Purwokerto (ANTARA) - Pengamat pendidikan Dr Elly Hasan Sadeli menilai perlu kajian dan pertimbangan matang jika Ujian Nasional (UN) kembali diterapkan sebagai ujian terstandar yang menentukan kelulusan siswa dan seleksi penerimaan peserta didik baru.

"Kemarin saya melihat Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah ada upaya memberlakukan kembali Ujian Nasional. Tentu dalam perspektif saya bahwa kembalinya Ujian Nasional ini bisa menjadi isu yang kompleks, dan saya yakini akan melahirkan pro dan kontra," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Ia mengatakan beberapa aspek bisa dianalisis dari rencana penerapan kembali UN, antara lain dampak dari kualitas pendidikan, kesiapan sekolah, dan kesiapan siswa.

Selain itu, kata dia, harus dilihat pula bagaimana relevansi UN sebagai alat evaluasi pendidikan di era modern.

"Jadi yang pasti ada yang pro dan ada yang kontra meskipun mungkin beberapa guru setuju, beberapa guru tidak setuju. Bahkan menurut saya, yang paling banyak tidak setuju itu pasti siswa," kata Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) itu.

Kendati demikian, dia mengakui Ujian Nasional merupakan salah satu alat ukur standar pendidikan, sehingga rencana pemberlakuan kembali UN diprediksi didasari oleh kebutuhan untuk memastikan standar nasional pendidikan.

Ia mengatakan hal itu disebabkan dengan adanya UN, pemerintah seperti punya instrumen untuk mengevaluasi dan membandingkan capaian siswa di berbagai wilayah Indonesia.

"Ini tentu saja bisa membantu pemerintah untuk mengidentifikasi kesenjangan kualitas pendidikan kita yang memang belum merata. Namun, pertanyaannya apakah UN ini alat ukur terbaik untuk tujuan, nah ini yang masih dipertanyakan terutama dengan adanya metode penilaian alternatif seperti Asesmen Nasional," katanya.

Dalam hal ini, kata dia, Asesmen Nasional dilakukan untuk mengukur tiga hal yang meliputi asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Akan tetapi, kata dia, Asesmen Nasional tersebut tidak dijadikan satu-satunya alat untuk melegitimasi siswa itu lulus atau tidak lulus.

"Kritik saya terhadap UN itu karena fokusnya lebih kepada hasil. Nah, ini tentu saja bisa mengurangi kualitas pembelajaran," katanya.

Dengan demikian, kata dia, guru dan siswa atau peserta didik kemungkinan lebih cenderung mengutamakan persiapan UN daripada pemahaman mendalam terhadap materi tertentu.

Oleh karena itu, muncul istilah kegiatan belajar mengajar hanya untuk kepentingan tes atau pembelajaran yang difokuskan pada soal-soal ujian.

Menurut dia, hal itu mengakibatkan proses pembelajaran menjadi terbatas pada materi yang akan diuji, sehingga mengurangi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas siswa serta mengurangi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

"Kemudian kesiapan infrastruktur dan guru harus diperhatikan karena kita tidak bisa pukul rata, sementara di berbagai wilayah infrastukturnya tidak merata seperti ketersediaan sumber daya manusia dan teknologi," katanya,

Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan ketidaksetaraan peluang siswa untuk sukses di UN, sehingga pada akhirnya akan memperbesar kesenjangan pendidikan antarwilayah.

Dengan demikian jika UN akan dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan, kata dia, tentu harus disiapkan lebih dulu infrastuktur dan gurunya agar merata.

"Juga harus diperhatikan dampak psikologis pada siswa karena UN dapat meningkatkan stres pada siswa terutama jika UN menjadi satu-satunya alat penentu kelulusan," katanya menjelaskan.

Ia mengatakan evaluasi pendidikan di banyak negara tidak hanya bertumpu pada satu tes atau ujian akhir yang seragam.

Bahkan saat sekarang, kata dia, sistem pendidikan di beberapa negara maju sudah mulai bergeser ke arah asesmen yang berbasis pada kompetensi, yang lebih menilai kemampuan praktis siswa dalam menghadapi kehidupan nyata.

"Mungkin kita bisa mengadopsi seperti itu meskipun memang UN bukan sesuatu yang keliru, karena merupakan alat ukur yang paling gampang untuk menentukan kelulusan," katanya.

Terkait dengan hal itu, Elly mengatakan pemberlakuan kembali UN memerlukan pertimbangan yang matang dalam relevansinya untuk memenuhi tujuan pendidikan nasional, terutama di tengah perubahan dan inovasi dalam sistem pendidikan modern.

"Jika memang perlu diterapkan kembali, pemerintah perlu memastikan bahwa UN tidak menjadi satu-satunya penilaian, apalagi untuk menentukan kelulusan," katanya menegaskan.*



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat pendidikan: Perlu kajian matang jika UN kembali diterapkan

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Abdul Azis Senong
Copyright © ANTARA 2024