Jakarta (Antara News) - Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya menunda implementasi penurunan tarif interkoneksi yang rencananya dijadwalkan efektif 1 September 2016 hingga waktu yang belum ditentukan.
Sesuai dengan Surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/ 2016 yang ditandatangani oleh Plt Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia dan dirilis pada 2 Agustus 2016 ditetapkan penurunan rata-rata 26 persen pada 18 skenario panggilan telepon dan SMS antar operator dan berlaku pada 1 September 2016.
Biaya interkoneksi adalah biaya yang mengalir dari operator untuk melakukan koneksi antarjaringan. Operator memasukkan biaya ini ke dalam komponen biaya produksi untuk menentukan tarif ke konsumen.
Tapi pada 31 Agustus 2016 Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza mengatakan penerapan perubahan biaya interkoneksi yang rencananya akan dilaksanakan pada 1 September 2016, ditunda sementara waktu.
"Iya kita mengikuti apa yang disepakati saat rapat kerja Menkominfo dengan DPR, 24 agustus lalu," katanya di Jakarta saat dikonfirmasi Antara.
Komisi I DPR sebelumnya menggelar rapat kerja dengan Menkominfo pada Rabu, 24 Agustus 2016 terkait tarif interkoneksi setelah adanya pro-kontra terkait hal itu. Dalam kesempatan itu, Komisi I DPR meminta agar kebijakan tersebut ditunda hingga pertemuan rapat kerja berikutnya, setelah mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan operator. Komisi I telah menggelar RDPU pada Kamis, 25 Agustus 2016.
Pro kontra kebijakan tersebut sempat muncul sebelum 1 September 2016, antara satu operator telekomunikai dengan beberapa operator telekomunikasi lainnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelumnya berencana menurunkan tarif interkoneksi sebesar 26 persen dari Rp250 per menit menjadi Rp204 per menit dan akan diberlakukan mulai 1 September 2016.
Namun rencana itu mendapat penolakan dari Telkom Group, karena dinilai tidak menerapkan asas keadilan dan merugikan Telkom Group yang merupakan bagian dari BUMN.
Adapun sejumlah operator lainnya, tidak mempermasalahkan rencana kenaikan tersebut bahkan berharap segera dapat mengimplementasikannya.
Mereka beralasan bahwa kebijakan penurunan tarif interkoneksi dan berbagi infrastruktur tersebut untuk terciptanya industri telekomunikasi yang lebih efisien.
Pihak yang menolak penurunan tarif interkoneksi datang dari Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) Strategis yang mendesak Menkominfo Rudiantara membatalkan rencana penurunan tarif interkoneksi, karena dinilai hanya akan merugikan operator telekomunikasi milik negara atau BUMN (Telkom, Telkomsel) dan menguntungkan operator yang sahamnya dimiliki asing.
FSP-BUMN Strategis membela operator yang dirugikan atas perubahan tarif interkoneksi tersebut, karena yang melihat operator inilah, yang kebetulan BUMN yang selama ini berkomitmen membangun jaringan di seluruh pelosok negeri.
FSP BUMN Strategis sangat mendukung kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk perbaikan industri telekomunikasi secara keseluruhan di negeri ini.
Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom, Asep Mulyana menyatakan bahwa kebijakan tarif interkoneksi membuat Telkomsel sebagai anak usaha Telkom rugi dua kali yaitu dibayar lebih rendah dari biaya yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel dihubungi pelanggan non Telkomsel dan membayar lebih tinggi dari yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel menghubungi.
Sementara PT Indosat Ooredoo, sebagai operator telekomunikasi yang mendukung penurunan tarif, tetap menerapkan kebijakan penurunan interkoneksi yang akan berlaku pada 1 September 2016 sesuai surat edaran yang dikeluarkan pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika walaupun ditunda.
President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, menegaskan apakah surat edaran (SE) dicabut atau dibatalkan, perusahaan akan tetap menerapkan tarif interkoneksi baru tersebut sejauh terjadi kesepakatan antar operator secara B2B (bisnis ke bisnis).
Indosat memandang bahwa kebijakan Menkominfo tentang penurunan tarif interkoneksi sebesar rata-rata 26 persen merupakan kebijakan prorakyat, karenanya harus didukung oleh semua pihak.
Dengan penurunan tarif interkoneksi ini, masyarakat akan dapat menikmati layanan telekomunikasi dengan harga yang lebih terjangkau, mendorong industri telekomunikasi lebih efisien, serta menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat.
Operator seluler PT XL Axiata Tbk (XL) juga mendukung Kementerian Kominfo menurunkan tarif interkoneksi demi kepentingan masyarakat pengguna telekomunikasi, pemerintah dan industri.
Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini mengatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika harus melihat kepentingan seluruh stakeholder. Kalaupun ada pihak yang menolak penurunan tarif intekoneksi dan mengkaitkannya dengan operator asing, itu tidak relevan.
Kementerian Kominfo seharusnya tidak bisa didikte oleh siapapun, jika ada penolakan atas kebijakan tersebut bisa saja mengajukan keberatan, namun peraturan tetap harus dijalankan.
Dian mempertanyakan, ada operator yang berdalih akan menderita kerugian hingga Rp50 triliun jika terjadi penurunan tarif interkoneksi, dan menguntungkan operator yang sahamnya dimiliki asing.
Jadi isu interkoneksi dikaitkan dengan nasionalisme dan asing itu tak tepat karena murni bisnis antaroperator, bukan soal nasionalisme. Secara logika jika biaya interkoneksi diturunkan maka beban operator juga akan menurun.
Operator yang lebih besar tentunya memiliki trafik juga besar, sehingga biaya per unit setiap panggilan seharusnya semakin kecil. Jadi operator besar harus lebih efisien. Untuk itu Kementerian Kominfo harus bisa membuat kebijakan yang seimbang bagi semua pelaku industri.
Bagi XL penurunan tarif interkoneksi 26 persen juga tidak memuaskan. Tetapi semua pihak butuh kepastian untuk investasi ke depannya dan menerima itu sebagai sebuah kebijakan.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) menyayangkan ditundanya pemberlakuan tarif baru interkoneksi oleh pemerintah dan mendukung tarif interkoneksi baru yang akan memberikan lebih banyak keleluasaan bagi operator.
Interkoneksi adalah keniscayaan dalam era multi operator sesuai dengan perundangan yang berlaku. Dengan menurunkan biaya interkoneksi, pemerintah dapat membantu operator telekomunikasi dalam menyediakan layanan yang lebih terjangkau.
Keterjangkauan biaya tersebut akan membuat layanan komunikasi lebih banyak diakses oleh konsumen sehingga layanan telekomunikasi akan lebih menjangkau masyarakat secara keseluruhan.
APJATEL melihat tarif interkoneksi baru akan memberikan lebih banyak keleluasaan bagi operator untuk memberikan harga yang lebih terjangkau sehingga dapat menyediakan pelayanan yang lebih baik.
Sejalan dengan hak konsumen akan kenyamanan seperti yang terdapat pada UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, pasal 4 (a) menyatakan, hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Selain itu, penurunan tarif interkoneksi diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi konsumen untuk menggunakan layanan telekomunikasi.
Sesuai dengan Surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/ 2016 yang ditandatangani oleh Plt Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia dan dirilis pada 2 Agustus 2016 ditetapkan penurunan rata-rata 26 persen pada 18 skenario panggilan telepon dan SMS antar operator dan berlaku pada 1 September 2016.
Biaya interkoneksi adalah biaya yang mengalir dari operator untuk melakukan koneksi antarjaringan. Operator memasukkan biaya ini ke dalam komponen biaya produksi untuk menentukan tarif ke konsumen.
Tapi pada 31 Agustus 2016 Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza mengatakan penerapan perubahan biaya interkoneksi yang rencananya akan dilaksanakan pada 1 September 2016, ditunda sementara waktu.
"Iya kita mengikuti apa yang disepakati saat rapat kerja Menkominfo dengan DPR, 24 agustus lalu," katanya di Jakarta saat dikonfirmasi Antara.
Komisi I DPR sebelumnya menggelar rapat kerja dengan Menkominfo pada Rabu, 24 Agustus 2016 terkait tarif interkoneksi setelah adanya pro-kontra terkait hal itu. Dalam kesempatan itu, Komisi I DPR meminta agar kebijakan tersebut ditunda hingga pertemuan rapat kerja berikutnya, setelah mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan operator. Komisi I telah menggelar RDPU pada Kamis, 25 Agustus 2016.
Pro kontra kebijakan tersebut sempat muncul sebelum 1 September 2016, antara satu operator telekomunikai dengan beberapa operator telekomunikasi lainnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelumnya berencana menurunkan tarif interkoneksi sebesar 26 persen dari Rp250 per menit menjadi Rp204 per menit dan akan diberlakukan mulai 1 September 2016.
Namun rencana itu mendapat penolakan dari Telkom Group, karena dinilai tidak menerapkan asas keadilan dan merugikan Telkom Group yang merupakan bagian dari BUMN.
Adapun sejumlah operator lainnya, tidak mempermasalahkan rencana kenaikan tersebut bahkan berharap segera dapat mengimplementasikannya.
Mereka beralasan bahwa kebijakan penurunan tarif interkoneksi dan berbagi infrastruktur tersebut untuk terciptanya industri telekomunikasi yang lebih efisien.
Pihak yang menolak penurunan tarif interkoneksi datang dari Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) Strategis yang mendesak Menkominfo Rudiantara membatalkan rencana penurunan tarif interkoneksi, karena dinilai hanya akan merugikan operator telekomunikasi milik negara atau BUMN (Telkom, Telkomsel) dan menguntungkan operator yang sahamnya dimiliki asing.
FSP-BUMN Strategis membela operator yang dirugikan atas perubahan tarif interkoneksi tersebut, karena yang melihat operator inilah, yang kebetulan BUMN yang selama ini berkomitmen membangun jaringan di seluruh pelosok negeri.
FSP BUMN Strategis sangat mendukung kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk perbaikan industri telekomunikasi secara keseluruhan di negeri ini.
Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom, Asep Mulyana menyatakan bahwa kebijakan tarif interkoneksi membuat Telkomsel sebagai anak usaha Telkom rugi dua kali yaitu dibayar lebih rendah dari biaya yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel dihubungi pelanggan non Telkomsel dan membayar lebih tinggi dari yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel menghubungi.
Sementara PT Indosat Ooredoo, sebagai operator telekomunikasi yang mendukung penurunan tarif, tetap menerapkan kebijakan penurunan interkoneksi yang akan berlaku pada 1 September 2016 sesuai surat edaran yang dikeluarkan pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika walaupun ditunda.
President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, menegaskan apakah surat edaran (SE) dicabut atau dibatalkan, perusahaan akan tetap menerapkan tarif interkoneksi baru tersebut sejauh terjadi kesepakatan antar operator secara B2B (bisnis ke bisnis).
Indosat memandang bahwa kebijakan Menkominfo tentang penurunan tarif interkoneksi sebesar rata-rata 26 persen merupakan kebijakan prorakyat, karenanya harus didukung oleh semua pihak.
Dengan penurunan tarif interkoneksi ini, masyarakat akan dapat menikmati layanan telekomunikasi dengan harga yang lebih terjangkau, mendorong industri telekomunikasi lebih efisien, serta menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat.
Operator seluler PT XL Axiata Tbk (XL) juga mendukung Kementerian Kominfo menurunkan tarif interkoneksi demi kepentingan masyarakat pengguna telekomunikasi, pemerintah dan industri.
Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini mengatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika harus melihat kepentingan seluruh stakeholder. Kalaupun ada pihak yang menolak penurunan tarif intekoneksi dan mengkaitkannya dengan operator asing, itu tidak relevan.
Kementerian Kominfo seharusnya tidak bisa didikte oleh siapapun, jika ada penolakan atas kebijakan tersebut bisa saja mengajukan keberatan, namun peraturan tetap harus dijalankan.
Dian mempertanyakan, ada operator yang berdalih akan menderita kerugian hingga Rp50 triliun jika terjadi penurunan tarif interkoneksi, dan menguntungkan operator yang sahamnya dimiliki asing.
Jadi isu interkoneksi dikaitkan dengan nasionalisme dan asing itu tak tepat karena murni bisnis antaroperator, bukan soal nasionalisme. Secara logika jika biaya interkoneksi diturunkan maka beban operator juga akan menurun.
Operator yang lebih besar tentunya memiliki trafik juga besar, sehingga biaya per unit setiap panggilan seharusnya semakin kecil. Jadi operator besar harus lebih efisien. Untuk itu Kementerian Kominfo harus bisa membuat kebijakan yang seimbang bagi semua pelaku industri.
Bagi XL penurunan tarif interkoneksi 26 persen juga tidak memuaskan. Tetapi semua pihak butuh kepastian untuk investasi ke depannya dan menerima itu sebagai sebuah kebijakan.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) menyayangkan ditundanya pemberlakuan tarif baru interkoneksi oleh pemerintah dan mendukung tarif interkoneksi baru yang akan memberikan lebih banyak keleluasaan bagi operator.
Interkoneksi adalah keniscayaan dalam era multi operator sesuai dengan perundangan yang berlaku. Dengan menurunkan biaya interkoneksi, pemerintah dapat membantu operator telekomunikasi dalam menyediakan layanan yang lebih terjangkau.
Keterjangkauan biaya tersebut akan membuat layanan komunikasi lebih banyak diakses oleh konsumen sehingga layanan telekomunikasi akan lebih menjangkau masyarakat secara keseluruhan.
APJATEL melihat tarif interkoneksi baru akan memberikan lebih banyak keleluasaan bagi operator untuk memberikan harga yang lebih terjangkau sehingga dapat menyediakan pelayanan yang lebih baik.
Sejalan dengan hak konsumen akan kenyamanan seperti yang terdapat pada UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, pasal 4 (a) menyatakan, hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Selain itu, penurunan tarif interkoneksi diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi konsumen untuk menggunakan layanan telekomunikasi.