Jakarta (ANTARA) - Hakim Agung Ainal Mardhiah menyampaikan bahwa Mahkamah Agung (MA) sudah melakukan upaya perlindungan kepada perempuan korban, memberikan akses keadilan kepada korban, baik laki-laki maupun perempuan lewat diterbitkannya sejumlah Peraturan MA.
"Mahkamah Agung sudah menerbitkan regulasi yang mengisi kekosongan hukum, di antaranya mengakomodasi kebutuhan perempuan sebagai korban, yang memberikan keterangan di persidangan, dan mengalami trauma terhadap pelaku, MA memberikan izin untuk persidangan secara elektronik. Korban yang sudah menderita tidak perlu lagi datang untuk mengulang-ulang (kesaksian) di depan persidangan, bisa melalui elektronik di ruang lain atau tempat yang ditentukan atas putusan penetapan dari majelis yang bersangkutan," kata Ainal Mardhiah dalam acara bertajuk "Memahami Brutalitas Femisida dan Perlakuan terhadap Jenazah" di Jakarta, Kamis.
MA juga menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum, baik perempuan berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai saksi, maupun perempuan sebagai pihak.
Ainal Mardhiah mencatat bahwa selama 2024 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum telah melakukan sosialisasi kepada seluruh hakim untuk menerapkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 dalam menghadapi perkara-perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
MA juga menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana.
"Pada 2022 diterbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang aturan restitusi dan kompensasi kepada korban," katanya.
Ainal Mardhiah menuturkan bahwa sebagai hakim, dalam sepekan pihaknya menangani lima hingga 10 perkara yang berkaitan dengan perempuan.
"Kami sebagai hakim, satu minggu saya bisa menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan perempuan sebagai korban itu lima sampai 10 perkara, tetapi bukan atas nama tindak pidana femisida," katanya.
Namun demikian, femisida belum diatur sebagai tindak pidana.
"Yang ada sekarang perkara tindak pidana pembunuhan, tindak pidana kekerasan, penganiayaan yang menyebabkan matinya orang," katanya.
Tetapi, menurut dia, perkara-perkara dengan korban perempuan yang masuk ke majelis hakim sesungguhnya adalah femisida.
"Harapannya ke depan nanti bisa memilah perkara-perkara yang korbannya perempuan," kata Ainal Mardhiah.
"Mahkamah Agung sudah menerbitkan regulasi yang mengisi kekosongan hukum, di antaranya mengakomodasi kebutuhan perempuan sebagai korban, yang memberikan keterangan di persidangan, dan mengalami trauma terhadap pelaku, MA memberikan izin untuk persidangan secara elektronik. Korban yang sudah menderita tidak perlu lagi datang untuk mengulang-ulang (kesaksian) di depan persidangan, bisa melalui elektronik di ruang lain atau tempat yang ditentukan atas putusan penetapan dari majelis yang bersangkutan," kata Ainal Mardhiah dalam acara bertajuk "Memahami Brutalitas Femisida dan Perlakuan terhadap Jenazah" di Jakarta, Kamis.
MA juga menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum, baik perempuan berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai saksi, maupun perempuan sebagai pihak.
Ainal Mardhiah mencatat bahwa selama 2024 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum telah melakukan sosialisasi kepada seluruh hakim untuk menerapkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 dalam menghadapi perkara-perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
MA juga menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana.
"Pada 2022 diterbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang aturan restitusi dan kompensasi kepada korban," katanya.
Ainal Mardhiah menuturkan bahwa sebagai hakim, dalam sepekan pihaknya menangani lima hingga 10 perkara yang berkaitan dengan perempuan.
"Kami sebagai hakim, satu minggu saya bisa menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan perempuan sebagai korban itu lima sampai 10 perkara, tetapi bukan atas nama tindak pidana femisida," katanya.
Namun demikian, femisida belum diatur sebagai tindak pidana.
"Yang ada sekarang perkara tindak pidana pembunuhan, tindak pidana kekerasan, penganiayaan yang menyebabkan matinya orang," katanya.
Tetapi, menurut dia, perkara-perkara dengan korban perempuan yang masuk ke majelis hakim sesungguhnya adalah femisida.
"Harapannya ke depan nanti bisa memilah perkara-perkara yang korbannya perempuan," kata Ainal Mardhiah.