Jakarta (Antara News) - Terpilihanya pengembang hunian elite, Donald Trump, sebagai Presiden Amerika Serikat berpotensi membawa perubahan besar bagi agenda perdagangan internasional Washington yang selama ini kurang pragmatis dan lebih banyak untuk kepentingan geopolitik.

         Di balik retorika misoginis dan rasisnya, Trump tetap merupakan seorang pengusaha dengan orientasi utama keuntungan. Program dia yang paling jelas bukanlah tembok penghalau imigran di perbatasan Meksiko atau rencana rahasia mengalahkan ISIS di Suriah, melainkan pada aspek perdagangan.

         Hanya pada sisi ini Gedung Putih di bawah kepemimpinan Trump bisa dinilai dan diperkirakan. Secara umum Trump ingin membuat Amerika Serikat kembali menjadi kekuatan dagang isolanionis dan proteksionis yang sangat kontras dengan kebijakan negara tersebut sepanjang tiga dekade terakhir.

         Selama ini, Amerika Serikat adalah promotor utama perdagangan bebas di panggung internasional. Pada tahun 1980, negara ini menginisiasi perundingan putaran Uruguay, kemudian membidani lahirnya rezim perdagangan dunia saat ini, WTO.

         Akan tetapi, macetnya perundingan sejumlah agenda WTO, terutama pada persoalan subsidi pertanian yang dianggap menjadi non-tariff barrier, membuat Amerika Serikat terpaksa mengubah strategi. Mereka mulai membuat perjanjian-perjanjian regional kecil seperti NAFTA--kesepakatan perdagangan bebas bagi Meksiko, Amerika Serikat, dan Kanada.

         Dalam beberapa tahun terakhir Amerika Serikat mendekati negara-negara pesisir Pasifik dan Eropa untuk menjalin kesepakatan dagang terpisah dalam bentuk yang sekarang dikenal dengan nama Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP).

         Washington juga mulai merundingkan perdagangan bebas dengan  negara-negara pesisir Hindia (IORA). Amerika Serikat mengulang tindakan tahun 2005 saat menggabungkan diri dengan lima negara kecil Samudra Pasifik, sebelum mengembangkannya menjadi kesepakatan besar sekaligus kontroversial TPP.

         Tujuan Amerika Serikat membentuk rezim dagang, seperti WTO, NAFTA, dan TPP adalah penurunan tarif impor dalam bentuk apapun. Agenda ini menunjukkan keberhasilan besar karena dalam 20 tahun terakhir tarif impor mengalami penurunan drastis dari sekitar 30 persen menjadi kurang dari 3 persen.

         Ambisi Amerika Serikat untuk menciptakan rezim perdagangan dunia yang bebas tarif sebenarnya cukup mengherankan karena perekonomian di negara ini sama sekali tidak bergantung pada ekspor-impor--berbeda dengan Tiongkok di awal dekade 2000-an yang harus mendevaluasi yuan untuk mempertahankan volume ekspor.

         Ekspor di Amerika Serikat hanya berkontribusi sekitar 12 persen dari keseluruhan output ekonomi nasional, atau berada dalam peringkat 10 besar terendah di seluruh dunia. Negara ini juga selalu mengalami defisit perdagangan, sebuah indikasi bahwa mereka lebih bergantung pada konsumsi domestik.

         Lalu, untuk apa Washington mengejar terbentuknya institusi-insitusi dagang tersebut--yang menurut Trump justru merugikan industri dalam negeri? Trump mengklaim, Amerika Serikat kehilangan lebih dari sepertiga lapangan kerja di sektor manufaktur sejak terbentuknya NAFTA.

         Pertanyaan baru akan terjawab jelas dalam kasus TPP, sebuah perjanjian besar yang tidak hanya mengatur remeh-temeh tafir impor yang sudah hampir menyentuh angka nol.

         TPP adalah kesepakatan megaregional yang ingin menyeragamkan liberalisasi di seluruh sektor ekonomi, menyederhanakan proses bea cukai, memperkuat aturan perlindungan hak kekayaan intelektual, dan menyamakan standar perlindungan lingkungan serta pekerja.

         Sederhananya, Amerika Serikat, sebagai peggagas TPP, ingin mewajibkan negara lain meniru institusi ekonomi Gedung Putih.

         Upaya Gedung Putih dalam perundingan ini tidak main-main. Mereka rela menghapus perlindungan terhadap industri farmasi dalam negeri yang selama ini menguasai 40 persen pangsa pasar dunia.

         Amerika Serikat, menurut sejumlah analis, bertujuan mengurung Tiongkok--negara rival yang mempunyai kesepakatan dagang di wilayah sama tanpa kehadiran Washington (RCEP).

         Sebagian besar anggota TPP adalah tetangga Tiongkok yang juga merupakan sekutu dagang terbesar Beijing.

         Dengan menerapkan standar Amerika Serikat dalam perlindungan lingkungan dan pekerja di TPP, negara-negara itu diharapkan bisa memaksa Tiongkok mengikutinya, mengingat negara ini sering kali dinilai tidak mengindahkan aturan perlindungan kerja, lingkungan, maupun hak kekayaan intelektual.

         Dengan demikian, TPP dan perdagangan internasional pada umumnya, bagi Amerika Serikat bukan hanya merupakan instrumen ekonomi, melainkan juga instrumen geopolitik.

         Melalui TPP, Amerika Serikat ingin menunjukkan siapa pemimpin Asia Pasifik, bukan Tiongkok dan RCEP-nya.

         Melalui TPP pula, Gedung Putih ingin memaksa Beijing meninggalkan model perekonomian "buruk" (subsidi, pengabaian lingkungan, pekerja, dan hak kekayaan intelektual) yang selama ini menguntungkan Tiongkok dalam perdagangan internasional.

         Kecenderungan untuk menggunakan rezim perdagangan untuk tujuan politik inilah yang sepertinya Tiongkok ditentang presiden terpilih Donald Trump.

         Trump sempat marah saat menjelaskan bagaiamana TPP akan membuat Amerika kehilangan 2.000.000 lapangan kerja dengan korban utama pekerja di sektor otomotif. Dia berjanji akan menarik diri dari TPP yang sampai saat ini belum diratifikasi oleh kongres setempat.

         Kecenderungan pragmatis Trump soal perdagangan ini juga terlihat dalam rencananya menerapkan tarif impor barang-barang Tiongkok sampai 30 persen. Masih belum jelas apakah Trump akan benar-benar melakukan kebijakan ini karena akan berdampak besar pada perang tarif antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

         Namun, dari kecenderungan-kecenderungan itu bisa disimpulkan bahwa Trump, berlawanan dengan para presiden pendahulunya, akan memilih kebijakan proteksionis soal perdagangan. Amerika Serikat akan kembali menjadi Amerika Serikat sebelum perang dunia, negara besar yang mengucilkan diri.

         Kecenderungan Trump untuk menarik diri dari panggung internasional lainnya juga nampak dalam pernyataan-pernyataannya soal NATO, negara-negara sekutu dan "kerahasiaan" rencana penyelesaian perang saudara di Suriah.

         Mengenai NATO dan negara-negara sekutu di Asia, Trump mengatakan bahwa sebaiknya mereka membayar sendiri biaya pertahanan masing-masing.

         Karakter intervensionis dan imperialis yang menjadi ciri khas politik luar negeri dan perdagangan Amerika Serikat sejak perang dingin, mungkin akan berubah dengan kepemimpinan Trump.

         Indikasi yang paling jelas dari potensi perubahan ini adalah pendirian Trump soal dagang sebagai aktivitas murni mencari untung.

         Sebagai perbandingan, Hillary Clinton yang kalah dalam pemilihan umum presiden adalah semua yang bukan Trump dalam hal dagang dan politik luar negeri.

         Hillary adalah representasi sempurna dari garis politik ekspansionis Amerika Serikat. Sebagai menteri luar negeri, dia membantu lahirnya TPP.

         Dia jorjoran membuang kas negara dengan menambah 30.000 tentara ke Afghanistan sementara di saat bersamaan mendukung 300-an serangan pesawat nir-awak ke Pakistan yang menewaskan lebih dari 2.000 orang. Jangan lupakan pula Libya.

        Berhasil tidaknya isolasionisme dan proteksionisme Trump sangat bergantung bagaimana dia membawa diri dalam pergaulan internasional.

         Jika Trump masih membawa gaya kepemimpinan kontroversial, potensi konflik akan terbuka lebar, terutama di Laut Tiongkok Selatan.

         Kenapa di Laut Tiongkok Selatan dan bukan Timur Tengah? Karena wilayah inilah yang menjadi kawasan prioritas Trump, perdagangan.

         Laut Tiongkok Selatan adalah salah satu jalur perdagangan utama dunia yang dilewati kapal-kapal Amerika Serikat dengan nilai 1,2 miliar dolar setiap tahunnya, atau sekitar 20 persen dari total keseluruhan nilai kapal di kawasan itu. Trump yang pragmatis tidak akan membiarkan gangguan kebebasan berlayar di sini.

         Di sisi lain, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Presiden Rodrigo Duterte di Filipina makin mendekat ke Tiongkok. Situasi ini bukan tidak mungkin akan membuat proyek instalasi militer di Scarborough Shoal oleh Beijing akan terlaksana meskipun ini adalah wilayah sengketa.

         Jika skenario itu terjadi, Beijing akan dengan mudah mengganggu jalur pelayaran dagang Amerika Serikat saat Trump mulai menerapkan tarif impor terlalu tinggi bagi produk-produk asal Tiongkok.

Pewarta : G.M. Nur Lintang Muhammad
Editor :
Copyright © ANTARA 2024