Kendari (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengimbau para politisi dan partai politik (parpol) peserta pemilu 2024, agar tidak memanfaatkan momentum bulan Suci Ramadhan untuk berkampanye ataupun sosialisasi di masjid-masjid.
Ketua Bawaslu Sultra Hamiruddin Udu di Kendari, Sabtu mengatakan selain bertentangan dengan ketentuan dan undang-undang tentang pemilu, juga larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas rumah ibadah.
"Saat ini belum masa kampanye, tapi demi netralnya tempat ibadah, maka kami mengimbau seluruh peserta pemilu atau politisi agar tidak memanfaatkan ruang itu," kata Hamiruddin.
Dia menyampaikan larang berkampanye di masjid tersebut tertuang dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas rumah ibadah masjid dari unsur politik
Selain itu, ia juga meminta para calon kandidat anggota dewan dan calon kepala daerah agar tidak mencampuradukkan bantuan sosial atau kebaikan selama bulan Ramadhan dengan politik sebagai upaya kampanye terselubung.
"Karena tempat ibadah merupakan tempat pendidikan agama, ini sesuatu hal yang harus dipisahkan dengan ruang lain yang bisa dimanfaatkan oleh para politisi," ujarnya.
Bawaslu Sultra juga menilai kampanye di masjid dapat menimbulkan perpecahan antarsesama jamaah, sebab belum tentu semua jamaah memiliki aspirasi politik yang sama.
Oleh karena itu, dia berharap seluruh politisi ataupun partai politik (parpol) agar bisa menaati ketentuan untuk tidak memanfaatkan momentum bulan Suci Ramadhan, utamanya berkampanye di masjid-masjid.
Selain itu, Hamirudin juga mengajak seluruh masyarakat agar mencegah adanya politik uang, sehingga tercipta pemilu yang demokratis, jujur, adil, bersih dan sehat. Apalagi politik uang dari aspek hukum menerima atau memberi pada pelaksanaan pemilu atau pilkada bisa mendapat sanksi pidana.
Dia menyebut sanksi pidana bagi pemberi dan penerima politik uang saat pelaksanaan pesta demokrasi pemilu maupun pilkada bisa terancam pidana kurungan penjara minimal tiga tahun dan maksimal enam tahun.
Selain bisa mendapatkan ancaman pidana, kata dia, tindakan politik uang juga akan merugikan bagi masyarakat itu sendiri karena terpilihnya seseorang menjadi pemimpin dari tindakan curang, maka pemimpin tersebut tidak dapat melaksanakan pembangunan daerah dengan baik.
Ketua Bawaslu Sultra Hamiruddin Udu di Kendari, Sabtu mengatakan selain bertentangan dengan ketentuan dan undang-undang tentang pemilu, juga larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas rumah ibadah.
"Saat ini belum masa kampanye, tapi demi netralnya tempat ibadah, maka kami mengimbau seluruh peserta pemilu atau politisi agar tidak memanfaatkan ruang itu," kata Hamiruddin.
Dia menyampaikan larang berkampanye di masjid tersebut tertuang dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas rumah ibadah masjid dari unsur politik
Selain itu, ia juga meminta para calon kandidat anggota dewan dan calon kepala daerah agar tidak mencampuradukkan bantuan sosial atau kebaikan selama bulan Ramadhan dengan politik sebagai upaya kampanye terselubung.
"Karena tempat ibadah merupakan tempat pendidikan agama, ini sesuatu hal yang harus dipisahkan dengan ruang lain yang bisa dimanfaatkan oleh para politisi," ujarnya.
Bawaslu Sultra juga menilai kampanye di masjid dapat menimbulkan perpecahan antarsesama jamaah, sebab belum tentu semua jamaah memiliki aspirasi politik yang sama.
Oleh karena itu, dia berharap seluruh politisi ataupun partai politik (parpol) agar bisa menaati ketentuan untuk tidak memanfaatkan momentum bulan Suci Ramadhan, utamanya berkampanye di masjid-masjid.
Selain itu, Hamirudin juga mengajak seluruh masyarakat agar mencegah adanya politik uang, sehingga tercipta pemilu yang demokratis, jujur, adil, bersih dan sehat. Apalagi politik uang dari aspek hukum menerima atau memberi pada pelaksanaan pemilu atau pilkada bisa mendapat sanksi pidana.
Dia menyebut sanksi pidana bagi pemberi dan penerima politik uang saat pelaksanaan pesta demokrasi pemilu maupun pilkada bisa terancam pidana kurungan penjara minimal tiga tahun dan maksimal enam tahun.
Selain bisa mendapatkan ancaman pidana, kata dia, tindakan politik uang juga akan merugikan bagi masyarakat itu sendiri karena terpilihnya seseorang menjadi pemimpin dari tindakan curang, maka pemimpin tersebut tidak dapat melaksanakan pembangunan daerah dengan baik.