Kendari (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), mengajak seluruh masyarakat yang ada di wilayah Bumi Anoa untuk bersama-sama melawan intoleransi, radikalisme, terorisme, melakukan stop hoax, dan stop isu sara pada penanganan kasus konflik pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.

Pasalnya, provinsi yang dijuluki Bumi Anoa ini memiliki masyarakat yang multi kultur dengan berbagai ragam suku, budaya, bahasa agama, profesi, serta memiliki sumber daya manusia yang baik dan sember daya alam yang banyak.

Sekda Sultra, Asrun Lio, di Kendari, Rabu, mengatakan bahwa penanganan kasus konflik di daerah merupakan kegiatan yang wajib di laksanakan oleh gubernur, bupati, dan walikota karena merupakan amanah dan perintah undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2012.

"Yaitu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2015 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2015 tentang pelaksanaan koordinasi penanganan konflik Nasional," katanya.

Menurutnya, UU dan peraturan tersebut lahir sebagai upaya penciptaan situasi aman, tentram, damai dan sejahtera. Sekaligus menjadi jawaban komprehensif atas kebutuhan hukum dalam penanganan konflik sosial, dalam rangka menjamin terciptanya kondisi sosial, hukum, dan keamanan dalam negeri yang kondusif guna untuk mendukung kelancaran pembangunan nasional dan daerah.

“Adapun yang menjadi atensi kita akhir-akhir ini potensi konflik dalam konteks pilkada. Tentunya pemerintah daerah dalam hal ini tim terpadu penanganan konflik sosial memiliki peran strategis dan diminta aktif dalam setiap tahapan pilkada yang berlangsung berhadapan dengan masyarakat,” kata Asrun .

Dia melanjutkan, tim terpadu juga perlu mengoptimalkan peran sinergi dan koordinasi untuk mencegah potensi konflik sosial, terlebih gesekan antar pendukung calon yang jika tidak ditangani sejak dini, maka berpotensi dapat berdampak luas.

Dalam Pilkada serentak ini, ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan keterbelahan atau polarisasi politik, antara lain sikap tidak menghargai pilihan atau intoleransi, berita hoaks atau bohong. Politik pecah ada juga fanatisme politik, buzzer di media sosial, isu sara serta meningkatnya angka peristiwa konflik di daerah. Hal ini perlu di antisipasi dengan ketat.

Menurut dia, potensi kerawanan pilkada serentak dapat mengarah pada konflik sosial dan itu perlu ditangani, agar pilkada serentak 2024 dapat berlangsung sesuai asas langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, juga terbangun suasana keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.

"Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Tahun 2023, terdapat 281 peristiwa konflik sosial, sementara di tahun 2024 periode Januari hingga Maret terdapat 83 peristiwa konflik serupa," katanya.

Ia menambahkan, hal tersebut menunjukkan bahwa konflik sosial masih menjadi masalah yang signifikan dan memerlukan perhatian serius. Adapun isu tentang politik, sosial, dan budaya menjadi konflik paling dominan.

Menurutnya, hal ini penting bahawa konflik sosial menjadi isu yang sangat urgensi untuk itu mari bersama-sama kita lakukan penanganan secara komprehensif, terkoordinasi, dan tepat sasaran. Dengan langkah langkah pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik melalui rencana aksi terpadu penanganan konflik sosial.

"Kemudian, kami juga mengajak semua pihak agar melawan intoleransi, radikalisme, terorisme, stop hoax stop isu sara, dan ajakan tersebut agar diteruskan kepada forum-forum mitra pemerintah, kemudian diteruskan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, kelompok masyarakat lainnya demi terciptanya situasi aman dan kondusif dalam wilayah negara kesatuan publik Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara," tutupnya.

Pewarta : Azis Senong/Andika
Editor : Zabur Karuru
Copyright © ANTARA 2024