Jakarta (Antara News) - Bergulirnya usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi awal Februari ini bukan yang pertama.

        Isu pelemahan KPK melalui revisi juga selalu muncul meskipun selalu dibantah oleh DPR RI dan Pemerintah. Bahkan, kedua pihak tersebut menyatakan revisi bertujuan memperkuat KPK.

        Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, misalnya. Dia mempertanyakan poin pelemahan KPK dalam rencana revisi UU KPK kali ini.

        "Kalau empat poin yang dimaksud, saya tanya mana yang melemahkan dan melemahkan di mana?" katanya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (12/2).

        Luhut menilai keempat poin revisi diperlukan, salah satunya untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) terkait dengan poin wewenang penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK.

        Mantan Kepala Staf Kepresidenan RI tersebut mendukung keinginan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat KPK dengan revisi tersebut.

        Setali tiga uang, PDI Perjuangan sebagai pengusul revisi UU KPK beranggapan rancangan revisi yang ada saat ini sudah relatif cukup baik.

        Untuk itu, PDI Perjuangan menegaskan tidak akan mengubah rancangan revisi. "Mau diubah ke mana lagi?" kata perwakilan pengusul revisi UU KPK dari PDI Perjuangan Ichsan Soelistyo.

        Di luar kepercayaan diri para penyelenggara negara tersebut, sejumlah pengamat menilai lahirnya KPK menimbulkan resistensi yang kemudian melahirkan upaya pelemahan. Hal tersebut telah terjadi pada KPK jilid-jilid sebelumnya.

    
Wacana Revisi Sebelumnya
   Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat upaya melakukan revisi UU No. 30/2002 muncul sejak 2010 dan merupakan regulasi yang paling alot pengusulan dan pembahasannya.

        Pada tanggal 4 Oktober 2012, Rapat pleno Komisi III DPR RI menyetujui untuk melanjutkan naskah RUU Perubahan UU tentang KPK. Akan tetapi, pada tanggal 16 Oktober 2012, Panitia Kerja (Panja) revisi UU KPK akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan revisi tersebut.

        Tiga tahun kemudian, yakni awal Oktober 2015, beredar naskah Revisi UU KPK yang diduga berasal dari gedung parlemen di Senayan. Akan tetapi, Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.

        Selanjutnya, pada tanggal 1 Februari 2016 revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR RI.

        ICW mencatat masing-masing usulan pada tahun 2012, 2015, dan 2016 tidak banyak berubah.

        "Dewan Pengawas, kewenangan Dewan Pengawas, dia mengizinkan penyadapan, terus nanti izin ke pengadilan. Kewenangan-kewenangan dibatasi jadi tidak bisa bebas, masih sama," tutur Koordinator Investigasi ICW Tama Satria Langkun di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/2).

        Adanya usulan Dewan Pengawas dalam revisi membuat Satria khawatir kewenangan Dewan Pengawas bertabrakan dengan pimpinan KPK.

        Peneliti ICW Aradila Caesar berpendapat bahwa usulan Dewan Pengawas sebelumnya tidak santer. Akan tetapi, pada tahun ini justru menjadi isu utama karena wewenangnya yang menjadi lebih luas dalam rancangan revisi kali ini.

        "Dewan Pengawas dibentuk Presiden dan pertanggungjawabannya kepada Presiden, kewenangan cukup luas. Dia mengevaluasi kinerja pimpinan juga," ucapnya.

        Usulan sebelumnya, kata dia, permintaan izin penyadapan di pengadilan. Dalam konteks itu, setelah pengadilan memberikan izin, KPK tidak memberikan laporan pertanggungjawaban atas penyadapan tersebut, sedangkan usulan revisi sekarang, setelah komisioner KPK meminta izin penyadapan, dia juga harus mempertanggungjawabkannya ke Dewan Pengawas.

        Lebih lanjut, bentuk-bentuk "perlawanan balik koruptor" dipaparkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar ke dalam bentuk pelemahan melalui hukum, misalnya melalui "judicial review" ke Mahkamah Konstitusi dan praperadilan dan bentuk kriminalisasi terhadap komisioner maupun petugas pelaksana, misalnya dalam kasus Bibit Candra, BW-AS, dan Novel Baswedan.

        Ia menuturkan bahwa pelemahan lain melalui jalur hukum terlihat dalam pemisahan UU KPK dengan UU Pengadilan Tipikor dan diperluasnya kewenangan PN Tipikor mengadili perkara korupsi yang tidak hanya ditangani KPK.

        Selanjutnya, dalam bentuk perebutan atau klaim kewenangan penanganan kasus dan terakhir dalam bentuk pelemahan, bahkan upaya pembubaran melalui perubahan regulasi di DPR, yakni revisi UU KPK yang coba dilakukan beberapa kali.

        "Sejarah mencatat sudah beberapa kali dilakukan upaya pelemahan melalui perubahan UU KPK, bahkan upaya pembubaran berupa usulan pembatasan eksistensi KPK hanya 12 tahun ke depan," kata Abdul.

        Keinginan kuat merevisi UU KPK, menurut dia, juga dapat dilacak dalam beberapa realita yang terjadi, di antaranya berulangnya kasus Cicak versus Buaya ketika oknum dari Kepolisian RI tersentuh KPK dan munculnya pernyataan KPK harus diawasi.

        Realitas tersebut, kata dia, yang menggambarkan konsteks revisi adalah pelemahan, bukan penguatan.

        Dari empat poin revisi yang diusulkan DPR, yakni pembentukan Dewan Pengawas KPK, pemberian wewenang SP3, penyadapan yang dibatasi, dan hilangnya wewenang KPK merekrut penyelidik dan penyidik sendiri, menurut Abdul, tampak jelas berupa upaya pelemahan lembaga antirasuah itu.

    
Tidak Perlu Revisi
   Daripada melemahkan, revisi UU KPK tidak dianggap perlu untuk dilakukan.

        KPK dalam surat yang dikonsepkan oleh Tim Biro Hukum ke Baleg menegaskan bahwa UU KPK yang ada sekarang sudah cukup mendukung operasional kegiatan KPK sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.

        KPK pun menyarankan DPR bersama dengan pemerintah untuk lebih mendahulukan pembahasan dan penyusunan beberapa UU terkait dengan pemberantasan korupsi, yaitu: (a) amendemen UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (b) penyusunan UU Perampasan Aset sebagai implementasi atau tindak lanjut dari UU 7/2006 tentang ratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC); dan (c) Harmonisasi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

        Setali tiga uang, Aradila berpendapat bahwa revisi UU KPK tidak diperlukan dan menyarankan DPR fokus mengamendemen konstitusi untuk memasukkan KPK di UUD 45.

        "KPK sifatnya sementara, dengan dimasukkan dalam konstitusi akan menjadi permanen dan menguatkan sehingga tidak bisa lagi ada usulan membubarkan," tutur dia.

        Jika harus dilakukan revisi, lanjut dia, penguatan yang dapat dilakukan adalah memperkuat penyidik dan penyelidik independen dan memberikan izin KPK mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri karena hingga kini masih muncul perdebatan wewenang KPK dalam hal tersebut.

        "Konteks harus dipertegas peraturan pemerintah untuk sumber daya manusia di KPK. Tinggal di-'rigid'-kan saja, tidak perlu masuk ranah revisi," ucap Aradila.

        Selain itu, penguatan yang dapat dilakukan adalah membentuk perwakilan KPK di daerah agar KPK lebih mudah menangani kasus korupsi di daerah.

        Terdapat sejumlah alasan Presiden menolak revisi, yakni tidak adanya alasan mendesak merevisi, tidak adanya persetujuan rakyat berdasarkan survei-survei, secara substansi melemahkan KPK, dan dalam DPR terdapat tiga fraksi yang menyatakan revisi tidak menguatkan KPK.

        "Semua upaya pelemahan KPK harus segera ditolak," katanya.

Pewarta : Dyah Dwi Astuti
Editor :
Copyright © ANTARA 2024