Kendari (ANTARA) - Seminar sejarah dan kebudayaan Buton menarik bagi peneliti dari berbagai univeritas baik lokal maupun dari luar Sulawesi Tenggara, karena selain unik, mendidik dan memiliki benteng terluas di dunia serta sejarah kerajaan hingga masuknya Islam di daerah itu.

Prof Dr. La Niampe, pakar naskah kuno dan juga ahli budayawan dari Universitas Haluoleo (UHO) mengatakan, sejarah Buton bila ditinjau dari aspek kultural banyak menantang bagi para peneliti terutama dari luar Buton.

Kalangan akademisi dari luar Sultra, lanjut La Niampe, yang benyak melakaukan penelitian di Buton karena diwilayah itu memiliki berbagai historis yang tidak dimiliki kabupaten lain di Sultra. Sebut saja bahasa-bahasanya ternyata banyak juga ditemui peninggalan tradisional yang mirip dengan bahasa Korea Selatan.

"Yang anehnya sekarang adalah masyarakat Buton sendiri, justru banyak yang sudah menghilangkan identitasnya sebagai orang Buton, sehingga tidak heran bila banyak diantara mereka tidak lagi mengenal dan mengetahui asal usul leluhurnya yang sebenarnya," ujarnya.

Sejarah berdirinya kerajaan Buton hingga pengangkatan Rajanya dari raja Wakaka sampai dengan Sultan, kata Prof La Niampe, hingga kini masih menjadi menarik dan 'diburu' para sejarawan untuk memperkaya pengetahuan dibidang kebudayaan. Sebab berdasarkan catatan sejarah dari ada 70 kerajaan di Indonesia asal mula dari kerajaan melayu.

Sebanyak 40 kerajaan itu ada di Sumatara dan Jawa, 10 diantaranya ada di Kalimantan, empat kerajaan ada di Sulawesi (kerjaan Gowa, Luwuk, Bone dan Buton) serta satu kerjaaan di Ternate dan masing-masing satu kerjaan ada di beberapa negara tetanggal seperti Malaysia, Thailand, Brunai dan Singapura.

Hal senada diungkapkan dua nara sumber lainnya yakni Dr. Aslim M,Hum yang mengangkat terkait sejarah Buton dalam metodologi strukturis anatomi keruntuhan Kesultanan Buton pada 1960 dan Dr La Janu yang mengangkat tentang pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Kesultanan Buton.

Ia mengatakan, sistem pemerintahan saat kesultanan Buton bercirikan aturan pembagian kekuasaan yang luas antara 'kaomu' dan 'Walaka'. Kedua lapisan masyarakat itu merupakan satu kesatuan yang berbeda dengan kaum 'papara' (rakyat biasa). Dengan demikian, kekuasaan saat ini didasarkan atas prinsip keseimbangan meskipun dalam kenyataan sosial politik tidak bisa dipungkiri golongan Kaomu lebih tinggi daripada Walaka. Kadisdikbud Sultra, Drs. Asrun Lio, M,Hum, Ph,D (tengah) bersama Prof Dr. La Niampe, M,Hum saat tampil membawakan makalah pada seminar Sejarah dan Budaya Buton. dan moderator Azis Senong dari LKBN Antara Biro Sultra.(Foto Istimewa Dinasdikbud)

Kegiatan seminar sejarag budaya Buton yang diselenggrakan UPTD Museum dan Taman Budaya, juga sebelumnya telah diseminarkan terkait sejarah dan budaya Muna, Tolaki dan Moronene yang merupakan akumulasi kebudayaan terbesar di Sultra selain suku dan penduduk pendatang lainnya yang mendiami jasirah Sulawesi Tenggara seperti Bugis-Makassar, Jawa, Bali Sumatera dan Kalimantan yang tersebar di 15 kabupaten dan dua kota di Sultra.

Kadis Diknasbud Sultra Asrun Lio yang didampingi kepala UPTD Museum dan Taman Budaya Sultra Dody Syahrulsyah mengapresiasi pelaksanaan seminar tentang sejarah dan budaya yang ada di Sultra.

"Saya harap kegiatan seminar kebudayaan ini tidak hanya sampai disini, tetapi harus menjadi agenda rutin tahunan, apalagi merupakan program dan visi misi gubernur dan wakil gubernur Sultra, dimana dari lima program unggulan pasangan Ali Mazi-Lukman Abunawas adalah Sultra yang beriman dan berbudaya," tutupnya.

Pewarta : Abdul Azis Senong
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024