Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Silmy Karim mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keimigrasian bertujuan untuk memperkuat regulasi keimigrasian yang ada agar lebih responsif terhadap dinamika global dan kebutuhan nasional.
Ia menuturkan imigrasi merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara, sekaligus mendukung pembangunan nasional.
"Kami menyadari bahwa regulasi keimigrasian yang saat ini perlu dilakukan penyesuaian untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dinamika yang terjadi," kata Silmy dalam acara Dengar Pendapat Publik tentang RUU Keimigrasian yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin.
Dia mengungkapkan terdapat enam perubahan dalam RUU yang merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tersebut, yakni perubahan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b tentang perizinan keluar Indonesia bagi orang dalam penyelidikan dan penyidikan.
Dalam pasal tersebut, kata dia, yang diperdebatkan, yakni belum adanya kepastian penyidikan serta pencarian dan pengumpulan bukti dalam tahap penyelidikan karena masih dalam tahap mengumpulkan informasi, sehingga petugas imigrasi dinilai tidak berwenang menolak orang tersebut untuk keluar Indonesia.
Sementara dalam tahap penyidikan, lanjut dia, barulah wajar apabila petugas imigrasi wajar menolak orang bepergian ke luar negeri karena ada kemungkinan orang yang disidik membawa bukti yang berkaitan dengan tindak pidana ke luar negeri.
Kemudian pada ketentuan Pasal 64 ayat (3), dilakukan perubahan pengaturan menjadi pemegang izin tinggal tetap (ITAP) diberikan izin masuk kembali dengan masa berlaku yang sama dengan masa berlaku izin tinggal tetap sebagai konsekuensi agar tidak terjadi kesulitan bagi pemilik kartu ITAP.
Selanjutnya pada ketentuan Pasal 97 ayat (1), Silmy mengungkapkan terdapat penghapusan kata 'setiap kali' dalam aturan perpanjangan pencegahan orang dengan tindak pidana ke luar negeri, yang dapat mengakibatkan perpanjangan tanpa batas waktu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Untuk Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (1) ini sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi," ucap dia.
Dia menambahkan, dalam perubahan ketentuan Pasal 102 ayat (1), terdapat usulan agar ketentuan jangka waktu penangkalan orang asing yang masuk ke Indonesia menjadi paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 10 tahun dari sebelumnya selama enam bulan.
Lalu pada ketentuan Pasal 103, terdapat usulan perubahan atas ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan, pencegahan, dan penangkalan agar diatur dengan peraturan menteri supaya terkait dengan pasal lainnya. Dalam aturan sebelumnya, ketentuan tersebut diatur oleh peraturan pemerintah.
Terakhir dalam Pasal 137, ia menyampaikan terdapat saran perubahan ketentuan sumber dana penyelenggaraan UU Keimigrasian agar tidak hanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seiring dinamika global yang ada salah satunya seperti pandemi COVID-19 yang menyebabkan anggaran negara menurun.
Dalam proses pembentukan RUU Keimigrasian menjadi undang-undang, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham menyelenggarakan forum dengar pendapat publik secara hybrid sebagai langkah penting pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian yang akuntabel.
Melalui kegiatan itu, Silmy menyebutkan pihaknya berkesempatan untuk mendengarkan berbagai pandangan, kritik, dan saran dari masyarakat luas, akademisi, maupun instansi lain guna menyempurnakan RUU yang sedang disusun.
Menurutnya, perubahan undang-undang merupakan kesempatan yang jarang dilakukan sehingga menjadi kesempatan yang sangat baik untuk menyempurnakan peraturan, khususnya dalam rangka memperbaiki pelayanan keimigrasian serta memperkuat tugas dan fungsi dalam konteks keamanan negara dan kedaulatan Republik Indonesia.
"Masukan, kritik, dan saran yang konstruktif akan sangat dapat membantu dalam menyempurnakan RUU ini sehingga dapat memenuhi harapan dan kebutuhan semua pihak," tutur Silmy.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dirjen Imigrasi: RUU Keimigrasian perkuat respon pada dinamika global
Ia menuturkan imigrasi merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara, sekaligus mendukung pembangunan nasional.
"Kami menyadari bahwa regulasi keimigrasian yang saat ini perlu dilakukan penyesuaian untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dinamika yang terjadi," kata Silmy dalam acara Dengar Pendapat Publik tentang RUU Keimigrasian yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin.
Dia mengungkapkan terdapat enam perubahan dalam RUU yang merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tersebut, yakni perubahan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b tentang perizinan keluar Indonesia bagi orang dalam penyelidikan dan penyidikan.
Dalam pasal tersebut, kata dia, yang diperdebatkan, yakni belum adanya kepastian penyidikan serta pencarian dan pengumpulan bukti dalam tahap penyelidikan karena masih dalam tahap mengumpulkan informasi, sehingga petugas imigrasi dinilai tidak berwenang menolak orang tersebut untuk keluar Indonesia.
Sementara dalam tahap penyidikan, lanjut dia, barulah wajar apabila petugas imigrasi wajar menolak orang bepergian ke luar negeri karena ada kemungkinan orang yang disidik membawa bukti yang berkaitan dengan tindak pidana ke luar negeri.
Kemudian pada ketentuan Pasal 64 ayat (3), dilakukan perubahan pengaturan menjadi pemegang izin tinggal tetap (ITAP) diberikan izin masuk kembali dengan masa berlaku yang sama dengan masa berlaku izin tinggal tetap sebagai konsekuensi agar tidak terjadi kesulitan bagi pemilik kartu ITAP.
Selanjutnya pada ketentuan Pasal 97 ayat (1), Silmy mengungkapkan terdapat penghapusan kata 'setiap kali' dalam aturan perpanjangan pencegahan orang dengan tindak pidana ke luar negeri, yang dapat mengakibatkan perpanjangan tanpa batas waktu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Untuk Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (1) ini sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi," ucap dia.
Dia menambahkan, dalam perubahan ketentuan Pasal 102 ayat (1), terdapat usulan agar ketentuan jangka waktu penangkalan orang asing yang masuk ke Indonesia menjadi paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 10 tahun dari sebelumnya selama enam bulan.
Lalu pada ketentuan Pasal 103, terdapat usulan perubahan atas ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan, pencegahan, dan penangkalan agar diatur dengan peraturan menteri supaya terkait dengan pasal lainnya. Dalam aturan sebelumnya, ketentuan tersebut diatur oleh peraturan pemerintah.
Terakhir dalam Pasal 137, ia menyampaikan terdapat saran perubahan ketentuan sumber dana penyelenggaraan UU Keimigrasian agar tidak hanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seiring dinamika global yang ada salah satunya seperti pandemi COVID-19 yang menyebabkan anggaran negara menurun.
Dalam proses pembentukan RUU Keimigrasian menjadi undang-undang, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham menyelenggarakan forum dengar pendapat publik secara hybrid sebagai langkah penting pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian yang akuntabel.
Melalui kegiatan itu, Silmy menyebutkan pihaknya berkesempatan untuk mendengarkan berbagai pandangan, kritik, dan saran dari masyarakat luas, akademisi, maupun instansi lain guna menyempurnakan RUU yang sedang disusun.
Menurutnya, perubahan undang-undang merupakan kesempatan yang jarang dilakukan sehingga menjadi kesempatan yang sangat baik untuk menyempurnakan peraturan, khususnya dalam rangka memperbaiki pelayanan keimigrasian serta memperkuat tugas dan fungsi dalam konteks keamanan negara dan kedaulatan Republik Indonesia.
"Masukan, kritik, dan saran yang konstruktif akan sangat dapat membantu dalam menyempurnakan RUU ini sehingga dapat memenuhi harapan dan kebutuhan semua pihak," tutur Silmy.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dirjen Imigrasi: RUU Keimigrasian perkuat respon pada dinamika global