PPM dan EKI untuk menjadi distributor APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PPM. Hasil negosiasi PPM dan EKI diserahkan kepada BNPB.
Kepala BNPB saat itu Hermansyah melakukan negosiasi harga APD dari 60 dolar AS menjadi 50 dolar AS dalam sebuah rapat dengan Satrio. Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD, merek yang sama, yang dibeli Kemenkes sebelumnya, yaitu Rp370 ribu.
PT PPM juga kemudian menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga 50 dolar AS per set (sekitar Rp700.000). Kemudian pada tanggal 25 Maret 2020, PT EKI melakukan pemesanan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro Rp113 miliar bertanggal 30 Maret 2020.
Dokumen kepabeanan dan dokumen lain sengaja menggunakan data PT PPM karena PT EKI tidak mempunyai izin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan nonpengusaha kena pajak (PKP).
Pada 27 Maret 2020, Satrio Wibowo menghubungi Kepala BNPB pada saat itu untuk segera dilakukan pembayaran terhadap 170.000 APD yang diambil TNI dan meminta diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan bahan mentah dari Korea.
Pembayaran pertama sebesar Rp10 miliar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari bendahara BNPB kepada rekening PT PPM, yang pada saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan.
Pembayaran kedua sebesar Rp109 miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Pusat Krisis Kemenkes kepada Rekening PT PPM.
Selanjutnya, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dokumen pengangkatannya dibuat mundur menjadi tanggal 27 Maret 2020.
Selanjutnya terbit surat pesanan APD dari Kementerian Kesehatan kepada PT PPM sejumlah 5.000.000 set dengan harga satuan 48,4 dolar AS yang ditandatangani Budi Sylvana selaku PPK, Ahmad Taufik selaku Dirut PT PPM dan Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI.
Dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci. Selain itu, surat pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani surat tersebut.
Pada tanggal 15 April 2020, Kementerian Kesehatan memberikan surat pemberitahuan kepada direktur PT PPM , bahwa sampai tanggal 15 April 2020 PT PPM telah mengirimkan APD sejumlah 790.000 set dari total 5.000.000 set APD yang sudah dipesan
Kemudian pada 7 Mei 2020 dilakukan negosiasi ulang harga dan disepakati:
1. Barang yang dikirim tanggal 27 April hingga 7 Mei 2020 dengan harga Rp366.850 dengan jumlah 503.500 set.2. Barang yang dikirim setelah tanggal 7 Mei 2020 dengan harga Rp294.000.3. Bahwa sampai dengan tanggal 18 Mei 2020, Kemenkes telah menerima sebanyak 3.140.200 set APD.
Dalam konstruksi perkara tersebut, terdapat perbuatan hukum diantaranya PT EKI terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Hal tersebut berlawanan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010, bahwa penyalur alat kesehatan wajib memiliki IPAK yang diatur Kemenkes.
Kasus korupsi di Kementerian Kesehatan menggunakan sumber dana siap pakai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020. Kasus tersebut kemudian didalami penyidik KPK dalam pemeriksaan seorang pengusaha bernama Agus Subarkah pada Jumat (15/11).
"Saksi hadir dan didalami terkait dengan dugaan pembelian aset pabrik AMDK yang terletak di wilayah Bogor oleh tersangka SW," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Tessa mengatakan pabrik tersebut diduga dibeli oleh tersangka SW (Satrio Wibowo) pada tahun 2020 dengan nilai pembelian yang disepakati Rp60 miliar, namun angka tersebut belum dibayar sepenuhnya oleh SW.
"Untuk harga pembelian pabriknya yang disepakati Rp60 miliar namun yang dibayarkan baru Rp15 miliar, di mana sumber dananya diduga berasal dari kasus korupsi APD tersebut," ujarnya.
Terkait apakah pabrik tersebut akan disita oleh penyidik, Tessa mengatakan ada beberapa opsi yang bisa diambil oleh penyidik dalam penanganan terhadap aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
"Itu tergantung penyidik, karena kembali lagi, apakah pabriknya yang akan disita atau uangnya saja, itu melihat situasi di lapangan seperti apa," ujarnya.
Dalam perkara dugaan korupsi APD tersebut, penyidik KPK telah menetapkan tersanga dan melakukan penahanan terhadap tiga orang yakni mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana (BS), yang pada tahun 2020 menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemudian Satrio Wibowo (SW) selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik (AT).
Konstruksi perkara yang menjerat tiga tersangka tersebut bermula pada Maret 2020 ketika PT Permana Putra Mandiri (PPM) dan PT Energi Kita Indonesia (EKI) menjadi distributor APD.
Kementerian Kesehatan membeli 10.000 unit APD dari PT PPM dengan harga Rp379.500 per set. Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi beberapa penyimpangan, seperti pengambilan barang oleh TNI (atas perintah kepala BNPB saat itu) tanpa dokumentasi yang lengkap dan tanpa surat pemesanan.
Lebih lanjut, pada 22 Maret 2020, Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI menandatangani kontrak kesepakatan sebagai penjual resmi APD sebanyak 500 ribu set. Harga dari APD tersebut mengikuti nilai dolar saat pemesanan.
Kesepakatan itu berlanjut dengan kerja sama PPM dan EKI untuk menjadi distributor APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PPM. Hasil negosiasi PPM dan EKI diserahkan kepada BNPB.
Kepala BNPB saat itu Hermansyah melakukan negosiasi harga APD dari 60 dolar AS menjadi 50 dolar AS dalam sebuah rapat dengan Satrio. Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD, merek yang sama, yang dibeli Kemenkes sebelumnya, yaitu Rp370 ribu.
PT PPM juga kemudian menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga 50 dolar AS per set (sekitar Rp700.000). Kemudian pada tanggal 25 Maret 2020, PT EKI melakukan pemesanan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro Rp113 miliar bertanggal 30 Maret 2020.
Dokumen kepabeanan dan dokumen lain sengaja menggunakan data PT PPM karena PT EKI tidak mempunyai izin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan nonpengusaha kena pajak (PKP).
Pada 27 Maret 2020, Satrio Wibowo menghubungi Kepala BNPB pada saat itu untuk segera dilakukan pembayaran terhadap 170.000 APD yang diambil TNI dan meminta diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan bahan mentah dari Korea.
Pembayaran pertama sebesar Rp10 miliar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari bendahara BNPB kepada rekening PT PPM, yang pada saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan.
Pembayaran kedua sebesar Rp109 miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Pusat Krisis Kemenkes kepada Rekening PT PPM.
Selanjutnya, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dokumen pengangkatannya dibuat mundur menjadi tanggal 27 Maret 2020.
Selanjutnya terbit surat pesanan APD dari Kementerian Kesehatan kepada PT PPM sejumlah 5.000.000 set dengan harga satuan 48,4 dolar AS yang ditandatangani Budi Sylvana selaku PPK, Ahmad Taufik selaku Dirut PT PPM dan Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI.
Dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci. Selain itu, surat pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani surat tersebut.
Pada tanggal 15 April 2020, Kementerian Kesehatan memberikan surat pemberitahuan kepada direktur PT PPM , bahwa sampai tanggal 15 April 2020 PT PPM telah mengirimkan APD sejumlah 790.000 set dari total 5.000.000 set APD yang sudah dipesan
Kemudian pada 7 Mei 2020 dilakukan negosiasi ulang harga dan disepakati:
1. Barang yang dikirim tanggal 27 April hingga 7 Mei 2020 dengan harga Rp366.850 dengan jumlah 503.500 set.2. Barang yang dikirim setelah tanggal 7 Mei 2020 dengan harga Rp294.000.3. Bahwa sampai dengan tanggal 18 Mei 2020, Kemenkes telah menerima sebanyak 3.140.200 set APD.
Dalam konstruksi perkara tersebut, terdapat perbuatan hukum diantaranya PT EKI terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Hal tersebut berlawanan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010, bahwa penyalur alat kesehatan wajib memiliki IPAK yang diatur Kemenkes.