Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ahmad Sahroni meminta empat orang ibu rumah tangga (IRT) yang ditahan bersama anaknya karena masih menyusui di Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, untuk segera dibebaskan.
"Dalam hukum itu ada namanya aspek-aspek humanis yang perlu dipertimbangkan, apalagi para IRT ini masih dibutuhkan oleh anak-anaknya. Sangat tidak masuk akal kalau mereka sampai harus menyusui di penjara. Karenanya, saya sudah menelepon pihak kejaksaan dan polisi untuk segera membebaskan mereka,” ujar Sahroni melalui keterangannya kepada wartawan, di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, keputusan untuk memenjarakan para IRT itu hanya karena tuduhan perusakan tidak bijaksana dan tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Sahroni menambahkan bahwa dalam melakukan penegakan hukum seharusnya para petugas juga melihat latar belakang kasus secara menyeluruh.
Dalam kasus tersebut, tambah politikus Partai NasDem itu, jelas-jelas para IRT itu melakukan pelemparan batu ke pabrik rokok karena dianggap pencemaran lingkungan yang membahayakan warga.
"Apalagi, sebenarnya ibu-ibu ini hanya memperjuangkan haknya untuk bisa menghirup udara bersih. Jadi, tidak bisa dibenarkan kalau tindakan ini harus berakhir di tahanan. Saya dari Komisi III menilai hal ini sudah tidak bisa dibiarkan dan para IRT itu harus dibebaskan," demikian Sahroni.
Sebagaimana diketahui, empat IRT di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, harus mendekam di balik jeruji Kejaksaan Negeri Praya, dan dua dari mereka harus membawa bayinya berada di balik jeruji karena mesti menyusui.
Keempat IRT itu sebelumnya melempar pabrik rokok yang di Dusun Eat Nyiur sebagai bentuk protes karena polusi yang ditimbulkan dan justru pabrik memilih mempekerjakan orang luar dibanding warga setempat.
Masing-masing IRT asal Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah itu adalah Nurul Hidayah (38 tahun), Martini (22 tahun), Fatimah (38 tahun), dan Hultiah (40 tahun).
Mereka merupakan warga Dusun Eat Nyiur yang diancam pasal 170 KUHP ayat (1) dengan ancaman pidana penjara 5-7 tahun atas tuduhan perusakan.
"Dalam hukum itu ada namanya aspek-aspek humanis yang perlu dipertimbangkan, apalagi para IRT ini masih dibutuhkan oleh anak-anaknya. Sangat tidak masuk akal kalau mereka sampai harus menyusui di penjara. Karenanya, saya sudah menelepon pihak kejaksaan dan polisi untuk segera membebaskan mereka,” ujar Sahroni melalui keterangannya kepada wartawan, di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, keputusan untuk memenjarakan para IRT itu hanya karena tuduhan perusakan tidak bijaksana dan tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Sahroni menambahkan bahwa dalam melakukan penegakan hukum seharusnya para petugas juga melihat latar belakang kasus secara menyeluruh.
Dalam kasus tersebut, tambah politikus Partai NasDem itu, jelas-jelas para IRT itu melakukan pelemparan batu ke pabrik rokok karena dianggap pencemaran lingkungan yang membahayakan warga.
"Apalagi, sebenarnya ibu-ibu ini hanya memperjuangkan haknya untuk bisa menghirup udara bersih. Jadi, tidak bisa dibenarkan kalau tindakan ini harus berakhir di tahanan. Saya dari Komisi III menilai hal ini sudah tidak bisa dibiarkan dan para IRT itu harus dibebaskan," demikian Sahroni.
Sebagaimana diketahui, empat IRT di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, harus mendekam di balik jeruji Kejaksaan Negeri Praya, dan dua dari mereka harus membawa bayinya berada di balik jeruji karena mesti menyusui.
Keempat IRT itu sebelumnya melempar pabrik rokok yang di Dusun Eat Nyiur sebagai bentuk protes karena polusi yang ditimbulkan dan justru pabrik memilih mempekerjakan orang luar dibanding warga setempat.
Masing-masing IRT asal Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah itu adalah Nurul Hidayah (38 tahun), Martini (22 tahun), Fatimah (38 tahun), dan Hultiah (40 tahun).
Mereka merupakan warga Dusun Eat Nyiur yang diancam pasal 170 KUHP ayat (1) dengan ancaman pidana penjara 5-7 tahun atas tuduhan perusakan.