Jakarta (Antara News) - Gejolak praperadilan yang terus bergulir di tengah masyarakat akibat perbedaan hukum acara yang dipahami hakim dalam memutus perkara praperadilan rupanya dipandang berbagai pihak sebagai ancaman bagi penegakan hukum di Indonesia.

        Selain dianggap kontraproduktif dengan kinerja lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan kejaksaan, putusan beberapa hakim dinilai cukup kontroversial karena sudah mendasarkan pada materi pokok perkara.

        Sebut saja putusan hakim Sarpin Rizaldi pada tanggal 16 Februari 2015 yang memenangkan gugatan praperadilan Komjen Polisi Budi Gunawan dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan transaksi-transaksi mencurigakan dengan mendasarkan putusannya pada dua alat bukti yang tidak bisa diajukan KPK dalam sidang praperadilan.

        Selanjutnya, pada tanggal 12 Mei 2015 hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dalam dugaan korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi PDAM Makassar karena menganggap KPK tidak bisa menunjukkan bukti-bukti surat yang asli untuk menjadikan Ilham tersangka.

        Yang lebih menyita perhatian adalah hakim Haswandi yang putusan praperadilannya pada tanggal 26 Mei lalu berhasil meloloskan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dari jerat hukum dalam dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak PT BCA tahun pajak 1999 karena menganggap penyelidik dan penyidik KPK tidak sah dan tidak berwenang menangani perkara Hadi.

        Berbagai dasar putusan yang dikemukakan ketiga hakim tersebut lantas mendorong berbagai pihak untuk mendesak Mahkamah Agung (MA) bertindak demi menyikapi "karut-marut" praktik praperadilan belakangan ini.

        "Kami meminta agar dibuat Peraturan MA (Perma) karena MA memiliki fungsi regulator, yaitu terkait hukum acara karena MK sudah memperluas objek praperadilan sehingga ada dinamika hukum acara yang berubah, tetapi substansi hukum tidak berubah sama sekali," kata peneliti hukum pidana Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting.

        Dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/6), Miko Ginting menekankan, "Harus ada regulasi untuk praperadian yang mengatur bagaimana melakukan praperadilan."

        Menurut Miko, apa saja yang diatur, yaitu pertama, sejauh mana pembuktian bisa dilakukan dalam praperadilan, kedua sejauh mana hakim bisa memutuskan suatu perkara dalam praperadilan.

        Misalnya, pada gugatan Budi Gunawan hakim langsung masuk ke Pasal 11 UU KPK mengenai subjek hukum yang bisa ditangani KPK dan pada kasus Hadi Poernomo mengenai kewenangan penyelidik dan penyidik independen.

        Ketiga, lanjut dia, apa saja upaya hukum yang bisa dilakukan terkait dengan putusan praperadilan karena sebenarnya dalam hukum acara upaya itu tertutup, tetapi perlu ada upaya hukum terhadap praperadilan.

        Miko menuturkan bahwa dirinya dan rekan-rekannya sudah membuat konsep mengenai peraturan MA tersebut. Akan tetapi, jalan untuk mengajukan kepada MA masih tertutup.

        "Dari kami (koalisi) sudah ada yang membuat draf tinggal penyempurnaan. Akan tetapi, MA belum membuka pintu meski sudah meminta audiensi. Bahkan, laporan kami mengenai hakim Sarpin dan Haswandi juga belum ditindaklanjuti oleh KY," ungkap Miko.

        Untuk itu, dia mendorong Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA mengadakan monitoring terhadap proses praperadilan, khususnya perkara praperadilan yang ditangani Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

        Ia menilai penerbitan peraturan MA mengenai praperadilan penting bukan hanya untuk KPK, melainkani juga bagi penegak hukum lainnya.

        "Peraturan ini perlu diterapkan bukn hanya untuk kepentingan KPK, melainkan juga terkait dengan polisi dan kejaksaan. Ad berapa ribu orang dalam setahun yang ditetapkan sebagai tersangka dan berapa yang akan mengajukan praperadilan? Jadi, ini adalah untuk kepentingan penegakan hukum," tutur Miko.

        Bila banyak tersangka yang mengajukan prapeadilan, kata dia, pihak yang paling disulitkan adalah lembaga kehakiman itu sendiri.

        "Misalnya, terkait dengan penetapan tersangka, kemarin saja Ketua DPRD Lampung Utara dimenangkan dalm gugatan praperadilan," kata Miko.

        Sementara itu, kekecewaan diungkapkan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter karena menilai MA sebagai lembaga tertinggi praperadilan seperti resisten atau tidak berkutik terhadap gejolak praperadilan.

        "Mahkamah Agung rasanya agak absen karena setelah putusan Sarpin belum ada kebijakan dari MA terkait dengan peraturan praperadilan terutama tentang penetapan tersangka, padahal metode atau cara penemuan hukum yang diterapkan hakim Sarpin sebenarnya tidak sesuai atau melompat dari metode penafsiran hukum yang seharusnya," tuturnya dalam sebuah diskusi berjudul "Polemik Praperadilan dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi" di Jakarta, Rabu (17/6).

        Ia mengatakan bahwa ketidakjelasan peraturan praperadilan berpotensi melemahkan institusi penegak hukum, seperti KPK, karena dengan keterbatasan sumber daya manusia di KPK dikhawatirkan fokusnya sebagai lembaga penindakan korupsi akan terbagi hanya untuk mengurus gugatan praperadilan.

        Untuk itu, Lalola mendesak MA segera mengeluarkan peraturan untuk meredam gejolak praperadilan atas berbagai perbedaan putusan yang menunjukkan inkonsistensi para hakim dalam menangani perkara praperadilan.

        Sependapat dengan Lalola, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai kewenangan lembaga praperadilan yang diatur dalam KUHAP sangat sedikit, pasif, dan lemah sehingga perlu diperkuat dengan peraturan MA.

        "Sejumlah ahli dan praktisi mengatakan peraturan mengenai hukum acara praperadilan dalam KUHAP memang kurang memadai dan tidak jelas sehingga dalam praktiknya hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara perdata," ujarnya.

        Akibatnya, sering kali muncul kontradiksi di antara dua hukum acara, yaitu pidana dan perdata, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum.

        Masalah lain yang melingkupi praktik praperadilan, kata dia, adalah kurangnya sumber daya dalam penanganan perkara praperadilan.

        "Pengadilan tidak memiliki hakim yang ditunjuk secara khusus untuk menangani perkara praperadilan sehingga perkaranya menumpuk dengan perkara lainnya," katanya.

        Oleh karena itu, dia pun sepakat bahwa MA harus melakukan standardisasi hukum acara praperadilan guna memastikan konsistensi dan kepastian hukum, terutama untuk menghindari agar para tersangka kejahatan, termasuk korupsi, tidak mudah lolos dari jerat hukum dengan memanfaatkan gejolak praperadilan yang terjadi saat ini.

        Pendapat serupa dikemukakan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bahwa MA perlu mengeluarkan standar pelaksanaan sidang praperadilan dalam bentuk Perma agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum

        "Agar pemeriksaan praperadilan tidak terkesan beda-beda, perlu dibuatkan standar melalui Perma," katanya di Yogyakarta, Jumat (29/5).

        Menurut dia, standar tersebut, misalnya mengatur kualifikasi hakim praperadilan, batas waktu pelaksanaan praperadilan, hingga objek dalam pemeriksaan praperadilan.

        "Selama ini terkesan berubah-ubah dari praperadilan satu dengan yang lainnya karena memang tidak ada standarisasinya," kata Zainal.

    
                                 Tiga Opsi

        Berkaitan dengan peraturan dan standardisasi pelaksanaan praperadilan, hakim agung Gayus Lumbuun pun ikut angkat bicara.

        Ia, dalam beberapa diskusi publik dan kepada media, menyampaikan tiga opsi sebagai usulan yang dapat diambil MA dalam membentuk sebuah kebijakan atau peraturan terkait dengan praperadilan.

        "Yang pertama putusan Sarpin apakah bisa diterima MA? Kalau diterima, ya, terbitkan sikap resmi bahwa sikap hakim Sarpin bisa diterapkan oleh hakim lain dengan memperluas kewenangan praperadilan hingga masuk ke pokok perkara," tuturnya di Jakarta, Rabu (17/6).

        Opsi kedua, kata Gayus, yaitu MA dapat mengatur agar praperadilan harus tetap dijalankan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 10 KUHAP yang ditegaskan kembali dalam Pasal 77 hingga Pasal 83 KUHAP, yakni praperadilan hanya berwenang memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penuntutan, dan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya.

        "Apakah MA mengatur praper harus sesuai dengan KUHAP sambil menunggu revisi KUHAP selesai yang itu dapat memakan waktu lama hingga dua tahun," katanya.

        Pilihan ketiga, menurut Gayus, MA bisa memberikan kebebasan kepada hakim praperadilan untuk memilih antara tetap berpegang pada KUHAP dalam mengadili dan memutus perkara praperadilan atau menerapkan perluasan kewenangan praperadilan seperti yang dilakukan oleh hakim Sarpin dan kemudian diatur juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya memperluas kewenangan praperadilan dengan menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

        "Atau hakim dibebaskan untuk memilih apakah 'Sarpin effect' itu benar atau hakim yang berdasarkan KUHAP yang benar. Opsi ini didasarkan pada Pasal 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan dan tidak boleh diintervensi oleh siapa pun," tuturnya.

        Pasal tersebut mengatur bahwa dalam menjalankan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian pradilan berdasarkan independensinya masing-masing.

        Namun, Ayat (2) Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman itu juga mengatur bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

        Dengan demikian, kata Gayus, independensi hakim praperadilan tetap harus tunduk pada peraturan MA selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur peradilan.

        "Saya sependapat dengan usulan bahwa harus ada sikap resmi MA terkait dengn praperadilan ini. Bentuknya harus Perma agar bisa mengikat pihak lain di luar MA," kata Gayus.

        Peraturan Mahkamah Agung sendiri, dikatakannya, diputuskan di lembaga normatif tertinggi, yaitu rapat pleno hakim agung.

    
                            Belum Bersikap
        Gayus Lumbuun selaku hakim agung juga mengkritisi pernyataan juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi yang mengatakan bahwa MA belum menentukan kebijakan untuk membuat regulasi baru terkait dengan hukum acara dalam sidang praperadilan.

        "Juru bicara hanya boleh menyampaikan sikap MA secara resmi. Yang saya tanyakan, juru bicara ini apakah juru bicara (atas nama) pimpinan saja, juru bicara ketua, atau juru bicara MA secara resmi?" katanya.

        Ia mengatakan bahwa sejauh ini MA sebagai lembaga tertinggi peradilan belum mengeluarkan sikap resmi apa pun terkait dengan peraturan atau kebijakan untuk menyikapi gejolak praperadilan yang terjadi di tengah masyarakat.

        "Karena kalau putusan MA secara resmi, hanya bisa diputuskan lewat pleno hakim agung yang sifatnya seperti rapat paripurna kalau di lembaga lain," tuturnya.

        Gayus berharap pimpinan MA, yaitu Hatta Ali segera merespons gejolak praperadilan dengan mengadakan rapat pleno hakim agung tersebut. Pasalnya, selama ini belum ada lontaran atau pro dan kontra di kalangan hakim MA terkait dengan perbedaan hukum acara yang dipahami hakim dalam memutus perkara praperadilan.

        "Kalau di MA, tidak ada mekanisme usulan (untuk mengadakan rapat pleno). Semua bergantung pada pimpinan. Kemungkinan dianggap tidak ada gejolak di tengah masyarakat karena tidak ada respons terkait praperadilan," ucapnya.

        Sebelumnya, juru bicara MA Suhadi menyatakan MA belum berniat mengeluarkan peraturan baru terkait dengan praperadilan karena MA menilai KUHAP masih relevan digunakan dalam menangani perkara praperadilan.

        Ia juga mengatakan bahwa MA sangat menghormati segala putusan hakim di setiap sidang praperadilan di pengadilan negeri karena segala keputusan dalam praperadilan adalah mutlak kewenangan hakim yang tidak bisa diintervensi, termasuk oleh MA sendiri sebagai lembaga yang lebih tinggi.

        Meski demikian, kata Suhadi, MA selalu memantau semua putusan hakim dalam sidang praperadilan dan sejauh ini belum ada pelanggaran hakim yang dilakukan terkait dengan aturan yuridis.

        Ketua MA Hatta Ali, dalam pertemuan dengan empat orang pimpinan KPK, yakni Taufiequrrachman Ruki, Adnan Pandu Praja, Johan Budi dan Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Rabu (10/6), pun menyatakan tidak mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait dengan persoalan praperadilan.

        "Kami tadi cuma 'sharing' bahwa MA tidak bisa mengintervensi putusan hakim karena sifatnya independen. Bisa saja putusan antarhakim berkembang, bisa beda hakim satu dengan yang lain karena hukum bisa berkembang, tidak ada putusan apa pun tadi," kata Pelaksana Tugas (Plt.) Wakil Ketua KPK Johan Budi.      

        Dalam diskusi tersebutada dasarnya KPK  menyampaikan kondisi dan situasi terakhir praperadilan. Misalnya, putusan yang tidak sama, kemudian topik yang sama putusan berbeda, soal putusan hakim yang tidak dimohon misalnya menghentikan penyidikan, padahal KPK tidak bisa karena dampaknya bukan hanya KPK, tetapi juga kepolisan dan kejaksaan dengan gelombang praperadilan

        Menurut Johan, Ketua MA Hatta Ali memahami apa yang menjadi apa yang menjadi "kegelisahan" KPK meski menegaskan bahwa putusan hakim sifatnyindependen.

        "Ada beberapa saran. Akan tetapi, Ketua MA menegaskan kembali bahwa putusan hakim sifatnya independen, pimpinan MA tidak bisa mencampuri. Ada beberapa opsi yang kami tanyakan, misalnya apa bisa Surat Edaran MA yang memberi batasan putusan praperadilan sehingga tidak keluar dari apa yang dimohon dan upaya-upaya yang akan kami lakukan itu," Johan menambahkan.

        Kini, berbagai pihak sedang menanti apakah desakan yang disuarakan lewat media dan diskusi publik itu mampu membuat pimpinan MA bereaksi?


Pewarta : Oleh Yashinta Difa Pramudyani
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024