Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ferdiansyah menekankan pentingnya perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya agar lebih relevan dengan kondisi dan perkembangan saat ini.
"UU Cagar Budaya ini disahkan tahun 2010 dan sebenarnya ini sudah hampir memasuki tahun ke-14. Dalam perjalanannya beberapa perintah UU tersebut kurang optimal dijalankan. Pertama, adanya kewajiban seseorang yang memiliki cagar budaya benda untuk memelihara," ujarnya di Jakarta, Rabu.
Ferdiansyah menjelaskan tidak semua warga Indonesia yang memiliki cagar budaya mampu untuk memelihara, sehingga negara mesti hadir untuk memberikan subsidi atau perhatian lain, bisa berupa subsidi pajak atau dibebaskan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Kedua, lanjut dia, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, dimana penentuan cagar budaya tidak mesti dikaitkan dengan tahun 2010 karena sudah tidak relevan.
Baca juga: Ketua DPR minta pengelolaan museum ikuti perkembangan zaman
"Perkembangan teknologi sudah sangat maju, contohnya kecerdasan artifisial, kan bisa dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi atau restorasi terhadap cagar budaya," katanya.
Ketiga, yakni kepastian tentang penetapan cagar budaya, baik itu di level kabupaten/kota atau provinsi, agar bisa segera ditetapkan di tingkat nasional, bahkan diusulkan menjadi cagar budaya dunia yang ditetapkan UNESCO.
"Kalau dua tahun tidak ditetapkan ya diganti. Jangan sampai tujuh tahun atau berlarut-larut (tidak ditetapkan), karena itu digunakan oleh kepastian pemerintah daerah (pemda) demi memastikan penganggaran juga," tuturnya.
Keempat yakni penguatan sumber daya manusia baik dari segi jumlah atau kapasitasnya.
Baca juga: Kemendikbud gelar Festival Budaya untuk promosi warisan budaya
"Jangan sampai ada temuan cagar budaya yang banyak, tetapi kita tidak merespons dengan cepat. Ini berkaitan juga dengan pemanfaatan teknologi seperti yang sudah saya sebutkan. Jadi keempat hal itulah yang mempengaruhi, UU Cagar Budaya mesti ditinjau kembali dan direvisi," paparnya.
Apabila cagar budaya sudah ditetapkan dengan cepat, lanjutnya, maka bisa dimanfaatkan untuk yang lain, misalnya pemanfaatan objek pariwisata yang berkaitan untuk dijual atau dijadikan daya tarik wisata.
"Kalau ada kaitannya dengan pariwisata dan ada di wilayah Indonesia, misalnya benda-benda yang ada di bawah laut dan tidak dimasukkan kategori cagar budaya, kan bisa dimanfaatkan negara untuk dijual kepada kolektor atau dipajang. Itu kan bisa menjadi penerimaan negara bukan pajak," kata Ferdiansyah.
Diskusi tentang perubahan UU nomor 11 tahun 2010 diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Komisi X DPR RI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Baca juga: DPD RI memantau pelaksanaan UU Cagar Budaya di DIY
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komisi X DPR RI tekankan pentingnya perubahan UU Cagar Budaya
"UU Cagar Budaya ini disahkan tahun 2010 dan sebenarnya ini sudah hampir memasuki tahun ke-14. Dalam perjalanannya beberapa perintah UU tersebut kurang optimal dijalankan. Pertama, adanya kewajiban seseorang yang memiliki cagar budaya benda untuk memelihara," ujarnya di Jakarta, Rabu.
Ferdiansyah menjelaskan tidak semua warga Indonesia yang memiliki cagar budaya mampu untuk memelihara, sehingga negara mesti hadir untuk memberikan subsidi atau perhatian lain, bisa berupa subsidi pajak atau dibebaskan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Kedua, lanjut dia, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, dimana penentuan cagar budaya tidak mesti dikaitkan dengan tahun 2010 karena sudah tidak relevan.
Baca juga: Ketua DPR minta pengelolaan museum ikuti perkembangan zaman
"Perkembangan teknologi sudah sangat maju, contohnya kecerdasan artifisial, kan bisa dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi atau restorasi terhadap cagar budaya," katanya.
Ketiga, yakni kepastian tentang penetapan cagar budaya, baik itu di level kabupaten/kota atau provinsi, agar bisa segera ditetapkan di tingkat nasional, bahkan diusulkan menjadi cagar budaya dunia yang ditetapkan UNESCO.
"Kalau dua tahun tidak ditetapkan ya diganti. Jangan sampai tujuh tahun atau berlarut-larut (tidak ditetapkan), karena itu digunakan oleh kepastian pemerintah daerah (pemda) demi memastikan penganggaran juga," tuturnya.
Keempat yakni penguatan sumber daya manusia baik dari segi jumlah atau kapasitasnya.
Baca juga: Kemendikbud gelar Festival Budaya untuk promosi warisan budaya
"Jangan sampai ada temuan cagar budaya yang banyak, tetapi kita tidak merespons dengan cepat. Ini berkaitan juga dengan pemanfaatan teknologi seperti yang sudah saya sebutkan. Jadi keempat hal itulah yang mempengaruhi, UU Cagar Budaya mesti ditinjau kembali dan direvisi," paparnya.
Apabila cagar budaya sudah ditetapkan dengan cepat, lanjutnya, maka bisa dimanfaatkan untuk yang lain, misalnya pemanfaatan objek pariwisata yang berkaitan untuk dijual atau dijadikan daya tarik wisata.
"Kalau ada kaitannya dengan pariwisata dan ada di wilayah Indonesia, misalnya benda-benda yang ada di bawah laut dan tidak dimasukkan kategori cagar budaya, kan bisa dimanfaatkan negara untuk dijual kepada kolektor atau dipajang. Itu kan bisa menjadi penerimaan negara bukan pajak," kata Ferdiansyah.
Diskusi tentang perubahan UU nomor 11 tahun 2010 diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Komisi X DPR RI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Baca juga: DPD RI memantau pelaksanaan UU Cagar Budaya di DIY
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komisi X DPR RI tekankan pentingnya perubahan UU Cagar Budaya