Kendari (ANTARA) -
Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara, H Ali Mazi SH didampingi Kadikbud Sultra, Drs Asrun Lio MHum PhD memberikan kuliah umum di depan Civitas Akademika Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, (5/2).

Dalam kesempatan tersebut, orang nomor satu di Provinsi Sultra itu menyampaikan sejumlah point penting, diantaranya tentang generasi yang boleh berganti namun tidak menghilangkan nilai-nilai yang ada, meskipun terjadi transformasi di dalamnya.

Layaknya proses pembangunan yang dilakukan bersama Wakilnya, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya.
"Pembangunan yang berkarakter budaya tidak luput dari perhatian pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Saya bersama Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Bapak Dr H Lukman Abunawas SH M Si MH melihat tantangan yang dihadapi, serta isu-isu yang berkembang selama ini, baik isu lokal, nasional maupun global maka perlu diwujudkan suatu kondisi masyarakat yang maju, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya," tuturnya.

Gubernur Sultra menerangkan, Pemprov saat ini menggaungkan strategi pendekatan Gerakan Akselerasi Pembangunan Daratan dan Lautan/Kepulauan, dengan akronim Garbarata. Pemerintah provinsi mengangkat kata “Garbarata”, karena fakta menunjukan bahwa Sulawesi Tenggara terdiri dari daratan dan kepulauan yang harus dibangun secara merata, tidak boleh ada dikotomi keduanya.

"Pembangunan adalah proses sadar yang berlangsung secara terus-menerus yang hanya mengenal awal, tapi tidak mengenal akhir. Sebagai sebuah proses yang berkelanjutan maka pembangunan melibatkan antar generasi atau generation overlaping. Proses tersebut ibarat tongkat estafet yang dilanjutkan oleh antar generasi secara berkelanjutan," ucapnya.

Selama sejarah bangsa Indonesia modern, lanjutnya, dikenal istilah generasi 45, generasi 66, dan generasi reformasi. Secara global, dikenal juga generasi X atau generasi millenium dan kini bersiap-siap memasuki generasi Z. Semua proses tersebut tidak berlangsung secara terpisah melainkan saling terhubung.

"Generasi boleh hilang dan berganti, tapi nilai-nilai tidak hilang, melainkan selalu bertransformasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi," tutur Ali, demikian sapaan akrabnya.

Gubernur Sultra mengatakan, setiap pelaksanaan pembangunan selalu menghasilkan perubahan, berupa budaya atau culture. Namun demikian tidak semua perubahan dapat menciptakan budaya yang tinggi yang disebut peradaban atau civilization.

  Gubernur Sultra H.Ali Mazi,SH didampingi Kadikbud Drs.Asrun Lio, M.Hum, PhD saat memberi kuliah umum dihadapan civitas Udayanu Ihksanuddin Baubau. (Foto Azis Senong) "Peradaban hanya bisa tercipta apabila seluruh paradigma  perubahan budaya mengalami kelindan. Paradigma tersebut harus terstruktur pada 3 ranah berikut : pranata atau individual, pratata atau institutional dan kertata atau physical. Ruang lingkup ranah individual adalah cara berpikir, sikap dan perilaku, sedangkan ruang lingkup ranah institutional berupa kelembagaan, nilai-nilai dan sistemnya, sedangkan ruang lingkup ranah physical adalah fisik budaya atau produk budaya yang dapat dilihat," paparnya.

Ketiga ranah ini, masih dia, saling mempengaruhi. Ranah individual berupa cara berpikir, bersikap dan berperilaku anggota-anggota masyarakat yang terpola pada pola-pola tertentu akan menghasilkan lembaga (institutional) dan kerja lembaga (institutional) dapat menghasilkan produk-produk fisik (physical).

"Pembangunan jalan, daerah irigasi atau pabrik gula (physical) akan mengubah cara berpikir, bersikap dan berperilaku masyarakat dan akan membuka peluang pembentukan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Hasil perubahan pada ranah physical seperti candi, benteng pertahanan, bangunan-bangunan megah dan produk-produk globalisasi merupakan karya yang melibatkan ranah individual (cara berpikir, bersikap, berperilaku) dan institutional (lembaga-lembaga masyarakat)," jelasnya. 


Ali Mazi menurutkan, sebuah peradaban merupakan hasil kerja semua pihak yang terlibat dalam sebuah sistem masyarakat. Namun kepemimpinan merupakan pihak yang paling menentukan, karena kekuasaannya dalam mengendalikan mobilisasi pemikiran dan sumberdaya yang ada.


"Seorang pemimpin dikategorikan sebagai legenda dalam sejarah suatu masyarakat apabila dia mampu menggerakan kelindan ketiga ranah budaya. Kelindan tersebut, yaitu : dia mampu mengubah cara berpikir, sikap dan perilaku masyarakat, dia mampu mengubah lembaga-lembaga masyarakat dengan menciptakan sistem baru dan dia mampu membangun bangunan-bangunan fisik. Seorang pemimpin hanya dikenang sebagai pemimpin biasa, karena dia hanya mampu mengubah sebagian dari ketiga ranah budaya.

Sultan Murhum atau  Lakilaponto atau Haluoleo dalam sejarah Sulawesi Tenggara termasuk  pemimpin  legendaris, karena  dia mampu melakukan perubahan  pada semua struktur paradigma perubahan,  baik  ranah  individual,  ranah  institutional  maupun  ranah  physical," paparnya lagi.

Sultan Murhum, katanya lagi, mampu merubah cara berpikir masyarakat Sulawesi Tenggara dari animisme ke monoteisme. Sultan Murhum mampu merubah lembaga kerajaan Buton menjadi lembaga kesultanan. Sultan Murhum mampu membangun Wolio sebagai pusat kesultanan.

"Saya lahir dan dibesarkan pada lingkungan yang menghargai kebudayaan, sehingga lingkungan tersebut menginspirasi saya untuk membangun Sulawesi Tenggara yang beradaban atau minimal Sultra berbudaya. Konsep ini telah saya konstruksikan sejak 2003-2008 yang lalu, yang tertuang dalam konsepsi pembangunan SULTRA RAYA 2020. Wujud Sultra Raya 2020 adalah peradaban, yakni nilai tertinggi dari semua budaya yang akan dibuat oleh masyarakat Sulawesi Tenggara," ungkapnya.

Dia menjelaskan, konstruksi Sultra Raya 2020 adalah struktur budaya yang terdiri : 3 (tiga) ranah berikut, yaitu : (1) perubahan individual, yaitu perubahan cara berpikir, bersikap  dan berperilaku, (2) perubahan institutional atau perubahan kelembagaan dan (3) perubahan physical atau perubahan bangunan-bangunan fisik yang dapat dilihat secara nyata.

"Sultra yang berperadaban akan membuat harkat dan martabat Sulawesi Tenggara akan terangkat secara regional dan global seperti pada jaman kejayaan kesultanan dahulu. Apabila budaya kita tinggi maka saya yakin kita semua tidak akan diremehkan oleh bangsa lain. Namun ambisi besar ini haruslah berpijak pada nilai-nilai sendiri. Ambisi besar tersebut tidak akan tercipta jika suatu bangsa selalu mengikuti nilai-nilai dari luar atau asing darinya," tuturnya.

Peran nilai-nilai budaya dalam proses pembangunan juga tidak sedikit. Banyak pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat dibentuk oleh nilai-nilai budaya. Pola pikir, pola sikap dan perilaku bangsa Jepang yang cepat bangkit dari keterpurukan akibat perang tidak bisa dipisahkan nilai-nilai budaya “Samurai”  dan mental bushido (jalan kesatria−kode etik yang menekankan kesatrian dan ketaatan para samurai tanpa syarat kepada Tuannya) yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi kerja keras dan profesionalisme.

"Daerah kita pun tidak sedikit punya nilai-nilai budaya yang sangat vital untuk membentuk karakter atau budaya masyarakat. Nenek moyang kita telah mewariskan beberapa nilai-nilai yang bisa kita pergunakan untuk pembangunan daerah dan bangsa. Beberapa nilai tersebut, yaitu: pobhinci-bhinci kuli yang ada pada masyarakat Buton. Nilai ini mengandung makna kita harus bersama-sama dalam menghadapi setiap tantangan dan meraih kesejahteraan, karena apa yang dirasakan sakit oleh orang lain maka sakitnya akan dirasakan oleh kita juga. Siapa yang butuh pertolongan maka yang lain wajib membantunya.  Kita pun telah diajarkan oleh Dayanu Ikhsanuddin Sultan Buton ke-4 untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Karo lebih tinggi dari harta. Lipu lebih tinggi dari Karo, Sara lebih tinggi dari Lipu dan Agama lebih tinggi dari Sara" paparnya.

Dia menambahkan, untuk menciptakan ketertiban maka nenek moyang orang tolaki mengajarkan kepada kita “inae konasara ie pinesara, inae lia sara ie pinekasara” barang siapa yang menghargai hukum terutama hukum adat dia akan dihargai, sebaliknya barang siapa yang melanggar hukum maka dia akan diberi sanksi.

Tentang etos kerja nenek moyang orang Muna mengajarkan nilai “feka-mara-marasai konae omarasai. koe omarasai omarasaigho” yang mengandung makna bekerjalah dengan serius agar tidak susah kelak. Jika engkau kerja secara tidak serius, maka kelak engkau akan susah.

"Nenek moyang dari Mekongga mengajarkan nilai “Sanga-sangae olutuumu Pikeki Ine samba” yang berarti kuatkan lututmu atau persiapkan hidupmu untuk menghadapi segala kemungkinan. Keempat nilai-nilai dasar ini sangatlah relevan untuk dijadikan pedoman kerja masyarakat untuk membangun daerah dan bangsa kita," ucapnya lagi.

Ali Mazi menuturkan, semua nilai-nilai yang sudah berkembang dalam masyarakat adalah modal untuk membangun daerah dan bangsa pada masa yang akan datang. Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mampu menciptakan budaya yang lahir dari nilai-nilai dasar. Pembangunan model seperti itu akan menciptakan estafet generasi akan lebih mulus dan lebih indah.

Pewarta : Abdul Azis Senong
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024