Baubau (ANTARA) - Penetapan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo sebagai Pahlawan Nasional diharapkan bisa menjadi pintu masuk pembentukan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton), kata Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, AS Tamrin.
"Harapannya, kita bisa berbangga dan senang bahwa sudah ada pahlawan nasional yang dari Buton meskipun dalam labelnya di sana (di Pusat) adalah pahlawan dari Sultra. Kita (tetap) mensyukuri itu. Dan semoga ini menjadi pembuka pintu untuk menuju Provinsi Kepulauan Buton," ujar AS Tamrin, di Baubau, Jumat.
Diharapkan pula, penganugerahan penghargaan kepada ahli waris tidak dipolemikkan, tetapi menjadi suatu kesyukuran yang harus dikedepankan bagi semua.
"Intinya bagi kita, saya membuka jalan. Saya sudah bersyukur ada pahlawan nasional dari Sultra yang merupakan tokoh dari Buton. Harapan saya tentu semua ahli waris juga bersyukur dengan itu," ujarnya.
Secara singkat Tamrin juga menceritakan bahwa pengusulan Oputa Yi Koo atau La Karambau menjadi pahlawan nasional sudah terpikirkan sejak 17 tahun silam, yang waktu itu Yayasan Wolio Molagi dibentuk dengan salah satu topik mengemuka pengusulan Sultan Himayatuddin sebagai pahlawan nasional.
"Di situ (waktu itu) ada banyak tokoh diantaranya Pak Mane Oba, Pak Muzuni, Pak Zaidi, La Ode Abu Bakar, Pa Arumi, Pak Saraha, dan Pak Said yang merupakan dosen sejarah kala itu," urainya.
Kala itu, salah satu usulnya adalah Sultan Himayatuddin. Kajian akademiknya berpatokan pada buku Susanto Zuhdi yang juga menulis disertasinya "Labu Rope Labu Wana".
"Di era Wali Kota Baubau Pak Amirul diusulkan lagi oleh timnya dan saya tidak mengikuti lagi, karena saya sudah pindah waktu itu," kata Tamrin yang juga mantan pejabat BPN ini.
Baca juga: Sultan Himayatuddin Oputa Yii Ko dari Sultra diberi gelar Pahlawan Nasional
Setelah itu, dalam perjalanannya, pada periode pertama dirinya menjabat Wali Kota Baubau tidak menyangka pada suatu kegiatan di Baubau dihadiri Prof Susanto Zuhdi.
"Waktu acara itu saya teringat namanya beliau (Susanto Zuhdi) tapi saya tidak tau orangnya. Saat acara saya ajak beliau duduk dekat saya dan saya tanyakan soal itu (pengusulan pahlawan nasional) dan beliau juga merespon bahwa dulu pernah mengusulkan untuk gelar pahlawanan nasional, tapi mandek karena waktu itu diprioritaskan Bung Karno dan Bung Hatta," ujarnya.
Kemudian dalam diskusi tersebut, ia kembali menyampaikan untuk mengusulkan lagi. Sehingga saat ke Jakarta dirinya menghubungi Susanto Zuhdi untuk berdiskusi lebih jauh soal pengusulan Oputa Yi Koo.
"Begitu saya pulang dan saya pikir ingin melibatkannya, yang secara akademisi membidangi dan juga berdarah Buton. Kemudian saya hubungi Tasrifin Tahara dan memintanya untuk membentuk tim dan menelusuri dokumen-dokumen yang ada dan yang kurang agar dilengkapi," katanya.
Sembari berjalan pengumpulan kelengkapannya, kata Tamrin, dirinya ke Jakarta bertemu kembali Susanto Zuhdi dan mereka diarahkan untuk bertemu salah satu anggota dewan gelar yakni Prof Jimly Assidiqii melalui Agung Laksono.
"Singkat cerita ketika kita ketemu di Jakarta beliau bersedia membantu. Dan disampaikan bahwa untuk nominasi pahlawan nasional sesuai arahan Presiden sifatnya dari provinsi yang belum mempunyai pahlawan nasional, yang kebetulan Sultra belum mempunyai pahlawan nasional, tapi berkasnya harus dilengkapi," katanya.
Karena pengusulan pahlawan nasional itu harus juga diusulkan oleh Gubernur Sultra, kata dia, sehingga ia pun menghadap Gubernur Ali Mazi untuk meneken berkas pengusulan dan setelah itu membuat seminar nasional di Kendari.
"Sebelum akan menerima penghargaan, kami diberi tau lagi bahwa dalam penerimaannya juga harus ada ahli waris, sehingga saya meminta tim untuk menelusuri ahli waris. Rupanya Pak Ali Mazi salah satu dari sekian banyak ahli waris," ujarnya.*
"Harapannya, kita bisa berbangga dan senang bahwa sudah ada pahlawan nasional yang dari Buton meskipun dalam labelnya di sana (di Pusat) adalah pahlawan dari Sultra. Kita (tetap) mensyukuri itu. Dan semoga ini menjadi pembuka pintu untuk menuju Provinsi Kepulauan Buton," ujar AS Tamrin, di Baubau, Jumat.
Diharapkan pula, penganugerahan penghargaan kepada ahli waris tidak dipolemikkan, tetapi menjadi suatu kesyukuran yang harus dikedepankan bagi semua.
"Intinya bagi kita, saya membuka jalan. Saya sudah bersyukur ada pahlawan nasional dari Sultra yang merupakan tokoh dari Buton. Harapan saya tentu semua ahli waris juga bersyukur dengan itu," ujarnya.
Secara singkat Tamrin juga menceritakan bahwa pengusulan Oputa Yi Koo atau La Karambau menjadi pahlawan nasional sudah terpikirkan sejak 17 tahun silam, yang waktu itu Yayasan Wolio Molagi dibentuk dengan salah satu topik mengemuka pengusulan Sultan Himayatuddin sebagai pahlawan nasional.
"Di situ (waktu itu) ada banyak tokoh diantaranya Pak Mane Oba, Pak Muzuni, Pak Zaidi, La Ode Abu Bakar, Pa Arumi, Pak Saraha, dan Pak Said yang merupakan dosen sejarah kala itu," urainya.
Kala itu, salah satu usulnya adalah Sultan Himayatuddin. Kajian akademiknya berpatokan pada buku Susanto Zuhdi yang juga menulis disertasinya "Labu Rope Labu Wana".
"Di era Wali Kota Baubau Pak Amirul diusulkan lagi oleh timnya dan saya tidak mengikuti lagi, karena saya sudah pindah waktu itu," kata Tamrin yang juga mantan pejabat BPN ini.
Baca juga: Sultan Himayatuddin Oputa Yii Ko dari Sultra diberi gelar Pahlawan Nasional
Setelah itu, dalam perjalanannya, pada periode pertama dirinya menjabat Wali Kota Baubau tidak menyangka pada suatu kegiatan di Baubau dihadiri Prof Susanto Zuhdi.
"Waktu acara itu saya teringat namanya beliau (Susanto Zuhdi) tapi saya tidak tau orangnya. Saat acara saya ajak beliau duduk dekat saya dan saya tanyakan soal itu (pengusulan pahlawan nasional) dan beliau juga merespon bahwa dulu pernah mengusulkan untuk gelar pahlawanan nasional, tapi mandek karena waktu itu diprioritaskan Bung Karno dan Bung Hatta," ujarnya.
Kemudian dalam diskusi tersebut, ia kembali menyampaikan untuk mengusulkan lagi. Sehingga saat ke Jakarta dirinya menghubungi Susanto Zuhdi untuk berdiskusi lebih jauh soal pengusulan Oputa Yi Koo.
"Begitu saya pulang dan saya pikir ingin melibatkannya, yang secara akademisi membidangi dan juga berdarah Buton. Kemudian saya hubungi Tasrifin Tahara dan memintanya untuk membentuk tim dan menelusuri dokumen-dokumen yang ada dan yang kurang agar dilengkapi," katanya.
Sembari berjalan pengumpulan kelengkapannya, kata Tamrin, dirinya ke Jakarta bertemu kembali Susanto Zuhdi dan mereka diarahkan untuk bertemu salah satu anggota dewan gelar yakni Prof Jimly Assidiqii melalui Agung Laksono.
"Singkat cerita ketika kita ketemu di Jakarta beliau bersedia membantu. Dan disampaikan bahwa untuk nominasi pahlawan nasional sesuai arahan Presiden sifatnya dari provinsi yang belum mempunyai pahlawan nasional, yang kebetulan Sultra belum mempunyai pahlawan nasional, tapi berkasnya harus dilengkapi," katanya.
Karena pengusulan pahlawan nasional itu harus juga diusulkan oleh Gubernur Sultra, kata dia, sehingga ia pun menghadap Gubernur Ali Mazi untuk meneken berkas pengusulan dan setelah itu membuat seminar nasional di Kendari.
"Sebelum akan menerima penghargaan, kami diberi tau lagi bahwa dalam penerimaannya juga harus ada ahli waris, sehingga saya meminta tim untuk menelusuri ahli waris. Rupanya Pak Ali Mazi salah satu dari sekian banyak ahli waris," ujarnya.*