Rumbia (Antara News) - Ketua Badan Kontak Majelis Ta`lim Provinsi Sulawesi Tenggara, Hj Masyhura Illa Ladamay mengatakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 masih berlaku secara parsial karena tidak jelas dicantumkan perlindungan bagi konsumen muslim.

"UUPK belum melindungi semua konsumen sebab masih ada hal lain yang perlu mendapat perhatian khususnya konsumen muslim yang membutuhkan terbebasnya mengonsumsi barang-barang yang haram zat-nya maupun haram prosesnya," tutur Masyhura di Rumbia, Kamis.

Menurut Masyhura, perlindungan kepada konsumen muslim dalam pandangan Islam terbagi dua yaitu produk yang haram zat-nya yaitu akan mudah dikenali oleh masyarakat, dan yang prosesnya haram yaitu sulit diketahui, sehingga menimbulkan keresahan.

"Salah satu contoh adalah produk yang mengandung gelatin dari babi. ini sangat sulit untuk ketahui oleh masyarakat," imbuhnya.

Kadang juga lanjut Masyhura terdapat produk halal, tetapi bisa jadi ia haram karena prosesnya, seperti memperjualbelikan bangkai ayam atau menyembelih hewan yang tidak memenuhi ketentuan Islam

Dalam Hadist Riwayat Bukhari Muslim, lanjut Masyhura disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda ,"Perkara hala itu jelas dan perkara haram juga jelas. Diantara keduanya ada perkara-perkara Syubhat, yang tidak diketahui banyak orang. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara Syubhat, ia telah menyelematkan kehormatan dan agamanya.

Sebaliknya lanjut dia, barang siapa yang terlibat dalam perkara Syubhat dia terperosok dalam perkara haram, seperti penggembala yang mengembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang (padang rumput milik seseorang) yang ia hampir saja masuk kedalamnya".

"Perkara Syubhat itu terdapat empat yaitu keraguan tentang sebab yang mengharamkan dan menghalalkan, Keraguan yang munculnya karena pencampuran, keraguan karena pencampuran maksiat dengan sebab yang menghalalkan dan keraguan karena perbedaan dalam dalil," terang Masyhura.

Masyhura mencontohkan pengonsumsi daging di Indonesia mayoritas adalah beragama Islam, meskipun ilmiahnya daging tersebut layak dikonsumsi, tetapi masih membutuhkan persyaratan lain untuk menenteramkan bathin.

"Hal seperti inilah yang perlu menjadi perhatian bagi para pelaku usaha untuk semaksimal mungkin melakukan standar pengawasan perdagangan mulai dari proses penyembelihan sampai pemasarannya," tandas Wakil Bupati Bombana ini.

Secara umum kata Masyhura, UUPK masih belum menyentuh hal-hal prinsip tersebut di atas, masih fokus pada sisi fisik barang dan jasa belum secara utuh tersentuh pada kehalalannya.

Meskipun tingkat kehalalaln telah diatur oleh BP-POM dan MUI, akan tetapi itu belum menjamin sebab untuk menentukan halal itu harus dilakukan secara terintegrasi mengingat mayoritas konsumen di Indonesia adalah muslim," tandasnya.

Untuk menentukan tingkat kehalalalan sambung Masyhura, pemerintah perlu membentuk sebua lembaga perlindungan konsumen muslim sehingga kehalalan barang yang dikonsumsi dapat terjamin.

Pewarta : Oleh Azis Senong
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024