Kendari (Antara News) - Sejak Konawe menjadi salah satu kabupaten otonom di Sulawesi Tenggara (Sultra) di tahun 1995, kabupaten tersebut telah menjadi lumbung beras di provinsi itu.

Bahkan di era Orde Baru, Kabupaten Konawe pernah lima tahun berturut-turut menyumbang pada ketersediaan stok pangan nasional sebanyak 60.000 ton beras.

Namun predikat sebagai lumbung pangan Sultra tersebut meredup setelah wilayah bagian selatan kabupaten Konawe, mekar menjadi Kabupaten Konawe Selatan di tahun 2003.

"Ketika wilayah Selatan Konawe mekar menjadi kabupaten otonom, maka sebagian besar lahan persawahan di Konawe beralih menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Konawe Selatan," kata Bupati Konawe, Kery Konggoasa di Kendari, belum lama ini.

Makanya ujar Kery, produksi beras para petani Konawe ketika itu menurun drastis sehingga tidak bisa lagi menyumbang pada ketersedian stok pangan nasional meski untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Konawe masih surplus.

Bahkan saat ini Kabupaten Konawe menjadi salah satu dari tiga kabupaten di Sultra yang masuk kategori kabupaten tertinggal versi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. "Saya tidak paham dari sisi mana Bapenas mengelompokan Konawe sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia, sebab dilihat dari aspek pendapatan petani, Konawe mestinya tidak tertinggal lagi," kata Bupati Kery.

Dulu katanya, produksi padi petani Konawe hanya berkisar antara 4,4 ton hingga 6,6 ton per hektare.

Saat ini, produksi padi di Konawe sudah mencapai tujuh ton hingga sembilan ton gabah kering giling per hektare. "Meningkatnya produksi padi para petani ini tentu diikuti pula dengan membaiknya pendapatan petani dan kesejahteraan keluarga petani," katanya.

                                               Lumbung Pangan

Pemerintah Kabupaten Konawe kini bertekad untuk mengembalikan predikat Konawe sebagai lumbung pangan Sultra, bahkan lumbung pangan nasional.

Dalam upaya mengembalikan Konawe sebagai sebagai lumbung pangan Sultra tersebut, pemerintah setempat sejak beberapa tahun terakhir terus menggenjot pembangunan sektor pertanian dan meningkat keterampilan bertani bersosok tanam serta menangani produksi padi pascapnanen.

"Pemerintah Konawe bersama seluruh elemen masyarakat, harus berkomitmen untuk menjaga lahan-lahan persawahan di Konawe agar tidak dialihfungsikan bagi kepentingan lain," kata mantan Bupati Konawe dua periode itu Lukman Abunawas.

Dengan komitmen tersebut katanya, Konawe yang pernah catatkan sejarah sebagai penyumpang stok pangan nasional, diyakini dapat meraih kembali predikat sebagai lumbung pangan Sultra, bahkan nasional.

Tanda-tanda tersebut telah tampak pada kinerja pembangunan sektor pertanian yang sudah mulai menggembirakan, baik dilihat dari sisi produksi maupun dari indikator tingkat pendapatan petani, ujar Lukman yang juga Sekda Provinsi Sultra itu.

Beberapa tahun, Konawe menjadi daerah produksi padi terbesar di Sultra dan mampu menjadi pemasok kebutuhan penyaluran beras sejahtera pada beberapa kabupaten kepulauan di Sultra.

"Tahun 2015, Konawe menjadi penyumbang produk padi terbanyak di Sultra sebesar 234.169 ton atau sekitar 35,44 dari total produksi beras 17 kabupaten/kota di Sultra," katanya.

Upaya Pemerintah Kabupaten Konawe tersebut mendapat apresiasi dari tokoh masyarakat Konawe yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sultra, H Litanto.

Menurutnya, potensi lahan persawahan di Konawe cukup besar sehingga bila dikelola secara optimal, Konawe bukan hanya bisa menjadi lumbung pangan Sultra tapi juga lumbung pangan nasional. "Khusus di kawasan bendungan Wawotobi, potensi lahan persawahan mencapai 21.000 hektar, namun yang digarap baru sekitar 10.000 hektar," katanya.

Tentu ujarnya, bila potensi lahan perswahan tersebut dimanfaatkan secara optimal, maka produksi beras yang dihasilkan petani Konawe akan lebih banyak lagi.

                                                        Pupuk organik

Kadis Pertanian Sultra, Muhammad Nasir mengimbau seluruh petani di wilayah kabupaten itu, agar menggunakan pupuk organik dalam memberi pupuk tanaman pertaniannya.

Itu karena pupuk organik selain mudah didapat juga bisa meningkatkan produksi pertanian yang tidak kalah dengan pupuk berbahan zat kimia. "Produksi beras yang dihasilkan dengan menggunakan pupuk organik, juga lebih terjamin kemanannya bagi konsumen bila dibandingkan dengan produksi pertanian yang memakai pupuk organik," katanya.

Penggunaan pupuk organik yang bersumber dari kotoran hewan ternak, tidak merusak kondisi tanah seperti pada penggunaan pupuk kimia.

Bahkan, penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan dapat mengembalikan kesuburan tanah lebih baik dari pupuk berbahan zat kimia dan meningkat produktivitas tanaman lebih tinggi. "Oleh karena itu, kami harapkan para petani Konawe tidak enggan menggunakan pupuk organik untuk lahan pertaniannya, sehingga produksi beras yang dihasilkan dapat menjamin keamanan kesehatan konsumen," kata Nasir.

Menurut Nasir, di era perdagangan bebas seperti sekarang ini, produksi pertanian yang bisa diterima pasar, hanya produk-produk pertanian yang sehat dan bebas dari penggunaan pupuk kimia.

Sementara itu, salah seorang petani sawah di Pondidaha, Jaharuddin (37) mengaku para petani di desanya belum mengetahui teknologi penggunaan pupuk organik pada tanaman sawah. "Sumber pupuk organik dari kotoran hewan seperti kotoran sapi, cukup banyak di Pondidaha, namun kami para petani belum mahir mengolah kotoran hewan menjadi pupuk organik," katanya.

Mampukah Konawe mengembalikan kejayaan pangan Sultra seperti di masa Ode Baru, waktulah yang akan menjawabnya kelak.

Yang pasti tanda-tanda Konawe akan kembali menjadi lumbung pangan Sultra, bahkan nasional kini mulai tampak.

Tahun 2015, Konawe menjadi penyumbang produk padi terbanyak di Sultra sebesar 234.169 ton atau sekitar 35,44 dari total produksi beras 17 kabupaten/kota di Sultra.

Pewarta : Azis Senong
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024