Kritik-mengkritik dalam alam politik demokratis selalu dimaknai sebagai keniscayaan dan mendukung iklim berpolitik yang sehat karena fenomena itu juga menjadi katub pengaman bagi munculnya kekerasan politik.

         Pengalaman bernegara yang dipraktikkan oleh rezim otoriter mengajarkan bahwa penindasan terhadap suara-suara yang berisi jeritan atau aspirasi politik hanya melahirkan bom waktu, yang akan meledak dalam bentuk kekerasan revolusioner, yang memakan korban tak tanggung-tanggung.

         Atas dasar argumen klasik itulah apa yang diperlihatkan di panggung perhelatan Rakernas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Jakarta, 10-12 Januari 2016, dapat dimengerti sekalipun sejumlah pengamat politik menilai ada sejumlah anomali di dalamnya.

         Yang menilai dengan keberatan atas apa yang dilakukan PDI-P dalam forum itu antara lain pengamat politik dari Poltracking Hanta Yuda, yang menganggap PDIP belum berperan layaknya partai pengusung yang menghormati hak prerogatif Presiden.

         Pernyataan yang dikeluarkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam forum Rakernas itu antara lain berupa ktitik keras terhadap kebijakan yang diambil oleh Menteri BUMN.

         Dalam penilaian pengamat, PDIP sebagai partai pengusung selayaknya tak mendorong presiden untuk melakukan perombakan kabinet karena hal itu bisa dimaknai sebagai intervensi parpol terhadap hak prerogatif presiden.

         Dalam belantara percaturan wacana politik sebelumnya, desakan terhadap presiden untuk melakukan perombakan kabinet memang cukup kuat. Dalam situasi seperti itu, ketika parpol pengusung presiden mengemukakan kritiknya terhadap seorang menteri, pengamat dan publik pun dengan mudah membaca arah dari kritik yang disampaikan oleh parpol pengusung itu.

         Sesungguhnya, yang lebih perlu diperdebatkan lebih jauh bukan apa makna krtik itu tapi kebenaran substansi kritik itu sendiri.

         Substansi kritik yang dikemukakan Megawati itu antara lain berbunyi sebagai berikut: BUMN memiliki fungsi dan alat untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi berbeda dari yang terjadi saat ini, BUMN hanya diperlakukan seperti korporasi swasta yang mengedepankan bisnis semata.

         Dari pernyataan itu, sejumlah pertanyaan fundamental bisa dimunculkan. Apakah korporasi swasta selalu buruk bagi peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Mengapa justru negara-negara yang berhasil memakmurkan rakyatnya justru cenderung melakukan swastanisasi atas perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh negara?.

         Pertanyaan-pertanyaan ini mengembaikan ke paradigma pembangunan yang lebih mendasar. Dalam banyak kasus, perusahaan yang dikelola secara bisnis, jauh dari intervensi politik, justru perusahaan yang paling kompetitif dan menyumbang pajak besar bagi negara.

         Perusahaan yang dikelola negara seringkali salah urus karena banyaknya kepentingan politik yang bercokol di sana. Persoalan bagi parpol di Tanah Air memang bagaimana memberikan posisi-posisi yang memberikan keuntungan finansial sebagai balas jasa politik bagi para aktor politik, entah itu politisi sejati atau aktivis yang hendak memasuki kehidupan politik.

         Kecenderungan mulai mengalirnya para aktivis yang dijadikan komisaris di BUMN belakangan ini sebetulnya merupakan antitesis atas penilaian bahwa BUMN dikelola sebagai korporasi swasta.

         Fenomena ini boleh jadi merupakan tenggang rasa dari pengambil kebijakan di kementerian BUMN untuk mengakomodasi desakan politik yang menimpanya. Jika BUMN itu dikelola secara bisnis murni, dewan pengawas atau dewan komisaris BUMN selayaknya bukan dari kalangan aktivis sosial politik yang tak profesional dalam jagat korporasi.

         Menghadapi kritik atau tekanan parpol, terutama parpol pengusungnya, Presiden Joko Widodo agaknya tak terlampau reaksioner. Itu terlihat antara lain dari ketenangannya untuk tidak menanggapi kritik yang disampaikan kepadanya.

         Barangkali yang terpenting adalah Presiden juga tak perlu mengikuti desakan yang kurang proposional dari para pengkritiknya, terutama yang menyangkut pergantian pembantu-pembantunya di kabinet.

         Fenomena kepresidenan Jokowi ini bagi penganjur kemerdekaan dan keterbukaan bersuara tentu cukup mengasyikkan. Di masa inilah seorang presiden sering mendapat kritik dari partai pengusungnya. Tentu kenyataan ini jauh bertolak belakang dengan era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.

         Perbedaan itu tentu berakar pada perbedaan esensial kedua parpol itu, di mana posisi sentral Jokowi di parpol di pegang bukan oleh dirinya sendiri, sementara SBY memegang dan sanggup mengendalikan posisi kekuasaan sentral di parpolnya.

         Tanpa dukungan penuh dan penyerahan amanah secara ikhlas dari parpol pengusungnya, Jokowi tentu wajar jika berhadapan dengan oligarki kepentingan yang kendalinya bukan di tangannya sendiri. Itu kentara terutama di tahun pertama pemerintahnnya.

         Kini, kemantapan kekuasaan politiknya setidaknya mengalami kemajuan dengan semakin banyaknya parpol yang mulai merapat dan siap mendukung kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

         Namun, PDIP sebagai parpol pengusung agaknya belum nyaman dengan konstelasi politik yang justru menguatkan posisi Jokowi itu. Kritik terbuka terhadap kebijakan Presiden masih lantang disuarakan.

         Bagi kepentingan keterbukaan bersuara, itu bukan kekurangan. Bahkan merupakan kemajuan dibandingkan dengan intrik-intrik politik yang berlangsung di ruang-ruang gelap politik.

         Namun jika dosis kritik yang disampaikan oleh parpol pengusung itu berpretensi hendak merongrong independensi presiden terutama yang menyangkut hak-hak prerogatifnya, kritik itu berpeluang menjadi awal destruksi bagi parpol itu sendiri.

         Indikator untuk mengukur sebuah kritik itu merongrong atau bukan bisa dilihat dari derajat kerasionalan atas argumen di balik kritik yang disuarakan parpol itu. Artinya, selama kritik itu disandarkan pada kebijakan, bukan pelaku kebijakan, selama itu pula kritik tersebut belum melewati indikator kerasionalan yang bisa diterima.

Pewarta : M Sunyoto
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024