Jakarta (Antara News) - Isu memang bisa membakar amarah bahkan memecah-belah bangsa. Itulah yang menjadi pemicu Tragedi 1965 tatkala muncul isu bahwa kalangan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang disebut-sebut menyebut diri "Dewan Jenderal" akan melakukan kudeta atas pemerintahan Presiden Soekarno.

         Sementara sebagian kalangan TNI Angkatan Darat lain, termasuk Tjakrabirawa yang merupakan pasukan pengamanan Presiden Soekarno, yang disebut-sebut sebagai "Dewan Revolusi" melawan "Dewan Jenderal".

         Mereka pada Jumat dinihari 1 Oktober 1965 menculik hingga membunuh enam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yakni Jenderal (anumerta) Ahmad Yani yang saat terakhir hidupnya menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letjen (anumerta) Suprapto, Letjen (anumerta) MT Haryono, Letjen (anumerta) Siswondo Parman, Mayjen (anumerta) DI Panjaitan, Mayjen (anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten CZI (anumerta) Pierre Tendean yang merupakan ajudan dan mengaku Jenderal Abdul Haris Nasution untuk menyelamatkan Nasution yang saat itu menjabat Menhankam dari aksi penculikan di rumahnya.  

         Aksi berdarah itu membuat Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mengambil alih pasukan TNI Angkatan Darat. Ketujuh jenazah ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Mereka pun dijuluki Pahlawan Revolusi.

         Soeharto yang dilantik menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Ahmad Yani, memimpin operasi penangkapan bahkan pembunuhan terhadap siapa saja yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memberangus partai itu.

         Ia menyebut peristiwa itu sebagai G30S/PKI meskipun faktanya aksi tersebut terjadi pada 1 Oktober 1965. Justru sejak itu hingga kini tiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

         Penangkapan dan pembunuhan besar-besaran atas siapa saja yang diduga terlibat PKI berlangsung hingga 1966 terlebih setelah Soeharto dilantik MPRS menjadi Presiden RI pada 12 Maret 1967 menggantikan Soekarno. Inilah yang membuat sejaran bangsa Indonesia makin kelam karena mereka "diperangi" rezim tanpa proses peradilan hukum.

         Rezim Orde Baru tampil melakukan koreksi total atas Orde Lama pimpinan Soekarno. Orde Baru yang sentralistik dan otoriter pun berakhir pada 1998 dengan kelahiran Orde Reformasi.

         Namun hingga kini Tragedi 1965 merupakan beban sejarah. Pemerintahan Presiden Joko Widodo tak ingin terus menerus memikul beban sejarah dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

         Pemerintah melalui Kementerian Polhukam beserta Komnas HAM dan Dewan Pertimbangan Presiden menyelenggarakan Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Sejarah" di Jakarta pada 18-19 April 2016 untuk menghasilkan berbagai rekomendasi kepada pemerintah.

         Simposium itu dihadiri sekitar 200 orang dari berbagai kalangan, baik korban, pelaku, aktivis, organisasi masyarakat dan lainnya, termasuk Catherine Panjaitan, salah satu keluarga DI Panjaitan.

         Sementara kalangan menilai bahwa cara militer membasmi PKI disebut sebagai pelanggaran HAM berat.

         Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir bulan bulan lalu menegaskan bahwa pemerintah serius dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat terkait dengan peristiwa G30S-PKI namun belum didapat alat bukti untuk mendukung proses pengadilan kasus ini.

         Luhut menegaskan bahwa pemerintah sangat serius dalam menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM supaya Indonesia tidak terus direcoki oleh beban masa lalu dan masalahnya dipolitisasi pihak-pihak tertentu di luar negeri.

         Luhut menyebut simposium itu menjadi langkah untuk menyelesaikan persoalan Tragedi 1965 secara menyeluruh. Dari simposium itu bakal muncul masukan-masukan untuk menyelesaikan masalah.

         Pemerintah ingin menyelesaikan persoalan yang merupakan bagian dari sejarah kelam bangsa yang harus dituntaskan.

                                                                                    Korban jutaan dan permohonan maaf?
         Persoalan sentral dari tragedi itu adalah benarkah korban pembunuhan siapa saja yang terlibat PKI itu mencapai jutaan orang? Selain itu apakah pemerintah bersedia menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban?

         Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan pada simposium itu memastikan korban tragedi 1965 tidak sampai jutaan jiwa. Sintong adalah salah seorang tokoh prajurit pasukan elit Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD (kini Kopassus) menceritakan Presiden Soekarno sempat membentuk komisi pencari fakta untuk menghitung jumlah korban pembantain.

         Menteri Dalam Negeri ketika itu, Mayjen Soemarno, yang menjadi ketua komisi pencari fakta, melaporkan korban ada 80 ribu orang sedangkan dan angka korban 500 ribu pertama kali keluar dari Oei Tjoe Tat (pembantu Presiden Soekarno).    

         Sintong menilai angka-angka itu tidak masuk akal karena RPKAD waktu itu hanya memburu para pemimpin PKI. Pasukan RPKAD memang sempat diterjunkan ke berbagai daerah yang diduga menjadi basis PKI dan RPKAD dibantu berbagai organisasi kemasyarakatan tetapi RPKAD hanya menangkap para tokohnya.

         Tokoh PKI yang ditangkap ada dua kategori yaitu pasif dan aktif. Ia mengaku jika tokoh itu pasif maka mereka akan dilepaskan. RPKAD tidak hanya melakukan operasi tetapi harus melindungi masyarakat juga, baik PKI atau bukan.

         Sementara psikolog Risa Permanadeli mengatakan Tragedi 1965 itu bukan masalah angka tetapi peradaban pembantaian tersebut yang akan terus diwariskan kepada generasi seterusnya.

         Masalahnya tragedi ini sudah berlangsung 50 tahun dan belum pernah ada penyelesaiannya secara tuntas dan menyeluruh. Sejarah itu masih tersimpan dan sebagian masih menjadi misteri bagi warga negara Indonesia.

         Hal yang menarik, Komnas HAM beranggapan kasus pelanggaran HAM berat pada 1965 merupakan perhatian pertama dan utama pemerintah. Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam rapat bersama Komisi III DPR di Jakarta, Senin (19/4), menyatakan simposium itu konstruktif dan bisa menjadi awal untuk pengungkapan kebenaran dan penyelesaian pelanggaran HAM berat 1965.

         Perjalanan untuk mengungkap dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat 1965 sangat panjang. Komnas HAM juga mendorong agar penyelesaian pelanggaran HAM berat bisa menjadi agenda nasional. Komnas sedang mendorong penyelesaian menggunakan pendekatan nonyudisial tanpa menghentikan proses yudisial yang seharusnya berjalan.

         Lalu apakah pemerintah perlu memohon maaf kepada keluarga korban PKI? Ketua Sekber 65 Winarso mengatakan pemerintah Indonesia tidak perlu meminta maaf mengenai peristiwa tersebut tetapi pemerintah perlu memenuhi hak-hak para korban.

         Winarso menegaskan pihaknya tidak perlu memaksakan pemerintah untuk meminta maaf. Yang penting mereka bertanggung jawab untuk memenuhi hak korban seperti pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. Selain itu, pemerintah juga perlu merehabilitasi nama baik para korban serta memberikan kompensasi sesuai kemampuan negara.

         Sebenarnya secara tidak langsung pemerintah telah memberikan kompensasi seperti dana kesehatan. Perhatian atas hal yang sekecil itu sudah merupakan hal besar bagi korban.

         Sementara itu ada pula sementara kalangan yang menolak penyelenggaraan simposium itu. Penolakan misalnya datang dari Front Pancasila yang melakukan unjuk rasa di sekitar Patung Tugu Tani, Jakarta Pusat, ketika simposium berlangsung di sebuah hotel di seberang Patung Pak Tani. Massa mengkhawatirkan simposium ini menjadi ajang kembalinya PKI.

         Pengunjuk rasa berdalih PKI merupakan pemberontak yang sudah mengakibatkan banyak korban jiwa. Rekonsiliasi juga sudah berlangsung secara alami.  PKI menghalalkan segala cara, tidak boleh diberikan ruang hidup.

         Ali Hamzah selaku koordinator pengunjuk rasa menyebutkan enam alasan Front Pancasila menolak simposium itu. Pertama, simposium dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan legitimasi bahwa PKI merupakan korban pelanggaran hak Azasi Manusia (HAM). Kedua, simposium dimanfaatkan  untuk menekan pemerintah agar menyatakan permintaan maaf, memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap eks PKI. Ketiga, simposium dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali paham komunis yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

         Keempat, simposium hanya akan membuka luka lama sejarah sehingga menimbulkan perpecahan baru. Kelima, rekonsiliasi telah berjalan alamiah dan tidak dapat dipaksakan sehingga para anggota PKI telah hidup damai dan bermasyarakat. Keenam, hak-hak politik dan perdata para anggota PKI serta keturunannya telah dikembalikan, antara lain, ditunjukkan dengan penghilangan tanda ET (eks tahanan politik) pada kartu tanda penduduk (KTP) dan ada yang menjadi anggota dewan bahkan kepala daerah.

         Pemerintah melalui Menkopolhukam mengatakan untuk menyelengarakan simposium tersebut bukanlah proses mudah karena banyak reaksi seolah pemerintah telah dipengaruhi komunis dan lainnya.

         Bagaimanapun mengakhiri beban sejarah perlu dilakukan. Presiden Joko Widodo juga menginginkan kasus HAM tersebut harus diselesaikan. Semangat Presiden Joko Widodo adalah transparansi, dan Bangsa Indonesia harus berani untuk menerima realitas.

         Terpenting peristiwa kelam itu jangan sampai terulang lagi. Sudah cukup sejumlah aksi pemberontakan atau pelanggaran HAM pada sejarah masa lalu. Tatap masa depan bangsa yang lebih maju dan sejahtera serta bersatu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu harga mati.

Pewarta : Budi Setiawanto
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024