Bangkok (ANTARA) - Gembong-gembong narkoba Asia kemungkinan memproduksi sendiri bahan-bahan mentah metamfetamin/meth, yang disebut prekursor, di Golden Triangle, sehingga mereka tidak perlu lagi mengimpor zat-zat prekursor seperti pseudoephedrine dan ephedrine dari luar.
Informasi itu diperoleh dari laporan laporan terbaru Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) yang diterima minggu ini.
Golden Triangle merupakan pusat produksi berbagai jenis narkoba di Asia Tenggara yang letaknya berada di wilayah pedalaman dan pegunungan di utara Myanmar, Thailand, dan Laos. Gembong-gembong narkoba bekerja sama dengan kelompok pemberontak, terutama dari Myanmar, telah cukup lama mengendalikan Golden Triangle/Segitiga Emas, salah satu perkebunan opium terbesar di Asia.
Laporan terbaru itu menunjukkan kemampuan sindikat narkoba yang mencapai level baru, mengingat propionil klorid merupakan bahan yang cukup mudah diperoleh dan tidak diawasi ketat oleh otoritas di banyak negara.
"Organisasi-organisasi kriminal menggunakan bahan mentah prekursor dan telah mengembangkan kapasitas yang menakjubkan untuk memproduksi prekursor mereka sendiri -- sesuatu yang baru dapat diketahui," kata Perwakilan UNODC Asia Tenggara, Jeremy Douglas.
Kemampuan memproduksi prekursor turut meningkatkan produksi metamfetamin, atau yang dikenal dengan meth, dalam 10 tahun terakhir.
Data UNODC menunjukkan kepolisian di negara-negara Asia pernah menyita 139 ton meth pada 2019, sementara pada 2018 ada 127 ton metamfetamin dan 82,5 ton pada 2017.
UNODC memperkirakan produksi metamfetamin tidak terpengaruh oleh wabah COVID-19.
Walaupun demikian, jumlah pseudoephedrine dan ephedrine yang disita oleh aparat, khususnya di Myanmar dan negara-negara sekitarnya, turun.
Data UNODC menunjukkan jumlah pseudoephedrine yang disita di Myanmar turun dari 1.192 ton pada 2016 jadi nihil pada 2019, sementara ephedrine yang disita juga turun dari 534 kilogram pada 2016 jadi 402 kilogram pada 2019.
Sementara itu, laporan intelijen menduga beberapa kelompok pemberontak di Myanmar mengimpor bahan-bahan kimia untuk membuat pseudoephedrine dan ephedrine. Namun, UNODC belum menemukan ada industri yang secara resmi membutuhkan dua bahan tersebut.
Temuan baru itu telah disampaikan oleh UNODC ke Pemerintah Thailand dan badan internasional lainnya, lewat pertemuan yang berlangsung minggu lalu.
Douglas mengatakan pemerintah dan badan penegak hukum di Asia harus memperkuat kerjasama untuk mengawasi aliran bahan-bahan kimia, termasuk zat-zat yang saat ini belum diawasi secara ketat.
Sumber: Reuters
Informasi itu diperoleh dari laporan laporan terbaru Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) yang diterima minggu ini.
Golden Triangle merupakan pusat produksi berbagai jenis narkoba di Asia Tenggara yang letaknya berada di wilayah pedalaman dan pegunungan di utara Myanmar, Thailand, dan Laos. Gembong-gembong narkoba bekerja sama dengan kelompok pemberontak, terutama dari Myanmar, telah cukup lama mengendalikan Golden Triangle/Segitiga Emas, salah satu perkebunan opium terbesar di Asia.
Laporan terbaru itu menunjukkan kemampuan sindikat narkoba yang mencapai level baru, mengingat propionil klorid merupakan bahan yang cukup mudah diperoleh dan tidak diawasi ketat oleh otoritas di banyak negara.
"Organisasi-organisasi kriminal menggunakan bahan mentah prekursor dan telah mengembangkan kapasitas yang menakjubkan untuk memproduksi prekursor mereka sendiri -- sesuatu yang baru dapat diketahui," kata Perwakilan UNODC Asia Tenggara, Jeremy Douglas.
Kemampuan memproduksi prekursor turut meningkatkan produksi metamfetamin, atau yang dikenal dengan meth, dalam 10 tahun terakhir.
Data UNODC menunjukkan kepolisian di negara-negara Asia pernah menyita 139 ton meth pada 2019, sementara pada 2018 ada 127 ton metamfetamin dan 82,5 ton pada 2017.
UNODC memperkirakan produksi metamfetamin tidak terpengaruh oleh wabah COVID-19.
Walaupun demikian, jumlah pseudoephedrine dan ephedrine yang disita oleh aparat, khususnya di Myanmar dan negara-negara sekitarnya, turun.
Data UNODC menunjukkan jumlah pseudoephedrine yang disita di Myanmar turun dari 1.192 ton pada 2016 jadi nihil pada 2019, sementara ephedrine yang disita juga turun dari 534 kilogram pada 2016 jadi 402 kilogram pada 2019.
Sementara itu, laporan intelijen menduga beberapa kelompok pemberontak di Myanmar mengimpor bahan-bahan kimia untuk membuat pseudoephedrine dan ephedrine. Namun, UNODC belum menemukan ada industri yang secara resmi membutuhkan dua bahan tersebut.
Temuan baru itu telah disampaikan oleh UNODC ke Pemerintah Thailand dan badan internasional lainnya, lewat pertemuan yang berlangsung minggu lalu.
Douglas mengatakan pemerintah dan badan penegak hukum di Asia harus memperkuat kerjasama untuk mengawasi aliran bahan-bahan kimia, termasuk zat-zat yang saat ini belum diawasi secara ketat.
Sumber: Reuters