Jakarta (ANTARA) - Daerah Banyubiru, Ambarawa, dan Salatiga di wilayah Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah, menghadapi 32 kali gempa sangat dangkal dalam kurun 23 sampai 24 Oktober 2021 pukul 10.00 WIB menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Menurut Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Minggu, gempa-gempa tersebut pusatnya berada pada kedalaman kurang dari 30 kilometer.
"Gempa paling banyak terjadi berada pada kedalaman kurang dari 10 kilometer, di mana gempa terdangkal berada pada kedalaman tiga kilometer, yang terjadi sebanyak tiga kali," katanya.
Ia mengatakan bahwa gempa-gempa tersebut magnitudonya kecil, tidak ada yang melebihi 3,5.
"Gempa paling banyak terjadi memiliki magnitudo kurang dari 3,0 dengan magnitudo terkecil yang dapat dianalisis adalah gempa dengan magnitudo 2,1," katanya.
Ia menjelaskan, berdasarkan sebaran temporal magnitudo gempa maka fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai gempa swarm, rangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi sangat tinggi yang berlangsung dalam waktu relatif lama di suatu kawasan tanpa ada gempa kuat sebagai gempa utama.
Menurut dia, penyebab gempa swarm umumnya berkaitan dengan transpor fluida, intrusi magma, atau migrasi magma yang menyebabkan terjadinya deformasi batuan bawah permukaan di zona gunung api.
"Gempa swarm memang banyak terjadi karena proses-proses kegunungapian," katanya.
Daryono mengatakan, beberapa laporan menunjukkan bahwa aktivitas gempa swarm juga dapat terjadi di kawasan non-vulkanik (aktivitas tektonik murni) meski sangat jarang.
"Swarm dapat terjadi di zona sesar aktif atau kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh sehingga mudah terjadi retakan," katanya.
Fenomena swarm yang melanda daerah Banyubiru, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya, menurut dia, diduga berkaitan dengan fenomena tektonik karena zonanya berdekatan dengan jalur Sesar Merapi-Merbabu, Sesar Rawapening, dan Sesar Ungaran.
Indikasi swarm tektonik, menurut dia, tampak dari bentuk gelombang geser yang sangat jelas dan nyata menggambarkan adanya pergeseran dua blok batuan secara tiba-tiba.
"Tectonic swarm umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan sehingga mengalami deformasi a-seismik atau bagian/segmen sesar yang tidak terkunci bergerak perlahan seperti rayapan," Daryono menjelaskan.
Ia mengatakan bahwa gempa swarm beberapa kali terjadi di Indonesia, di antaranya di Klangon, Madiun, pada Juni 2015; di Jailolo, Halmahera Barat, pada Desember 2015; dan di Mamasa, Sulawesi Barat, pada November 2018.
Menurut dia, aktivitas swarm dapat berlangsung selama beberapa hari, minggu, bulan, hingga tahun. Ia mencontohkan, swarm di Mamasa terjadi sejak akhir tahun 2018 sampai sekarang.
Apabila kekuatannya signifikan, ia mengatakan, guncangan akibat gempa swarm sering dirasakan dan dapat meresahkan masyarakat.
Namun, Daryono mengemukakan bahwa berdasarkan kejadian di berbagai wilayah gempa swarm sebenarnya tidak membahayakan jika bangunan rumah di zona swarm strukturnya kuat.
"Jika struktur bangunan lemah maka dapat menyebabkan kerusakan bangunan rumah, seperti yang saat ini sudah terjadi pada beberapa rumah warga di Banyubiru dan Ambarawa," kata Daryono.
Dia mengimbau warga tidak panik tetapi tetap waspada saat gempa swarm terjadi.
"Fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat, karena aktivitas swarm memang jarang terjadi," katanya.
Menurut Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Minggu, gempa-gempa tersebut pusatnya berada pada kedalaman kurang dari 30 kilometer.
"Gempa paling banyak terjadi berada pada kedalaman kurang dari 10 kilometer, di mana gempa terdangkal berada pada kedalaman tiga kilometer, yang terjadi sebanyak tiga kali," katanya.
Ia mengatakan bahwa gempa-gempa tersebut magnitudonya kecil, tidak ada yang melebihi 3,5.
"Gempa paling banyak terjadi memiliki magnitudo kurang dari 3,0 dengan magnitudo terkecil yang dapat dianalisis adalah gempa dengan magnitudo 2,1," katanya.
Ia menjelaskan, berdasarkan sebaran temporal magnitudo gempa maka fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai gempa swarm, rangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi sangat tinggi yang berlangsung dalam waktu relatif lama di suatu kawasan tanpa ada gempa kuat sebagai gempa utama.
Menurut dia, penyebab gempa swarm umumnya berkaitan dengan transpor fluida, intrusi magma, atau migrasi magma yang menyebabkan terjadinya deformasi batuan bawah permukaan di zona gunung api.
"Gempa swarm memang banyak terjadi karena proses-proses kegunungapian," katanya.
Daryono mengatakan, beberapa laporan menunjukkan bahwa aktivitas gempa swarm juga dapat terjadi di kawasan non-vulkanik (aktivitas tektonik murni) meski sangat jarang.
"Swarm dapat terjadi di zona sesar aktif atau kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh sehingga mudah terjadi retakan," katanya.
Fenomena swarm yang melanda daerah Banyubiru, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya, menurut dia, diduga berkaitan dengan fenomena tektonik karena zonanya berdekatan dengan jalur Sesar Merapi-Merbabu, Sesar Rawapening, dan Sesar Ungaran.
Indikasi swarm tektonik, menurut dia, tampak dari bentuk gelombang geser yang sangat jelas dan nyata menggambarkan adanya pergeseran dua blok batuan secara tiba-tiba.
"Tectonic swarm umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan sehingga mengalami deformasi a-seismik atau bagian/segmen sesar yang tidak terkunci bergerak perlahan seperti rayapan," Daryono menjelaskan.
Ia mengatakan bahwa gempa swarm beberapa kali terjadi di Indonesia, di antaranya di Klangon, Madiun, pada Juni 2015; di Jailolo, Halmahera Barat, pada Desember 2015; dan di Mamasa, Sulawesi Barat, pada November 2018.
Menurut dia, aktivitas swarm dapat berlangsung selama beberapa hari, minggu, bulan, hingga tahun. Ia mencontohkan, swarm di Mamasa terjadi sejak akhir tahun 2018 sampai sekarang.
Apabila kekuatannya signifikan, ia mengatakan, guncangan akibat gempa swarm sering dirasakan dan dapat meresahkan masyarakat.
Namun, Daryono mengemukakan bahwa berdasarkan kejadian di berbagai wilayah gempa swarm sebenarnya tidak membahayakan jika bangunan rumah di zona swarm strukturnya kuat.
"Jika struktur bangunan lemah maka dapat menyebabkan kerusakan bangunan rumah, seperti yang saat ini sudah terjadi pada beberapa rumah warga di Banyubiru dan Ambarawa," kata Daryono.
Dia mengimbau warga tidak panik tetapi tetap waspada saat gempa swarm terjadi.
"Fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat, karena aktivitas swarm memang jarang terjadi," katanya.