Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam orang tokoh. Mereka adalah Ruhana Kudus dari Provinsi Sumatera Barat, Sultan Himayatuddin Oputa Yii Ko dari Provinsi Sulawesi Tenggara, Prof M Sardjito dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Abdoel Kahar Moezakir dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Alexander Andries (AA) Maramis dari Provinsi Sulawesi Utara, dan KH Masykur dari Provinsi Jawa Timur.
Pemberian gelar pahlawan nasional ini terjadi menjelang peringatan Hari Pahlawan, pada 10 November.
"Presiden Republik Indonesia menganugrahkan gelar pahlawan nasional sebagai penghargaan dan penghormatan tinggi atas jasa-jasa yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan polutik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut dan mengisi kenerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa," demikian Sekretaris Militer, Mayor Jenderal TNI Suharyanto, membacakan petikan keputusan presiden di Istana Negara Jakarta, Jumat.
Keenam tokoh tersebut ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres No 120/TK/2019 tertanggal 7 November 2019.
okowi lalu memberikan langsung tanda kehormatan tersebut kepada ahli waris para pahlawan.
Hadir juga dalam pemberian anugerah pahlawan tersebut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para menteri kabinet Indonesia Maju, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjanjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dan pejabat tinggi negara lainnya.
Ruhana Kuddus adalah jurnalis perempuan asal Sumatera Barat. Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Sultan Himayatuddin dari Buton, Sulawesi Tenggara. La Karambau atau Sultan Himayatuddin diketahui konsisten berjuang dari dalam hutan dalam mengusir VOC Belanda dari tanah Buton melalui perang gerilya sejak 1755-1776.
Sardjito adalah Rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) 1950-1961 dan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) 1964-1970. Ia juga dikenal dengan biskuit Sardjito sebagai makanan khusus yang diramu Sardjito untuk bakal tentara Republik yang berada di medan perang. Keberadaan biskuit ini sangat membantu, apalagi kala itu persediaan logistik serba terbatas.
Abdoel Kahar Moezakir, AA Maramis dan KH Masykur adalah anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Abdoel Kahar Moezakir adalah rektor Universitas Islam Indonesia pertama para periode 1945-1948 dan 1948-1960. Llahir di Kotagede, Yogyakarta, Muzakkir mengenyam pendidikan di Universitas Kairo, Mesir lalu mendirikan Perhimpunan Indonesia Raya pada 1933.
AA Maramis selain pernah menjadi anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara. Ia juga pernah menjadi Menteri Keuangan periode 1945-1945 dan 1948-1949. Maramin adalah orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pertama dengan denominasi 1, 5, dan 10 sen ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah.
KH Masykur tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (Peta). Masykur juga merupakan Menteri Agama Indonesia pada tahun 1947-1949 dan tahun 1953-1955. Selaku Ketua Nahdlatul Ulama cabang Malang, Masykur mengomandoi Laskar Sabilillah untuk menggerakkan semangat perjuangan pesantren dan para kiai dalam pertempuran Arek Suroboyo pada November 1945.
Pemberian gelar pahlawan nasional ini terjadi menjelang peringatan Hari Pahlawan, pada 10 November.
"Presiden Republik Indonesia menganugrahkan gelar pahlawan nasional sebagai penghargaan dan penghormatan tinggi atas jasa-jasa yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan polutik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut dan mengisi kenerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa," demikian Sekretaris Militer, Mayor Jenderal TNI Suharyanto, membacakan petikan keputusan presiden di Istana Negara Jakarta, Jumat.
Keenam tokoh tersebut ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres No 120/TK/2019 tertanggal 7 November 2019.
okowi lalu memberikan langsung tanda kehormatan tersebut kepada ahli waris para pahlawan.
Hadir juga dalam pemberian anugerah pahlawan tersebut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para menteri kabinet Indonesia Maju, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjanjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dan pejabat tinggi negara lainnya.
Ruhana Kuddus adalah jurnalis perempuan asal Sumatera Barat. Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Sultan Himayatuddin dari Buton, Sulawesi Tenggara. La Karambau atau Sultan Himayatuddin diketahui konsisten berjuang dari dalam hutan dalam mengusir VOC Belanda dari tanah Buton melalui perang gerilya sejak 1755-1776.
Sardjito adalah Rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) 1950-1961 dan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) 1964-1970. Ia juga dikenal dengan biskuit Sardjito sebagai makanan khusus yang diramu Sardjito untuk bakal tentara Republik yang berada di medan perang. Keberadaan biskuit ini sangat membantu, apalagi kala itu persediaan logistik serba terbatas.
Abdoel Kahar Moezakir, AA Maramis dan KH Masykur adalah anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Abdoel Kahar Moezakir adalah rektor Universitas Islam Indonesia pertama para periode 1945-1948 dan 1948-1960. Llahir di Kotagede, Yogyakarta, Muzakkir mengenyam pendidikan di Universitas Kairo, Mesir lalu mendirikan Perhimpunan Indonesia Raya pada 1933.
AA Maramis selain pernah menjadi anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara. Ia juga pernah menjadi Menteri Keuangan periode 1945-1945 dan 1948-1949. Maramin adalah orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pertama dengan denominasi 1, 5, dan 10 sen ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah.
KH Masykur tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (Peta). Masykur juga merupakan Menteri Agama Indonesia pada tahun 1947-1949 dan tahun 1953-1955. Selaku Ketua Nahdlatul Ulama cabang Malang, Masykur mengomandoi Laskar Sabilillah untuk menggerakkan semangat perjuangan pesantren dan para kiai dalam pertempuran Arek Suroboyo pada November 1945.