Kendari (ANTARA News) - Warga Suku Bajo pesisir Teluk Hondolu Desa Wasuamba Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) mengadukan nabsibnya ke Pemerintah Pusat melalui Gubernur Sultra agar lahan yang sudah didiami sejak nenek moyang mereka tahun 1930-an itu statusnya menjadi lahan hak milik.

"Ini kan aneh, lahan yang sudah didiami sejak kakek dan nenek moyang kami, tiba-tiba diklaim dan dipasangi patok oleh Dinas Kehutanan Buton sebagai hutan lindung konservasi karena di dalamnya ada pohon mangrove yang tumbuh berkembang di sepanjang pesisir pantai wilayah itu," Kata Pendamping masyarakat Bajo yang juga Pemerhati Lingkungan dari Kabupaten Buton, La Ode Hasmin Limi di Kendari, Senin.

Ia mengatakan, dengan adanya larangan dari pihak kehutanan terhadap status kawasan itu, membuat warga suku Bajo tersebut tidak bisa mendirikan bangunan sebagai tempat pemukiman mereka.

Menurut Hasmin, dirinya mendampingi warga suku Bajo di desa itu karena setelah melihat sejarah awal mula mereka mendiami kawasan itu jauh sebelum lahirnya kemerdekaan RI, yang dibuktikan adanya surat perintah dari Sultan Buton La ode Palihi ayah dari La Ode Izyat Manarfa, yang saat itu ditulis dalam buku tulisan Lontara. Sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh adat suku bajo di desa Wasuamba Kec. Lasalimu, Buton menyampaikan apsspirasi dengan Pemprov dan DPRD Sultra terkait status kawasan hutan bakau menjadi kawasan peruntukan pemukiman. (Foto Antara/ Azis Senong)
"Lahan yang diinginkan warga suku Bajo untuk perubahan status, hanya seluas 63 hektare, itupun kawasannya bukan semuanya berada di daratan, tetapi sebagian lainnya ada di laut yang kini sudah menjadi pemukiman mereka," ujar La Ode Hasmin.

Sementara itu, tokoh masyarakat Bajo yang juga dituakan di desa itu Sar Ali dan Dahar Moh Ode Balo mengatakan, status lahan yang diingikan masyarakat untuk diperuntukan sebagai lahan pemukiman hanya seluas 63 hektare, itupun jauh dari kawasan mangrove.

"Olehnya itu, kami mewakili masyarakat Desa Wasuamba, meminta kepada Gubernur Ali Mazi sebagai perwakilan Pemerintah Pusat di Sultra untuk memikirkan nasib kami, agar lahan yang diklaim dinas kehutanan sebagai lahan konservasi, bisa dibebaskan dan peruntukkan untuk pemukiman warga," tutur Sar Ali.

Lebih jauh dikatakan dia, masyarakat Bajo tentu dapat dikatakan bahwa hidup mereka bukanlah di darat, tetapi sesuai dengan kulturnya merupakan suatu keharusan hidup di laut, di sepanjang pesisir daratan khususnya pesisir yang di dalamnya tumbuh hutan bakau.

"Kami masyarakat Hondolu Olehnya Marannuang, dengan ini mengajukan kepada Pemerintah Daerah Sultra (gubernur dan DPRD) Sultra, untuk menurunkan status hutan bakau teluk Hondolu menjadi kawasan peruntukan pemukiman, perumahan, peribadatan dan tempat sekolah, yang di mana kawasan ini sejak puluhan tahun silam," pintanya.

Ia mengatakan, bagi masyarakat Bajo sampai saat ini belum mendapatkan perlakuan yang adil oleh negara, karena sampai saat ini kepastian hukum atas alas hak pemukiman dan perumahan masih status kawasan hutan di perairan teluk Handolu.

"Besar harapan kami, kiranya Pemprov Sultra untuk melakukan `krousing` di lapangan secara proporsional sehingga terjadi kejelasan obyek, antara kawasan hutan dan kawasan pemukiman masyarakat," tutupnya.

Pewarta : Abdul Azis Senong
Editor : M Sharif Santiago
Copyright © ANTARA 2024